Viola merasa di tipu dan dikhianati oleh pria yang sangat dicintainya. Menyuruh Viola kuliah hingga keluar negeri hanyalah alibi saja untuk menjauhkan Viola dari pria itu karena tidak suka terus di ikuti oleh Viola.
Hingga 8 tahun kemudian Viola kembali untuk menagih janji, tapi ternyata Pria itu sudah menikah dengan wanita lain.
"Aku bersumpah atas namamu, Erland Sebastian. Kalian berdua tidak akan pernah bahagia dalam pernikahan kalian tanpa hadirnya seorang anak"
~ Viola ~
Benar saja setelah 3 tahun menikah, Erland belum juga di berikan momongan.
"Mau apa lo kesini??" ~ Viola ~
"Aku mau minta anak dari kamu" ~ Erland ~
Apa yang akan terjadi selanjutnya pada Viola yang sudah amat membenci Erland??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi.santi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Permintaan Ibu
"Gimana hasilnya??"
Sarah memberikan testpacknya pada Erland. Hasil yang sudah Erland hafal dengan betul karena setiap bulan pasti hasilnya akan sama.
"Maaf Mas" Sarah menangis lagi seperti biasa.
"Tidak papa, kita bisa berusaha lagi. Jangan pikirkan, kamu harus tetap tenang. Ingat kata dokter nggak boleh capek dan ngga boleh stres" Erland menarik Sarah ke dalam pelukannya.
"Tapi Ibu bagaiman Mas, Ibu sudah terus mendesak ingin punya cucu" Sarah semakin terisak di pelukan Erland.
"Ibu biar menjadi urusanku. Omongan Ibu jangan masukan ke hati. Karena sebenarnya Ibu sayang sama kamu, cuma rasa pingin punya cucunya itu semakin kuat jadinya Ibu terus mendesak kamu"
Sudah tiga tahun usia pernikahan mereka. Tapi Sarah belum juga di kesempatan untuk mengandung benih dari Erland.
Berbagai usaha telah mereka lakukan, program ke Dokter kandungan, berobat alternatif sesuai saran Gendis, termasuk bayi tabung juga sudah mereka lalui. Tapi Allah memang belum berkehendak.
"Kamu istirahat lagi, aku berangkat ke kantor dulu" Erland mengecup kening Sarah dengan lembut tak lupa membersihkan sisa air mata di pipi istrinya.
"Hati-hati ya Mas" Erland mengangguk dengan senyumnya yang tampan.
*
*
*
*
Selepas kembali dari kantor, kali ini Erland tidak langsung pulang ke rumah. Endah tadi mendadak menelpon karena Ibunya yang jatuh di kamar mandi. Jadi Erland langsung menuju ke rumah Gendis.
"Gimana Ibu Ndah??" Erland menghampiri adiknya yang sedang membuat minuman di dapur.
"Ibu baik-baik saja. Tapi sudah di periksa Dokter Bang"
"Kenapa Ibu bisa sampai jatuh?? Ibu sakit??"
Endah menyodorkan secangkir teh hangat untuk Abangnya.
"Minum dulu bang" Lalu Endah memilih duduk di meja makan.
"Menurut Dokter tadi, ibu terlalu banyak pikiran. Sudah dua hari Ibu mengeluh pusing. Tapi susah sekali kalau mau di ajak ke Dokter. Sampai tadi Mbak telpon aku kalau Ibu jatuh di kamar mandi. Untungnya tidak papa, tidak ada benturan sama sekali"
Erland merasa sedih mendengar cerita Endah tentang kondisi Ibunya. Gendis adalah orang tua satu-satunya yang Erland miliki. Setelah kehilangan Ayahnya, Gendis lah yang menjadi penguat untuk Erland menjalani hidup dengan dua adik di bawah tanggung jawbanya.
"Edgar di mana??"
"Ada di dalam sama Ibu"
"Abang ke dalam dulu" Erland pergi ke kamar Ibunya di susul Endah membawakan minuman yang tadi sempat di buatnya.
