Di dunia yang dikuasai oleh dua bulan.
Araksha dan Luminya.
Sihir dan pedang adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Kedua bulan tersebut mewakili dua kekuatan yang bertentangan, Araksha adalah sumber sihir hitam yang kuat, sedangkan Luminya menjadi sumber sihir putih yang penuh berkah.
Namun, keseimbangan dunia mulai terganggu ketika sebuah gerhana yang belum pernah terjadi sebelumnya mulai terbentuk, yang dikenal sebagai "Gerhana Bulan Kembar".
Saat gerhana ini mendekat, kekuatan sihir dari kedua bulan mulai menyatu dan menciptakan kekacauan. Menyebabkan kehancuran diberbagai kerajaan.
"Aku adalah penguasa, diam dan patuhi ucapanku!"
[NOVEL ORISINIL BY SETSUNA ERNESTA KAGAMI]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Setsuna Ernesta Kagami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Raja Iblis Araksha.
[KONSULTASI DULU KE DOKTER KEJIWAAN SEBELUM BACA NOVEL INI]
[DILARANG KERAS MENIRU ADEGAN ADEGAN ATAU SCENE GORE DI NOVEL INI]
Gelap. Sunyi. Dingin.
Jellal Astraus tidak merasakan apa pun selain kehampaan. Seakan dunia telah berhenti, membiarkan dirinya terjebak dalam pusaran kekosongan yang abadi. Namun, perlahan, sesuatu mulai bergetar dalam pikirannya. Samar-samar, ingatan yang terkubur dalam lapisan pekat kesadarannya mulai mencuat ke permukaan.
Ia melihat kilatan cahaya keemasan yang membakar langit. Ratapan bawahannya menggema di telinganya. Suara ledakan, dentingan pedang, dan lolongan kemarahan. Dan kemudian... kehampaan.
Tiba-tiba, tubuhnya terasa berat. Sesuatu yang dingin menyelimuti kulitnya, seolah ia telah lama terkurung dalam lapisan batu. Lalu, retakan pertama muncul.
Crack!
Seutas cahaya merah menyusup ke dalam kehampaan. Retakan itu merambat, menyebar, hingga pecahan-pecahan mulai jatuh dari tubuhnya. Dalam sekejap, segel yang mengekangnya hancur berkeping-keping.
Udara dingin menyambutnya saat kedua matanya terbuka.
Jellal berdiri di tengah reruntuhan sebuah istana yang megah namun telah terkikis oleh waktu. Pilar-pilar hitam yang dulu menjulang kokoh kini dipenuhi retakan, lantai marmer yang dulunya bersih kini diselimuti debu dan lumut. Dan di sekelilingnya, berdiri patung-patung yang tak asing baginya, yaitu para bawahannya, para jenderal, para maid.
Mereka juga disegel.
Mata hitamnya menatap sekeliling, penuh dengan ketegangan yang tak ia mengerti. Jemarinya bergerak, merasakan kembali aliran energi gelap yang sempat menghilang. Ia mengulurkan tangan ke depan.
"Bangkitlah," bisiknya, suaranya dalam dan penuh kekuatan.
Aura hitam pekat merembes keluar dari tubuhnya, menjalar seperti kabut yang hidup. Ujung jubahnya berkibar saat sihirnya meresap ke dalam patung-patung yang membeku di hadapannya.
Crack! Crack! Crack!
Satu per satu, patung-patung itu mulai retak. Cahaya merah berpendar dari sela-sela retakan, seolah sesuatu yang lama tertidur kini terbangun.
Selene Veildas adalah yang pertama membuka matanya. Mata merah darahnya berkilat saat tubuhnya terbebas dari cangkang batu. Ia jatuh berlutut di hadapan Jellal, bibirnya melengkung dalam senyum sadis yang penuh ketakutan dan ketundukan.
"Yang Mulia..." suaranya bergetar, bukan karena ketakutan, tapi karena rasa kagum yang tak terbendung. "Akhirnya... kami kembali."
Satu per satu, bawahannya bangkit. Darius Ironfang menggeram rendah, merasakan kembali kekuatan buasnya yang sempat lenyap. Velka mengangkat tangannya, menyaksikan kabut kematian yang perlahan membalut jarinya. Eira Frostveil mengibaskan sayap hitamnya yang dulu terlipat kaku dalam segel.
Para maid muncul dengan ekspresi yang bervariasi. Selvhia Natch menatap Jellal dengan ketenangan dingin, Marionette Weiss mengedipkan matanya yang tampak kosong, Claris Umbra lenyap dalam bayangan sebelum muncul kembali dengan lirikan tajam, dan Elise Rosethorn menyentuh bibirnya sambil tersenyum menggoda.
Namun, ada sesuatu yang aneh.
Mereka semua terbangun, tetapi tidak satu pun dari mereka mengingat apa yang terjadi sebelum penyegelan.
Jellal menatap mereka, matanya berkilat tajam. Ia sendirian dalam kabut ingatan yang hancur. Jellal Astraus duduk di atas singgasana hitam yang dulu menjadi simbol kekuasaan mutlaknya. Singgasana itu masih berdiri tegak di tengah aula besar yang telah lama terkubur dalam kehancuran, meski debu dan retakan kini menyelimutinya. Namun, tidak ada yang berani meragukan kemegahan sosok yang kini mendudukinya.
