Alina berkali kali patah hati yang dibuat sendiri. Meski dia paham kesalahannya yang terlalu idealis memilih pasangan. Wajar karena ia cantik dan cerdas serta dari keluarga terpandang. Namun tetap saja dia harus menikah. Karena tuntutan keluarga. Bagaimana akhir keputusannya? Mampukah ia menerima takdirNya? Apalagi setelah ia sadari cinta yang sesungguhnya setelah sosok itu tiada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Ame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pendekatan
Keesokan harinya, Alina menatap rekan-rekannya yang masih sibuk dengan pekerjaan mereka di swalayan. Dengan senyum tipis, ia merapikan sedikit ujung bajunya sebelum berpamitan.
"Aku duluan, ya. Sampai ketemu besok." ucapnya sambil melambaikan tangan.
"Hati-hati, Lin!" sahut Kristin, teman baik sejak awal swalayan buka. Alina mengangguk tersenyum sambil berlalu dengan langkah ringan.
Ia melangkah keluar dengan perasaan campur aduk. Di depan, Roy sudah menunggu di samping mobilnya, sementara tiga anaknya berdiri tak jauh, tampak berbincang satu sama lain. Saat mata mereka bertemu, Roy tersenyum kecil—senyum yang entah kenapa membuat dadanya berdebar lebih kencang.
Roy membukakan pintu untuknya, sementara anak-anaknya sudah lebih dulu masuk. Dengan sedikit ragu, Alina akhirnya duduk di kursi penumpang depan. Saat mobil melaju perlahan, suasana dalam kabin terasa hangat, namun juga sedikit canggung.
"Jadi, Mbak Alina sudah kerja di sini lama?" tanya Adit, anak bungsu Roy, yang duduk di belakang dengan penuh rasa ingin tahu.
Alina tersenyum sopan. "Baru beberapa bulan, kok. Masih belajar juga."
"Kerja di swalayan pasti seru, ya?" timpal Andien.
"Lumayan. Bisa ketemu banyak orang, belajar banyak hal juga." jawab Alina ringan.
Arka, anak pertama Roy, hanya tersenyum tipis sambil menyimak percakapan adik-adiknya. Sementara itu, Roy sesekali melirik Alina di sampingnya, seolah mencari celah untuk memulai pembicaraan yang lebih dalam.
"Kamu nyaman kerja di sini?" tanya Roy tiba-tiba, suaranya terdengar hangat namun hati-hati.
Alina mengangguk. "Ya, cukup nyaman."
"Bagus kalau begitu. Tapi, semoga malam ini lebih nyaman lagi, karena kami mau traktir kamu makan enak," ucap Roy dengan nada sedikit bercanda, membuat Alina tertawa kecil.
Adit langsung menimpali, "Iya, Mbak! Ayah sampai susah tidur mikirin menu spesial buat malam ini!"
Roy menggeleng sambil tersenyum. "Kamu ini, Dit. Jangan dilebih-lebihkan."
Alina hanya tersenyum, merasa sedikit lebih rileks. Mobil terus melaju di bawah langit senja yang semakin gelap, menuju restoran yang entah akan membawa mereka pada sekadar makan malam—atau mungkin percakapan yang lebih bermakna.
Alina tampak tak banyak bicara. Ia hanya menjawab pendek pendek semua pertanyaan Roy maupun anak anaknya. Nampak sekali sikapnya sungkan dan terasa berat malahan. Sesekali ia tersenyum mendengar anak anak muda itu bercanda. Dalam benaknya terasa sedikit aneh, 'Akankah aku jadi ibu yang baik ?' Batin Alina gamang karena usianya tentu saja hanya beberapa tahun lebih tua dari Arka. Namun ketabahannya seolah menemani tekadnya untuk tetap bertahan. Meski keraguan di hatinya belum juga sirna, namun dirinya tahu, pribadinya harus percaya diri.
Roy tersenyum kecil, menatap Alina dengan hati-hati, "Alina, terimakasih kamu mau bertemu anak-anakku hari ini. Aku harap kamu nggak ada ganjalan apapun."
Alina hanya tersenyum lembut, mengangguk tanpa ragu, "Tentu tidak, Roy. Aku justru senang bisa mengenal mereka."
Setelah Alina dan Roy duduk di sebuah ruang VIP, Arka, si sulung yang berusia 19 tahun, tampak tenang dengan ekspresi sulit ditebak duduk di samping Andien, 17 tahun, tersenyum ramah tapi sorot matanya tajam. Dan paling ujung dekat dengan Roy, Adit, si bungsu 14 tahun, hanya diam, tapi jelas mengamati Alina bahkan sejak mereka masih di dalam perjalanan.
Alina tersenyum hangat, menatap mereka dengan ramah, "Halo! Senang akhirnya bisa pergi bersama kalian."
Arka membalas senyum tipis, suaranya tenang tapi berjarak, "Halo, Tante Alina. Terimakasih atas waktunya ya."
Andien ikut tersenyum manis, tapi ada nada terselubung di suaranya, "Akhirnya kita semua bisa bertemu. Papa sering cerita tentang Tante."
Adit mengangguk kecil, suaranya datar, "Iya. Papa bilang Tante orang yang baik."
Alina tertawa kecil, tak menyadari ketulusan mereka diragukan, "Wah, aku jadi malu. Aku cuma ingin kenal lebih dekat dengan kalian."
Arka menyandarkan diri ke kursi, menatap Alina dengan mata tajam tapi tetap sopan, "Jadi, Tante serius sama Papa?"
Roy membola matanya, sedikit tersentak, menatap Arka dengan kepala tegak seolah memberi peringatan halus, "Arka…"
Alina masih tersenyum, tak terganggu dengan pertanyaan itu, "Aku dan Papa kamu masih dalam tahap mengenal satu sama lain. Yang penting, aku ingin kita semua bisa akrab dulu, kan?"
Andien tertawa pelan, menyentuh jemari Alina dengan manis, "Tentu, Tante. Kita juga ingin kenal lebih jauh." bertukar pandang sekilas dengan Arka dan Adit, tapi Alina tak menyadarinya.
Adit tersenyum kecil, tapi ada nada dingin dalam suaranya, "Iya, Tante. Kita pasti bakal sering ngobrol… kalau Tante cukup sabar menghadapi kita."
Alina hanya tertawa kecil, menganggap itu sebagai candaan, sementara Roy menatap anak-anaknya dengan pandangan peringatan. Ia tahu, Alina terlalu baik untuk menyadari bahwa anak-anaknya tidak benar-benar tulus terhadapnya.
cek profil aku ada cerita terbaru judulnya
THE EVIL TWINS
atau langsung tulis aja judulnya di pencarian, jangan lupa mampir dan favorit kan juga ya.
terima kasih