NovelToon NovelToon
Bintang Hatiku

Bintang Hatiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:984
Nilai: 5
Nama Author: lautt_

Di antara pertemuan yang tidak disengaja dan percakapan yang tampak sepele, terselip rasa yang perlahan tumbuh. Arpani Zahra Ramadhani dan Fathir Alfarizi Mahendra dipertemukan dalam takdir yang rumit. Dalam balutan nilai-nilai Islami, keduanya harus menavigasi perasaan yang muncul tanpa melanggar batasan agama. Bersama konflik batin, rahasia yang tersembunyi, dan perbedaan pandangan hidup, mereka belajar bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang kesabaran, keikhlasan, dan keimanan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lautt_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dalam Penantian, Cinta Tetap Terjaga

"Cinta yang diridhai Allah bukan tentang seberapa cepat bersatu, tapi tentang seberapa kuat bertahan dalam penantian yang suci."

---

Jarak yang Kian Jauh, Namun Hati Tetap Dekat

Hari-hari berlalu sejak Fathir kembali ke Timur Tengah untuk melanjutkan studinya. Rencana semula untuk pulang lebih cepat berubah. Fathir memutuskan untuk tetap di sana hingga menyelesaikan pendidikannya. Keputusan itu bukan tanpa alasan—ia ingin memantapkan diri, memperkuat ilmu, dan memastikan kelak ia kembali dalam keadaan yang lebih baik, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk Arpa.

Arpa menerima kabar itu dengan hati yang campur aduk. Ada rasa kecewa karena harus menunggu lebih lama, tapi di sisi lain, ada kebanggaan karena Fathir memilih jalan yang lebih mulia—melanjutkan perjuangan meski harus terpisah jarak dan waktu.

Sore itu, Arpa duduk di balkon kamarnya, memandangi langit yang mulai berubah jingga. Di tangannya tergenggam jurnal pemberian Fathir, yang kini menjadi teman setia saat rindu datang tanpa aba-aba. Ia membuka halaman terakhir, membaca tulisan Fathir:

"Arpa, jika jarak ini mengajarkan kita sesuatu, biarlah itu tentang bagaimana mencintai dalam kesabaran. Aku tahu ini sulit, tapi aku percaya cinta yang diridhai Allah tidak akan pudar hanya karena jarak. Aku akan kembali, tapi biarkan waktu dan takdir Allah yang menentukan kapan."

Air mata Arpa jatuh pelan. Ia memeluk jurnal itu erat, seolah memeluk Fathir dalam bayangannya.

"Ya Allah, kuatkan aku. Bantu aku menjaga cinta ini tetap suci sampai waktu-Mu mempertemukan kami lagi," doanya dalam hati.

---

Menjaga Cinta dalam Doa dan Diam

Hari-hari Arpa dipenuhi rutinitas kampus, komunitas dakwah, dan mengajar anak-anak mengaji di masjid sekitar kosannya. Namun, ada satu rutinitas yang paling ia tunggu setiap malam—menulis di jurnal pribadinya.

Malam itu, setelah menunaikan shalat Isya, Arpa duduk di meja belajarnya. Ia membuka jurnal dan mulai menulis:

“Hari ke-103 tanpa bertemu Fathir. Aku mulai terbiasa dengan sepi ini. Bukan karena aku tidak merindukannya, tapi karena aku sadar, cinta ini harus dijaga dalam batas yang Allah ridhoi. Kadang aku bertanya, kenapa Allah memberi jarak sejauh ini? Tapi di waktu yang sama, aku juga bersyukur. Karena lewat jarak ini, aku belajar tentang ikhlas, sabar, dan cinta yang dewasa.”

Arpa berhenti sejenak, menghela napas panjang.

“Fathir, aku tahu kamu juga berjuang di sana. Aku percaya, doa-doa kita saling bertemu di langit, meski langkah kita terpisah ribuan kilometer. Aku akan tetap menunggumu, tapi bukan sebagai gadis yang hanya menanti. Aku ingin menjadi perempuan yang lebih baik, agar kelak saat kamu kembali, aku sudah siap mendampingimu.”

