NovelToon NovelToon
Godaan CEO Serigala Hitam

Godaan CEO Serigala Hitam

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Manusia Serigala
Popularitas:3
Nilai: 5
Nama Author: Lily Benitez

Saat tersesat di hutan, Artica tidak sengaja menguak sebuah rahasia tentang dirinya: ia adalah serigala putih yang kuat. Mau tak mau, Artica pun harus belajar menerima dan bertahan hidup dengan fakta ini.

Namun, lima tahun hidup tersembunyi berubah saat ia bertemu CEO tampan—seekor serigala hitam penuh rahasia.

Dua serigala. Dua rahasia. Saling mengincar, saling tertarik. Tapi siapa yang lebih dulu menyerang, dan siapa yang jadi mangsa?

Artica hanya ingin menyembunyikan jati dirinya, tapi justru terjebak dalam permainan mematikan... bersama pria berjas yang bisa melahapnya bulat-bulat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Benitez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 19

Rodrigo dengan tatapan tajamnya telah mengusir Marcelo dan Saúl. Ia merasa terganggu jika ada yang menyentuh Ártica. Karena baginya, Ártica adalah miliknya, sepenuhnya, dan tak seorang pun berhak menatapnya, apalagi menyentuhnya.

Ártica tumbuh dengan kebiasaan manusia. Baru-baru ini, dia mulai belajar menerima jati dirinya sebagai bagian dari rasnya, tetapi tetap tidak terbiasa jika ada yang mengambil keputusan atas namanya. Terutama soal siapa yang boleh ia sapa atau tidak. Inilah sumber konflik yang tak pernah padam antara dia dan ayahnya—yang selalu mengingatkan aturan dan menjunjung tinggi pangkatnya.

Ayahnya bersikap keras, berusaha memastikan Ártica tidak melupakan siapa dirinya. Sebagai pewaris darah serigala betina putih leluhur, ia dituntut lebih dari siapa pun untuk menaati peraturan dan menghormati kepala keluarga.

"AKU BUKAN ALAT YANG BISA KAU ATUR SESUKAMU!" teriaknya suatu kali dalam salah satu dari banyak pertengkaran mereka.

"KAU BERTANGGUNG JAWAB UNTUK MEMIMPIN... BERTINDAK KETIKA AKU MEMINTAMU!" balas ayahnya, tegas.

"UNTUK APA KAU MELATIHKU? UNTUK APA KAU AJARKAN SEMUA INI, JIKA AKU HARUS TETAP PATUH, PENURUT, DAN HANYA BERTINDAK KETIKA MEREKA BERSUIT?" bentak Ártica.

Ayahnya mengusap dahinya, frustrasi. Ia ragu apakah putrinya akan pernah menikah. Ártica memang berbeda. Sulit membuat kelompok menerima keberadaannya, apalagi karena aroma manusia masih melekat padanya. Hanya dengan membujuk mereka bahwa Ártica bisa menjadi jembatan pemahaman terhadap manusia, barulah ia berhasil mendapat tempat.

(Akhir dari flashback)

*****

Ártica menyadari kecemburuan Rodrigo. Ia tersenyum pura-pura untuk menjaga suasana tetap tenang.

Banyak hal mengganggu pikirannya, dan sekarang ia harus pula menghadapi sikap Rodrigo. Sebagai manusia, ia harus tampil sopan, ramah, dan bersedia membantu, sambil terus menahan sisi liar serigala leluhur dalam dirinya.

Ia merasa sudah cukup berlatih dan mampu mengendalikannya hingga perjalanan terakhir mengubah segalanya.

Ia terjebak dalam gua di tengah badai salju hebat. Pandangan terhalang, tubuh menggigil, haus, lapar, dan kelelahan. Ia terpaksa berubah demi bertahan hidup, menjaga suhu tubuh. Ketakutan akan kematian menggerogoti dirinya.

*****

(Flashback)

"Maafkan aku, Nenek," pikirnya, mengingat janji kepada Nenek Cielo untuk selalu melampaui batas dirinya—janji yang kini tampak mustahil. Ia sempat merasa lega membayangkan bisa bertemu orang tuanya kembali, tapi juga sedih karena takkan bertemu Rodrigo lagi.

Ia menghela napas panjang, menutup mata. Tiba-tiba, suara bergema membangunkannya. Sebuah cahaya aneh terlihat di kejauhan.

"Apakah itu jalan keluar?" tanyanya dalam hati. Ia berjalan ke arah cahaya itu.

Semakin dekat ia melangkah, cahaya itu justru terasa semakin menjauh, sampai akhirnya ia tiba di sebuah gua dengan dinding yang berpendar lembut dan di tengahnya terdapat cermin air.