Di hadapannya, para jenderal dan maid yang telah bangkit berlutut serempak, kepala mereka tertunduk dalam penghormatan mutlak.
Di barisan depan, Selene Veildas meletakkan satu tangan di dada, mata merahnya berbinar dengan penuh kekaguman. Senyum tipis yang terukir di bibirnya mencerminkan rasa fanatisme yang tidak bisa disembunyikan.
"Yang Mulia," suaranya menggema di aula yang sunyi, "kehadiranmu adalah satu-satunya kebenaran yang kami butuhkan. Dunia boleh berubah, langit boleh runtuh, tetapi keberadaan mu adalah mutlak."
Di sebelahnya, Darius Ironfang menundukkan kepalanya dengan hormat. Mata emasnya yang biasanya dipenuhi amarah kini bersinar dengan rasa tunduk yang dalam. "Raja kami, hanya dengan satu perintah, kami akan merobek dunia ini untukmu."
Velka menganggukkan kepalanya perlahan, mantel ungunya bergetar seiring dengan kabut kematian yang melingkupi tubuhnya. "Kegelapan telah menanti terlalu lama untuk kembali berada di bawah perintah Anda, Yang Mulia."
Eira Frostveil, dengan ekspresi dinginnya yang abadi, menatap Jellal dengan mata berkilauan penuh devosi. Sayap hitamnya yang dulu terlipat kini terbentang megah, memancarkan aura yang mengancam. "Cahaya mungkin telah mengutuk kita, tetapi hanya Anda yang memiliki hak untuk menentukan takdir kami."
Di antara mereka, para maid berdiri dengan sikap hormat. Selvhia Natch, kepala maid, menunduk dalam dengan tangan di dada, suaranya lembut namun mengandung kepastian mutlak. "Kami adalah pedang dan perisai Anda, Yang Mulia. Perintah Anda adalah kehendak mutlak kami."
Marionette Weiss berdiri tanpa ekspresi, tetapi benang-benang sihir yang melayang di sekelilingnya bergetar seolah merespons kehadiran Jellal. Claris Umbra hanya tersenyum samar, bayangannya bergerak sendiri di lantai seolah hendak menelan siapa pun yang meragukan kebesaran rajanya. Elise Rosethorn, dengan langkah anggun, menyentuhkan ujung jarinya ke bibirnya sebelum berbicara dengan nada menggoda, "Dunia ini telah kehilangan keindahannya tanpa Anda, Yang Mulia. Sudah saatnya kita merayakan kelahiran kembali era kegelapan."
Jellal mengamati mereka semua dalam keheningan. Ia bisa merasakan loyalitas yang kuat dalam diri bawahannya, sesuatu yang bahkan tidak bisa dihancurkan oleh waktu atau sihir segel.
Namun, ada sesuatu yang mengganjal.
Mereka semua tidak mengingat apa yang telah terjadi sebelum penyegelan. Tidak ada yang tahu bagaimana mereka bisa berubah menjadi patung, siapa yang telah melakukan ini, dan berapa lama mereka telah terperangkap dalam kehampaan.
Hanya Jellal yang samar-samar mengingat kilatan cahaya keemasan, suara teriakan, dan rasa kehilangan yang begitu dalam.
Tetapi itu tidak penting sekarang.
Jellal menyandarkan tubuhnya ke singgasana, menyilangkan kaki dengan ekspresi yang sulit dibaca. Mata hitamnya menyapu ruangan, menatap bawahannya yang masih berlutut.
"Lihatlah sekeliling kalian," suaranya dalam dan menggetarkan, membawa tekanan yang membuat semua orang menahan napas. "Araksha yang kita kenal telah menjadi reruntuhan. Dunia ini telah berusaha menghapus keberadaan kita."
Ia menyeringai tipis, matanya berkilat.
"Tetapi mereka gagal."
Suasana di aula semakin menegang, dan aura kegelapan yang terpancar dari tubuh Jellal semakin kuat.
"Dunia mungkin telah melupakan kita... tetapi kita akan mengingatkan mereka siapa yang sebenarnya berkuasa."
Tiba-tiba, energi hitam menyelimuti ruangan, menciptakan pusaran kegelapan yang seakan menelan cahaya. Para jenderal dan maid merasakan gelombang kekuatan yang begitu agung, begitu mutlak, hingga tubuh mereka bergetar tanpa bisa dikendalikan.
Selene menggigit bibir bawahnya, matanya berbinar penuh gairah. "Ya... ya... inilah yang kami nantikan!"
Darius mengepalkan tinjunya dengan kuat. "Berikan kami perintah, Yang Mulia! Aku ingin mencabik siapa pun yang berani menentangmu!"
Eira menutup matanya sesaat, menikmati sensasi keagungan yang melingkupi tubuhnya. Selvhia tersenyum tipis, sementara Velka menatap Jellal dengan mata yang penuh kebijaksanaan namun juga ketundukan.
Jellal mengangkat satu tangan, dan seketika ruangan kembali sunyi.
Ia menatap mereka semua dengan tajam, lalu berkata dengan suara yang penuh keagungan.
"Kita akan membangun kembali Araksha dari kegelapan... dan menjadikannya lebih kuat dari sebelumnya."
Mereka semua menundukkan kepala lebih dalam.
"Kami hidup hanya untuk mengabdi kepada Anda, Yang Mulia."