---

Komunikasi yang Terjaga dalam Batasan

Meski berjauhan ribuan kilometer, Arpa dan Fathir sepakat untuk tetap menjaga komunikasi dalam batasan syariat. Tidak ada obrolan berlebihan, tidak ada kata-kata manis yang menggoda perasaan, dan yang paling penting, tidak ada celah bagi syaitan untuk masuk di antara mereka.

Mereka berbicara seperlunya — lebih banyak tentang aktivitas harian, pelajaran yang mereka dapatkan, dan saling mengingatkan dalam kebaikan. Bagi mereka, menjaga hubungan tetap suci dalam jarak adalah bagian dari ibadah.

Suatu sore, Fathir duduk di balkon asramanya di Timur Tengah. Udara sejuk menerpa wajahnya saat ia memandang langit senja yang perlahan berubah jingga. Ia mengambil ponselnya dan mulai merekam pesan suara untuk Arpa.

Fathir: “Assalamualaikum, Arpa. Hari ini aku ikut kajian tentang makna sabar. Ustadz di sini bilang, ‘Sabar itu bukan sekadar menunggu. Tapi tentang menjaga diri dalam proses penantian.’ Aku jadi inget kamu. Kita berdua sedang dalam proses ini, kan? Aku cuma mau bilang, makasih karena kamu masih bertahan. Aku tahu ini nggak gampang. Aku juga di sini berusaha sekuat mungkin untuk menjaga hati ini tetap bersih. Setiap kali aku merasa rindu berlebihan, aku inget pesan ustadz: ‘Rindu yang baik adalah rindu yang dibawa dalam doa, bukan sekadar kata-kata.’

Aku kadang ngebayangin, gimana rasanya nanti kalau kita akhirnya bisa ketemu lagi. Tapi aku sadar, itu semua ada waktunya. Sekarang, yang bisa kita lakukan cuma bersabar dan menjaga diri. Doain aku terus, ya? Aku juga selalu mendoakanmu.”

Fathir berhenti sejenak, tersenyum tipis, lalu mengirimkan pesan suara itu ke Arpa. Ia tahu, kata-kata sederhana seperti ini bisa menjadi penguat di tengah jarak dan waktu yang memisahkan mereka.

Di Indonesia, Arpa sedang duduk di kamarnya sambil membaca buku. Ponselnya bergetar, memberi notifikasi pesan suara dari Fathir. Ia memasang earphone dan mendengarkan pesan itu dengan penuh perhatian.

Senyuman muncul di wajahnya saat mendengar suara Fathir. Ada rasa hangat yang mengalir di hatinya — bukan karena kata-kata romantis, tapi karena ketulusan yang terasa dalam setiap kalimat.

Setelah mendengarkan pesan itu, Arpa mengambil ponselnya dan mulai mengetik balasan.

Arpa: “Waalaikumsalam, Fath. Aku selalu doain kamu, kok. Aku ngerti banget kalau proses ini nggak mudah. Kadang aku juga ngerasa capek, rindu yang nggak bisa diungkapin lewat kata-kata. Tapi aku inget, ini semua bagian dari ujian Allah buat kita. Kita sama-sama belajar sabar, ya? Aku yakin Allah punya rencana terbaik buat kita. Dan aku percaya, setiap doa yang kita panjatkan nggak pernah sia-sia. Kalau suatu hari nanti kita dipertemukan lagi, aku ingin kita dalam kondisi yang lebih baik, lebih siap.”

Arpa berhenti sejenak sebelum mengetik kalimat terakhir.

Arpa: “Terima kasih karena selalu mengingatkanku tentang kesabaran dan menjaga diri. Aku juga di sini berusaha sekuat mungkin untuk menjaga hati ini tetap bersih. Doa yang sama untukmu, Fath. Tetap semangat ya di sana.”

