NovelToon NovelToon
Teman Level Adalah Pokoknya

Teman Level Adalah Pokoknya

Status: sedang berlangsung
Genre:Trauma masa lalu / Teen Angst / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.

​Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.

​Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 19: PERJAMUAN DI SARANG SERIGALA

Surabaya malam itu dibasuh oleh sisa-sisa hujan yang meninggalkan jejak uap panas di atas aspal. Di sebuah apartemen tua di kawasan Wonokromo, cahaya lampu neon yang berkedip-kedip memberikan kesan suram pada ruangan sempit yang kini berubah menjadi pusat komando dadakan bagi Firman.

Firman berdiri di depan jendela yang kacanya mulai berjamur, menatap kerlap-kerlip lampu kota yang tampak seperti jutaan mata yang sedang mengawasinya. Bahu kirinya berdenyut perih sebuah peringatan fisik bahwa tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari kecelakaan di Nagreg namun ia mengabaikannya. Di atas meja kayu yang rapuh, laptopnya masih menyala, menampilkan transkrip audio yang sudah dibersihkan frekuensinya.

"...kambing hitam yang kredibel..." suara Aris berputar berulang-ulang di telinga Firman melalui earphone.

"Man, lo sudah nggak tidur tiga puluh enam jam. Lo bisa tumbang sebelum sempat nyelamatin Yasmin," Rendy meletakkan sekaleng kopi dingin di samping laptop. Ia menatap papan tulis yang kini penuh dengan coretan data. "Gue sudah cek soal Pasien 402. Namanya Irjen (Purn) Soedjatmiko. Mantan petinggi kepolisian Jawa Timur. Dia meninggal setelah operasi rutin empedu. Aris butuh seseorang untuk disalahkan atas kegagalan dosis bius, dan Yasmin adalah target yang paling sempurna karena rekam jejaknya di Surabaya dulu sudah tercemar."

Firman berbalik, senyum tipis yang dingin tersungging di bibirnya. Senyum yang tidak pernah sampai ke mata. Inilah wajah "The Smiling Killer" yang sebenarnya wajah yang muncul ketika Firman memutuskan untuk mematikan perasaannya demi sebuah misi.

"Mereka bukan hanya ingin menyalahkan Yasmin, Ren. Mereka ingin menggunakan Yasmin sebagai alat negosiasi agar keluarga Soedjatmiko tidak menuntut manajemen rumah sakit. Jika Yasmin mengakui 'kelalaian', maka rumah sakit aman, dan Aris akan tampil sebagai pahlawan yang 'melindungi' Yasmin dari penjara," Firman menyesap kopinya, rasa pahitnya membakar kerongkongannya. "Dan perjamuan malam ini... adalah tempat eksekusinya."

"Lo mau nyusup ke rumah keluarga Aris? Itu bunuh diri, Man. Keamanannya pasti ketat," Rendy menggelengkan kepala.

"Saya tidak akan menyusup sebagai jurnalis, Ren. Saya akan datang sebagai hantu dari masa lalu yang mereka pikir sudah mereka kubur," Firman meraih jaket hitamnya. "Siapkan kamera jarak jauhmu. Kita akan melakukan siaran langsung jika keadaan memburuk. Dunia harus melihat bagaimana sebuah perjamuan keluarga bisa berubah menjadi sidang penghakiman yang kotor."

Kediaman Keluarga Aris, Kawasan Elite CitraLand.

Mansion mewah itu berdiri angkuh dengan pilar-pilar putih tinggi yang disinari lampu-lampu sorot keemasan. Di halamannya, deretan mobil mewah terparkir rapi. Suara musik klasik terdengar sayup-sayup dari balik pintu jati besar, menciptakan suasana kelas atas yang palsu.

Yasmin turun dari mobil Aris dengan perasaan yang tidak menentu. Ia mengenakan gaun sutra berwarna marun yang dipaksakan oleh Aris, sebuah gaun yang membuatnya merasa telanjang dan tidak nyaman. Tangannya memegang tas kecilnya dengan sangat erat, seolah-olah benda itu adalah satu-satunya jangkar keselamatannya.