Tetesan air jatuh ke permukaan, menciptakan gema halus. "Mungkinkah ini mata air panas?" tanyanya, heran karena air itu tak membeku. Tanpa pikir panjang, ia meminumnya. Rasanya tak enak, tapi cukup menghilangkan dahaga.

Tempat itu terasa hangat. Ia tertidur di tepi mata air—hingga raungan keras membangunkannya.

"APA YANG KAU LAKUKAN DI WILAYAHKU?" geram sesosok serigala besar dengan mata kuning menyala di kegelapan.

"Bukan maksudku… badai memaksaku," Polaris—nama samaran Ártica—berusaha menjelaskan.

"Kau punya bau yang aneh... kau bukan serigala biasa," raung makhluk itu, seolah menembus pikirannya.

"Aku dari Kelompok Pusat," jawab Polaris cepat.

"Aku tahu bau mereka. Kau berbeda," makhluk itu mendekat, mengelilinginya penuh ancaman.

"Kuharap kau tidak meminum air itu," ujarnya, menatap kaki Polaris yang masih basah.

"Aku haus... dan aku tak mencium bau buruk darinya," Polaris menjawab, defensif.

"Bodoh! Air itu akan membangkitkan sisi tergelapmu—haus darah, liar. Roh-roh kuno hidup di dalamnya.  Sekali berubah, kau takkan bisa kembali ke bentuk manusiamu," serigala itu menyeringai.

"Bagaimana kau tahu aku bisa berubah?"

"Aku dulu sepertimu... sampai aku meminum air itu," jawabnya.

"Kelompok apa yang kau tinggalkan?" tanya Polaris, melihat kilatan kesedihan di mata makhluk itu.

"Itu sudah terlalu lama... aku tak ingat," jawabnya. Tapi Polaris tahu dia berbohong.

"Bolehkah aku tinggal di sini? Setelah badai reda, aku akan pergi."

"Untuk apa kau melakukan perjalanan ini? Kau pasti istimewa. Iblis apa yang ingin mereka jinakkan?" tanyanya sinis.

"Iblis? Bukan. Aku bukan iblis," jawab Polaris, ragu dan bingung.

"Ya, meski kau menyangkalnya... pasti ada sesuatu dalam dirimu yang mereka takutkan. Itulah mengapa mereka mengirimmu sendiri. Sesuatu yang ingin mereka kendalikan... seperti senjata," katanya.

Polaris menggeleng panik. Ia tidak percaya. Ayahnya mencintainya. Bukankah semua ini demi melindunginya? Atau... demi menggunakannya?

"Tidak... bukan begitu... Aku hidup lama di antara manusia... Ayah mengajarku untuk membela diri... untuk mengendalikan diriku... karena aku ingin melihat teman-temanku lagi... dan untuk itu, aku harus menaklukkan sisi liarku." Suaranya gugup, tapi tekadnya terasa jelas—ia ingin menunjukkan bahwa dirinya bukanlah iblis seperti yang orang lain kira.

"Teruslah mengatakan itu jika itu membuatmu tenang... Tapi setelah kau minum dari mata air itu... semuanya tak akan mudah lagi... Kau tak bisa kembali ke dunia manusia... Mereka akan menganggapmu ancaman." Suara berat serigala itu bergema di dalam kepalanya.

"Itu yang terjadi padamu... Itulah mengapa kau terkurung di gua ini!" Polaris membalas, yakin. "Tapi aku akan berhasil... Kau akan melihatnya."

"Terserah... Jangan katakan aku tak pernah mengingatkanmu... Bahkan orang yang kau cintai akan lari darimu... Tak ada yang waras menginginkan orang yang lebih kuat darinya," jawab serigala itu, bersandar dengan santai namun tajam menatapnya.

"Kau salah!" Polaris menatap tajam, marah. Siapa dia, berani-beraninya berkata seperti itu?

"Kau tidak mudah ditakuti... Aku bisa melihatnya... Dan semakin marah kau, semakin besar energi liarmu... Semangat serigala leluhur itu mengalir di dalammu... Matamu memancarkannya... Siap bertempur... Haus darah... dan siap menghancurkan segalanya... Hanya ritual yang bisa mengembalikanmu... Sayangnya, kau tidak mengetahuinya."

"Kau tahu apa? Apa kau pernah mengenal salah satunya? Apa kau salah satu dari mereka?" Dia menuntut, muak dengan ramalan suram itu.