Ia mengirimkan pesan itu dan meletakkan ponselnya di meja. Ada rasa lega dalam hatinya. Meski jarak memisahkan mereka, komunikasi yang sederhana tapi bermakna ini menjadi penguat bagi keduanya untuk tetap bertahan.

---

Obrolan Kecil yang Penuh Makna

Beberapa hari kemudian, mereka berbicara melalui panggilan suara — kesempatan yang jarang mereka lakukan agar tidak terlalu bergantung pada komunikasi.

“Assalamualaikum, Arpa,” suara Fathir terdengar dari ujung telepon.

“Waalaikumsalam, Fath. Gimana kabarmu?”

“Alhamdulillah baik. Kamu gimana?”

“Alhamdulillah, aku juga baik.”

Ada hening sejenak sebelum Fathir bertanya, “Kamu masih sering ke taman yang biasa kita datengin dulu?”

Arpa tersenyum. “Iya, kadang kalau aku lagi butuh waktu sendiri, aku ke sana. Duduk di bangku yang sama, liat langit senja, sambil baca jurnalmu.”

Fathir tertawa kecil. “Aku juga kadang duduk di balkon asrama sini, liat senja dan ngebayangin kamu di sana ngeliat langit yang sama.”

Mereka tertawa bersama, merasakan kedekatan meski terpisah jarak.

“Tapi Fath…” Arpa berkata pelan.

“Iya?”

“Kadang aku takut… takut kalau aku nggak cukup kuat nunggu.”

Fathir terdiam sejenak sebelum menjawab, “Arpa, aku juga punya rasa takut yang sama. Tapi aku selalu ingat satu hal — cinta yang diridhai Allah nggak akan membuat kita lelah tanpa tujuan. Aku percaya, selama kita menjaga niat ini tetap lurus, Allah nggak akan mengecewakan kita.”

Arpa menghela napas lega. “Makasih, Fath. Kata-katamu selalu bikin aku tenang.”

“Dan kamu juga harus inget, Arpa. Kita nggak sendiri. Ada Allah yang selalu menjaga hati kita. Selama kita terus berdoa dan menjaga diri, jarak ini nggak akan jadi masalah.”

Obrolan itu berakhir dengan doa bersama. Mereka membaca Al-Fatihah, memohon kekuatan kepada Allah agar tetap menjaga cinta mereka dalam batasan syariat.

---

Godaan dalam Penantian

Tak selamanya perjalanan penantian ini berjalan mulus. Ada kalanya ujian datang, menguji seberapa kuat hati bertahan di tengah gelombang godaan dan ketidakpastian. Bagi Arpa, menanti Fathir bukan hanya tentang menghitung hari, melainkan tentang menjaga diri, hati, dan perasaan tetap dalam koridor yang Allah ridhoi.

Namun, menjaga hati bukanlah perkara mudah. Apalagi ketika ujian datang dari arah yang tak disangka.

Suatu hari, Arpa menghadiri sebuah acara dakwah kampus bertema “Ikhlas dalam Penantian”. Aula kampus dipenuhi oleh mahasiswa yang antusias mendengarkan tausiyah. Di tengah acara, Rizky — salah satu teman Arpa di komunitas dakwah — duduk tidak jauh darinya.

Rizky adalah sosok yang aktif dan cerdas, sering memimpin diskusi dan membantu kegiatan dakwah kampus. Namun belakangan, Arpa mulai merasakan perubahan. Rizky menjadi lebih perhatian — bukan sekadar dalam hal kegiatan dakwah, tapi dalam hal-hal kecil yang lebih personal.

Ia sering menanyakan kabar Arpa di luar urusan kampus, mengajaknya berdiskusi tentang materi kajian, bahkan sesekali mengirimkan kutipan ayat atau hadits disertai pesan singkat seperti, “Semoga harimu dipenuhi keberkahan, Arpa.”