"Kamu cantik sekali malam ini, Yas," bisik Aris sambil menggandeng tangannya masuk ke dalam rumah. "Ayah sudah menunggu. Jangan tegang, ini hanya makan malam biasa untuk merayakan kepulanganmu ke Surabaya."

Yasmin hanya mengangguk kecil. Pikirannya melayang pada pertemuan dengan Firman di rumah sakit tadi siang. Kata-kata Firman tentang Aris yang bukan pahlawan terus terngiang, namun di saat yang sama, ia merasa dikhianati oleh Firman yang menurutnya hanya mengejar berita.

“Berhenti mencampuri hidup saya,” Yasmin teringat kalimat yang ia ucapkan sendiri pada Firman. Rasa bersalah mulai muncul, namun ia segera menepisnya. Ia harus percaya pada Aris. Aris adalah satu-satunya yang memberinya kesempatan kedua.

Di dalam ruang makan yang sangat luas, meja panjang yang terbuat dari kayu mahoni sudah dipenuhi dengan hidangan mewah. Ayah Aris, Pak Handono, duduk di ujung meja dengan tatapan yang sangat tajam namun penuh wibawa.

"Selamat datang, Dokter Yasmin," suara Pak Handono menggelegar lembut. "Silakan duduk. Kami sangat senang memiliki ahli anestesi berbakat seperti Anda di tim kami."

Makan malam dimulai dengan pembicaraan formal yang sopan. Namun, saat hidangan penutup disajikan, suasana berubah menjadi lebih berat. Pak Handono meletakkan sendok peraknya, lalu menatap Yasmin dengan serius.

"Dokter Yasmin, kami sangat menghargai kerja keras Anda. Namun, Anda tahu bahwa keluarga Irjen Soedjatmiko mulai menekan rumah sakit terkait insiden semalam. Sebagai bentuk perlindungan kami kepada Anda, Aris telah menyusun sebuah dokumen deklarasi teknis."

Aris mengeluarkan sebuah map dari bawah meja dan menyodorkannya pada Yasmin.

"Ini hanya dokumen formal yang menyatakan bahwa ada 'anomali fisiologis' pada pasien yang tidak terdeteksi saat pre-op. Jika kamu menandatangani ini, secara hukum tanggung jawab medis akan berada pada tim anestesi, namun rumah sakit akan memberikan perlindungan penuh berupa pengacara terbaik dan jaminan bahwa izin praktekmu tidak akan dicabut," Aris menjelaskan dengan nada suara yang paling menenangkan yang bisa ia buat.

Yasmin membuka map itu. Jemarinya gemetar saat membaca baris demi baris. Secara teknis, dokumen itu memang terlihat seperti perlindungan, namun bagi seorang dokter yang paham hukum medis, dokumen ini adalah pengakuan bersalah yang terselubung. Jika ia menandatanganinya, ia akan menjadi tameng bagi kesalahan manajemen rumah sakit selamanya.

"Aris... tapi dosis yang saya berikan sudah benar. Saya yakin ada masalah dengan alat monitor atau kualitas obat bius yang disuplai," ucap Yasmin, suaranya mulai bergetar.

"Yas, dengar aku," Aris memegang tangan Yasmin, tatapannya memelas. "Keluarga Soedjatmiko butuh satu nama untuk disalahkan. Jika bukan kamu, mereka akan menuntut seluruh rumah sakit, dan ayahku akan hancur. Aku melakukan ini untuk menyelamatkan kita semua. Aku janji, setelah ini, kita akan menikah dan kamu tidak perlu khawatir soal apa pun lagi."

Yasmin menatap dokumen itu, lalu menatap Aris. Ia merasa terjebak di dalam sangkar emas yang pintunya perlahan menutup. Saat ia hendak meraih pena, sebuah suara yang sangat ia kenal terdengar dari arah pintu masuk ruang makan.