"Ya... Dia pasanganku... Kami bertarung bersama, mempertahankan wilayah kami... Tapi batu berkilau di tangan musuh melukainya... Dia datang ke gua ini mencari mata air kehidupan... dan dia meminumnya... Tapi itu adalah kutukan... Dia sembuh, tapi kehilangan kendali... Dia tak lagi membedakan teman atau lawan... Dia memakan mereka... dan aku—aku harus mengakhirinya." Serigala itu menunduk. "Aku menusuk jantungnya dengan batu yang bisa menembus kulitnya... Aku coba merendamnya di air ini... berharap dia kembali sebagai manusia... Tapi yang kembali hanyalah kutukan... Aku minum air itu agar bisa bersama dia... Tapi aku hanya menyegel nasibku sendiri."

"Setiap racun punya penawar... Pasti ada jalannya... Aku akan menemukannya." Polaris bersumpah. Artica yang mendengar semuanya dalam pikirannya menggigil, hatinya campur aduk.

“Apakah dia tak akan pernah bertemu teman-temannya lagi? Tak bisa hidup damai seperti yang ia dambakan?” pikir Artica.

a melihat dasar mata air, dan salah satu batu tampak bersinar berbeda. Ia mengambilnya. Saat menyentuhnya, ia tahu: dirinya bisa berubah jika ia mau.

Tapi meski mencoba, tubuhnya tak bisa bergerak sesuai keinginan. Ia memutuskan membawanya keluar dan mengubahnya jadi liontin.

Setelah ibunya membuatkan bentuk bintang, kalung itu menjadi simbol harapan—dan larangan. Alfa melarangnya melepas kalung itu, setelah mendengar kisah Artica.

(Akhir dari flashback)

*****

Artica menatap Rodrigo, menghela napas berat. Ia mencoba tenang meski Rodrigo terus mengomel dalam pikirannya.

"Aku tak suka mereka menyentuhmu," kata Rodrigo, saat seseorang mengantar makanan. Tapi Artica tak bisa makan karena gangguan emosional di kepalanya.

"Kau milikku, bukan milik mereka," suara Rodrigo menggema dalam benaknya.

Polaris menyela: "Jangan biarkan dia bicara seperti itu... Kita bukan benda milik siapa pun... Untuk apa kau menjadi petarung terbaik? Agar siapa pun bisa memerintahmu?"

Antara Rodrigo dan Polaris, kepalanya seperti meledak.

"Maaf." Artica tiba-tiba berdiri, pergi ke kamar mandi. Ia menatap cermin, menarik napas dalam-dalam, dan melihat kalungnya berubah warna.

"Aku akan melihat apa yang terjadi," kata Akira, khawatir.

"Aku akan pergi," ujar Rodrigo, berdiri. Akira hanya bisa tersenyum kaku, terlalu takut untuk membantah.

Rodrigo menyusul Artica hingga menemukannya di tepi sungai.

"Mengapa kau pergi tanpa kata?" tanyanya.

"Tinggalkan aku sendiri," jawab Artica dingin.

"Kau harus mengerti bahwa—" Rodrigo tak sempat menyelesaikan.

"Apa yang harus aku mengerti? Bahwa menjadi pasanganmu berarti aku harus menurut? Bahwa aku tak boleh punya teman? Bahwa aku harus diisolasi? Aku tak terima! Aku lelah dengan semua tuntutan itu!"

"Banyak yang akan senang berada di posisimu," sahut Rodrigo, terluka.

"Jadi kau punya daftar pengganti? Hebat. Aku tak mau masuk daftar itu. Aku tidak akan melepaskan teman-temanku karena kau tak nyaman."

"Aku tak masalah kau punya teman... tapi tanpa kontak fisik!" Rodrigo meraung. Bintang di kalung Artica bersinar merah. Polaris menggeram dalam dirinya.

"Aku muak! Semua orang selalu memutuskan untukku! Aku bukan benda! Dan aku tak akan berubah untuk siapa pun yang tak berpikir untuk berubah!"

Polaris muncul dengan senyum puas. Rodrigo melepaskan wujud serigalanya, menandinginya. Tapi saat Polaris menyentuh air, ia teringat kata-kata serigala tua di gua itu—sisi liar bisa mengambil alih, dan tak pernah kembali.

"Aku suka punya teman... aku ramah... dan aku tak akan berubah... hanya karena aku menyukaimu. Aku tak akan berubah untuk seseorang yang bahkan tak mau berubah." Artica menjauh.

Rodrigo kembali ke wujud manusia, diam dan termenung. Ia naik ke kendaraannya. Kata-kata Artica bergema di benaknya:

“Aku tak akan berubah untuk seseorang yang tidak berpikir untuk berubah.”

"Apa maksudnya?" bisiknya pelan... dan saat itu ia sadar—Artica telah pergi, dan kali ini... ia benar-benar tidak menutup dirinya lagi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!