Awalnya Arpa menganggap itu biasa. Namun seiring waktu, ia mulai merasa canggung. Hatinya mulai resah. Ia sadar, ada garis tipis antara perhatian yang tulus dan perhatian yang bisa mengusik hati.

---

Percakapan yang Menguji Hati

Sore itu, setelah acara dakwah selesai, Arpa memutuskan untuk menghabiskan waktu di perpustakaan kampus. Ia ingin menyelesaikan beberapa tugas kuliah sekaligus menenangkan pikirannya. Namun, saat berjalan di antara rak buku, Rizky menghampirinya.

“Arpa, ada waktu sebentar? Aku mau ngobrol,” katanya sopan sambil tersenyum.

Arpa sempat tertegun. Ia mengangguk pelan. “Boleh. Ada apa?”

Mereka berjalan menuju sudut perpustakaan. Suasana tenang, hanya terdengar suara lembut lembaran buku yang dibuka oleh mahasiswa lain.

Rizky tampak gugup, tapi ia berusaha tenang. Ia menunduk sejenak sebelum berbicara.

“Arpa, aku tahu ini mungkin mendadak. Tapi aku nggak mau ada salah paham. Aku… aku tertarik sama kamu.”

Jantung Arpa berdegup kencang. Ia menelan ludah, berusaha menjaga ketenangannya.

Rizky melanjutkan, “Aku lihat kamu perempuan yang baik, aktif di dakwah, dan punya prinsip yang kuat. Aku serius, Arpa. Kalau ada kesempatan, aku ingin lebih mengenalmu. Tentunya, dalam cara yang syar’i.”

Arpa terdiam sejenak. Ada rasa canggung yang memenuhi ruang di antara mereka. Ia menunduk, berusaha menenangkan hatinya yang mulai bergejolak.

Setelah menarik napas panjang, ia berkata pelan namun tegas, “Rizky, makasih sudah jujur dan menyampaikannya dengan baik. Aku hargai keberanianmu. Tapi aku juga harus jujur. Aku… aku sedang dalam proses penantian.”

Rizky tampak bingung. “Penantian?”

Arpa tersenyum tipis. “Iya. Ada seseorang yang sedang aku tunggu. Dia sekarang sedang melanjutkan studinya di luar negeri. Kami belum punya ikatan resmi, tapi kami sama-sama menjaga niat dan hati. Aku nggak mau memberi harapan kepada siapa pun saat hatiku masih terikat pada proses ini.”

Rizky menunduk, menelan kekecewaannya. “Aku ngerti, Arpa. Aku nggak mau jadi perusak niat baik orang lain. Maaf kalau aku membuatmu nggak nyaman.”

Arpa menggeleng pelan. “Nggak kok, Rizky. Aku malah bersyukur kamu menyampaikan ini dengan baik. Aku doakan semoga kamu mendapatkan yang terbaik. Yang insyaAllah lebih baik dariku.”

Rizky tersenyum pahit, namun tulus. “Aamiin. Terima kasih, Arpa. Jujur, aku salut sama kamu karena bisa menjaga prinsip di tengah ujian kayak gini. Nggak semua orang bisa.”

Mereka berdua saling tersenyum sebelum akhirnya Rizky pamit pergi. Arpa duduk kembali di meja perpustakaan, menarik napas lega. Namun hatinya terasa berat.

---

Dialog Batin — Ujian Penantian

Setelah Rizky pergi, Arpa menunduk dan berdoa dalam hati.

"Ya Allah, aku tahu menjaga hati bukan perkara mudah. Tapi aku mohon, kuatkan aku untuk tetap berada di jalan-Mu. Jangan biarkan hatiku goyah hanya karena ujian ini."

Air matanya jatuh pelan. Ia membuka mushaf kecil yang selalu ia bawa di tasnya dan membaca beberapa ayat untuk menenangkan hati. Ia teringat firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 286:

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya..."

Kalimat itu menjadi penguatnya. Ia sadar, ujian ini adalah cara Allah untuk menguji seberapa kuat ia menjaga niat dan cinta yang sedang dipertahankan.