"Menandatangani dokumen itu sama saja dengan menyerahkan lehermu ke tiang gantungan, Yasmin."

Semua orang di meja makan tersentak. Aris berdiri dengan wajah merah padam. "Siapa yang mengizinkanmu masuk?! Keamanan! Keamanan!"

Firman melangkah masuk dengan tenang. Ia mengenakan setelan jas hitam yang rapi, tampak sangat berbeda dari jurnalis berantakan yang biasa dilihat Yasmin. Wajahnya bersih, rambutnya disisir ke belakang, dan di wajahnya terpatri senyum yang sangat tipis senyum "Smiling Killer".

"Keamanan Anda sedang sibuk menjelaskan pada petugas patroli kenapa ada alat penyadap ilegal yang terpasang di mobil pasien semalam, Pak Handono," ucap Firman sambil berjalan mendekati meja makan.

Ia meletakkan sebuah perekam suara di atas meja, tepat di depan Pak Handono. "Atau mungkin Anda ingin mendengarkan rekaman pembicaraan Aris di lift lantai 9 tentang 'kambing hitam yang kredibel'?"

Wajah Pak Handono berubah pucat pasi. Aris mencoba menerjang Firman, namun Firman dengan cekatan menghindar, membuat Aris hampir terjatuh ke atas meja makan.

"Firman... apa yang kamu lakukan di sini?" Yasmin berdiri, matanya dipenuhi air mata yang mulai tumpah.

Firman menatap Yasmin. Kali ini, tatapannya bukan lagi tatapan jurnalis yang dingin, melainkan tatapan seorang pria yang sedang berjuang demi pokok hidupnya. "Saya di sini untuk menunjukkan padamu fakta yang sebenarnya, Yas. Fakta yang tidak bisa dimanipulasi oleh janji-janji manis masa lalu."

Firman menekan tombol play pada perekam suaranya. Suara Aris yang jernih terdengar memenuhi ruangan yang kini menjadi sangat sunyi.

"...Yasmin itu mudah dikendalikan. Sedikit sentuhan masa lalu dan janji perlindungan, dia akan menurut. Laporan 402 akan tetap atas namanya..."

Yasmin merasa seperti dihantam gada besar tepat di ulu hatinya. Ia menatap Aris yang kini berdiri mematung dengan wajah yang hancur karena malu dan kemarahan.

"Aris... kamu... kamu benar-benar melakukan ini padaku?" bisik Yasmin, suaranya hampir hilang.

"Yas, dengar... itu tidak seperti yang kamu pikirkan! Aku terpaksa melakukannya!" Aris mencoba meraih tangan Yasmin, namun Yasmin menyentaknya dengan kasar.

"Cukup!" teriak Yasmin. Ia menyambar map dokumen tadi dan merobeknya menjadi dua bagian di depan wajah Aris dan ayahnya. "Saya mungkin pernah hancur karena kesalahan alat di Surabaya dulu, tapi saya tidak akan membiarkan kalian menghancurkan integritas saya untuk kedua kalinya!"

Pak Handono berdiri, suaranya bergetar karena amarah yang ditahan. "Kalian pikir bisa keluar dari rumah ini dengan rekaman itu? Firmansah, kamu lupa di mana kamu berada sekarang. Ini Surabaya. Hukum di sini adalah apa yang saya tulis!"

"Dan saya adalah jurnalis yang akan memastikan tulisan Anda dibaca oleh jutaan orang besok pagi, Pak Handono," Firman mengangkat jam tangannya. "Rendy sedang melakukan siaran langsung sejak saya masuk ke rumah ini. Lima ratus ribu orang baru saja mendengar pengakuan Aris di rekaman tadi. Polisi dari Polda Jatim sedang dalam perjalanan ke sini untuk menjemput bukti-bukti korupsi pengadaan obat bius di rumah sakit Anda."

Mendengar itu, Pak Handono lemas dan jatuh terduduk di kursinya. Aris yang panik mencoba melarikan diri melalui pintu belakang, namun beberapa petugas kepolisian yang baru saja tiba sudah menghadangnya.

Di tengah kekacauan itu, Firman berjalan mendekati Yasmin. Ia melepaskan jasnya dan menyampirkannya ke bahu Yasmin yang sedang menggigil hebat.

"Ayo pergi, Yas. Tempat ini bukan levelmu," ucap Firman lembut.

Yasmin tidak bisa berkata-apa. Ia hanya membiarkan Firman menuntunnya keluar dari mansion mewah yang kini terasa seperti penjara itu. Begitu sampai di luar, di bawah rintik hujan Surabaya yang mulai mereda, Yasmin jatuh terduduk di aspal. Ia menangis sejadi-jadinya, melepaskan semua tekanan, ketakutan, dan rasa kecewa yang telah ia pendam selama sebulan terakhir.

Firman berlutut di depannya. Ia tidak memeluk Yasmin, ia tahu Yasmin masih butuh ruang. Ia hanya diam di sana, menjadi pelindung bagi kesedihan perempuan itu.

"Kenapa, Firman? Kenapa kamu selalu muncul di saat aku paling membencimu?" tanya Yasmin di sela isaknya.

"Karena itu tugas saya, Yas," jawab Firman sambil menatap langit Surabaya yang mulai cerah. "Sebagai teman levelmu, tugas saya adalah memastikan kamu tetap bisa berdiri tegak, bahkan jika itu artinya saya harus menjadi orang yang paling kamu benci."

Yasmin mendongak, menatap wajah Firman yang kini tidak lagi mengenakan topeng "Smiling Killer". Ia melihat luka di sudut bibir Firman dan perban yang masih melingkar di bahunya. Ia menyadari betapa besarnya pengorbanan pria ini.

"Maafkan aku... aku sudah salah menilaimu," Yasmin meraih tangan Firman, menggenggamnya dengan sangat erat.

Firman tersenyum, kali ini senyumnya sangat tulus. "Level 3 sudah selesai, Yas. Saya rasa, Surabaya adalah tempat yang bagus untuk kita mulai... Level 4."

Yasmin tersenyum di tengah tangisnya. "Apa itu Level 4?"

"Level di mana kita tidak lagi saling menyembuhkan secara diam-diam, tapi level di mana kita berani untuk saling memiliki di depan dunia," Firman membantu Yasmin berdiri.

Malam itu, di tengah hiruk pikuk berita nasional yang mulai menyiarkan skandal RS Medika Utama, Firman dan Yasmin berjalan beriringan meninggalkan kawasan CitraLand. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi besok, namun satu hal yang pasti: dinding kaca di antara mereka telah hancur.

DI TEMPAT LAIN, DI SEBUAH KANTOR POLISI.

Aris duduk di ruang interogasi dengan wajah tertunduk. Ia tidak menyadari bahwa di saku jasnya, Firman sempat menyelipkan sesuatu sebelum ia ditangkap. Sebuah catatan kecil yang berisi satu kalimat:

"Jangan pernah meremehkan seorang jurnalis yang punya stetoskop di hatinya. Selamat menikmati level barumu di balik jeruji besi."

Berita skandal RS Medika Utama meledak dan membuat gempa di dunia medis nasional. Namun, kemenangan Firman dan Yasmin hanya bertahan sekejap. Ayah Aris ternyata memiliki kartu as yang lebih besar: ia memiliki catatan medis asli tentang orang tua Firman yang menunjukkan bahwa kematian ayah Firman melibatkan keluarga Yasmin lebih dalam dari yang Firman bayangkan. Seseorang dari masa lalu Firman tiba-tiba muncul di Surabaya, membawa bukti bahwa Yasmin adalah kunci untuk mengungkap siapa sebenarnya pembunuh ayah Firman. Siapakah sosok misterius ini, dan akankah Firman menggunakan Yasmin untuk membalas dendam masa lalunya?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!