Malamnya, Arpa menulis di jurnal pribadinya:

“Hari ini aku diuji. Bukan karena aku lemah, tapi karena Allah ingin melihat seberapa kuat aku menjaga hati. Aku sadar, penantian ini bukan sekadar tentang menunggu waktu, tapi tentang menjaga diri dari godaan yang datang tanpa diduga. Aku tahu, ini tak mudah, tapi aku yakin Allah selalu bersama hamba-Nya yang berusaha.”

---

Menjaga Cinta Agar Tetap Suci

Beberapa hari setelah kejadian itu, Arpa memutuskan untuk lebih memperketat batasannya dalam berinteraksi, terutama dengan lawan jenis. Ia tahu menjaga hati tidak hanya soal niat, tapi juga soal langkah-langkah nyata dalam menjaga diri dari godaan.

Ia memperbanyak aktivitas dakwah, memperdalam ilmu agama, dan menambah hafalan Qur’an. Setiap kali rasa rindu yang berat datang, ia selalu menenangkan diri dengan mengingat kembali niat awalnya: menjaga cinta agar tetap suci hingga waktunya tiba.

Di waktu yang sama, Fathir di Timur Tengah juga merasakan pergolakan batin. Tanpa tahu apa yang terjadi pada Arpa, ia memutuskan untuk mengirimkan pesan suara.

Fathir: “Assalamualaikum, Arpa. Aku nggak tahu kenapa, tapi hari ini aku ngerasa harus bilang ini. Aku tahu perjalanan ini berat. Aku yakin kamu juga punya ujian di sana. Tapi aku percaya sama kamu, Arpa. Aku percaya kamu menjaga hati dengan baik. Aku juga di sini berusaha sekuat mungkin untuk menjaga diriku. Aku cuma ingin bilang… semangat ya. Aku tahu kita sedang berada di jalan yang penuh rintangan, tapi selama Allah ada di tengah-tengah kita, insyaAllah semuanya akan baik-baik saja.”

Saat mendengar pesan itu, Arpa meneteskan air mata. Ia merasa seolah Fathir tahu apa yang sedang ia alami.

Ia membalas dengan pesan singkat:

Arpa: “Waalaikumsalam, Fath. Terima kasih sudah mengingatkanku. Aku memang sedang diuji beberapa hari ini. Tapi mendengar pesanmu membuatku kembali tenang. Aku percaya, selama kita menjaga niat ini tetap lurus, Allah akan menjaga hati kita. Doakan aku agar tetap kuat, ya.”

---

Refleksi dan Penguatan Hati

Malam itu, Arpa duduk di balkon kamarnya, memandangi langit malam yang penuh bintang. Ia memejamkan mata dan berdoa dalam hati:

"Ya Allah, aku tahu cinta ini adalah amanah. Aku ingin menjaga cinta ini tetap suci dalam jalan-Mu. Jika Fathir memang takdirku, kuatkan kami berdua untuk tetap sabar dan istiqomah dalam penantian ini. Tapi jika bukan, tenangkan hati kami untuk menerima keputusan-Mu dengan ikhlas."

Di belahan dunia lain, Fathir memanjatkan doa yang sama. Dalam sujud panjangnya, ia meminta kekuatan kepada Allah agar tetap menjaga dirinya dalam masa penantian ini.

---

“Cinta yang dijaga dengan sabar dan doa tak akan goyah meski diterpa ujian. Karena cinta yang diridhai Allah adalah cinta yang mampu bertahan, bahkan dalam jarak dan godaan.”

1
Uryū Ishida
Gemesin banget! 😍
✨♡vane♡✨
Baca cerita ini adalah cara terbaik untuk menghabiskan waktu luangku
Dandelion: Jangan bosan ya bacanya
total 1 replies
KnuckleBreaker
Bagus banget! Aku jadi kangen sama tokoh-tokohnya 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!