"Kamu udah pulang dari tadi Ed" Erland mendekati Edgar yang memijat kaki Ibunya. Melihat Edgar yang masih rapi tentunya Erland tau kalau adiknya juga baru saja pulang kerja.
"Iya Bang, tadi Kak Endah ngabarin langsung pulang"
"Sana ganti baju dulu, biar aku yang pijat kaki Ibu" Edgar lalu menyingkir dari sana. Memberikan kesempatan bagi Erland untuk bersama Ibunya.
"Er, kamu sudah dari tadi??" Gendis langsung melihat Erland saat membuka matanya.
"Baru saja Bu, Ibu apanya yang sakit??" Erland terus memijat kaki Ibunya.
"Ibu nggak sakit kok Er. Memang Ibu yang sudah tua saja" Jawab Ibunya dengan senyum hangatnya. Seakan mengatakan jika tubuh tua itu baik-baik saja.
"Makanya Ibu jaga kesehatan. Jangan banyak pikiran. Makan yang teratur, tidurnya yang cukup, nurut sama Endah. Ya??"
"Benar kata Abang Bu"
Gendis hanya menggeleng lalu mengulurkan tangan pada Erland agar lebih dekat dengannya.
"Kalian ini tidak tau. Yang namanya seorang ibu pasti kepingin anaknya bahagia. Hidup dengan keluarga kecilnya. Melihat anaknya mempunyai seorang anak yang lucu dalam keluarga mereka. Tapi sampai sekarang ibu belum merasakannya. Sedangkan Ibu sudah semakin tua"
"Bu.." Erland ingin menyela tapi Gendis tidak memberikan kesempatan sama sekali.
"Kamu sudah tiga puluh lima tahun Er. Kapan kamu akan memberikan Ibu cucu?? Apa kamu tidak mau memberikan Ibu kesempatan untuk melihat cucu Ibu??"
"Tentu saja Erland ingin Bu, Erland juga sudah berusaha. Makanya Ibu harus sehat untuk melihat cucu Ibu nanti"
Gendis mulai mengeluarkan air matanya. Memikirkan nasib anaknya, dari dulu Erland selalu bekerja keras untuk keluarganya, tidak pernah merasakan yang namanya bahagia. Bahkan pernikahannya pun begitu adanya.
"Apa jangan-jangan kutukan Viola dulu itu memang nyata Er" Ucap Ibunya.
"Husshh!! Jangan aneh-aneh Bu. Musyrik kalau kita percaya pada hal seperti itu" Erland menampik keras pikiran Ibunya itu.
"Tapi nyatanya Mbak Sarah belum hamil juga kan Bang??" Endah menambahkan dugaan Ibunya.
"Itu karena memang belum di kasih aja" Elak Erland.
"Kenapa kamu tidak jemput Viola saja Er. Dia juga istri kamu. Kamu berhak untuk memintanya mengandung anakmu" Gendis menatap Erland dengan wajah berbinar. Dia ingat jika masih punya satu menantu lagi, menantu kesayangannya.
"Viola belum ingin kembali Bu" Jawab Erland mengingat istrinya yang tak pernah membalas pesannya selama tiga tahun ini.
"Ya Abang jemput dong. Sampai kapan pun Viola nggak akan pernah kembali sama Abang kalau Abang juga nggak ada tindakan sama sekali" Endah kembali mengingat kelakuan Abangnya itu. Rasa kesalnya pada Erland mendadak muncul kembali.
"Nanti akan aku pikirkan. Sekarang Ibu istirahat dulu. Erland mau telepon Sarah karena dia nggak tau Erland kesini"
"Ingat pesan Ibu Er, kalau Sarah nggak bisa kasih kamu anak. Bisa jadi anak kamu dari Viola. Jemput dia, bujuk dia agar mau pulang bersamamu. Kamu suaminya, kamu berhak sepenuhnya atas dirinya. Kamu juga semakin bertambah umur, tidak mungkin akan seperti ini terus"
Erland mengangguki pesan Gendis. Meski dalam hatinya sangat gundah saat ini.
Erland dan Endah keluar dari kamar Ibunya. Mereka berdua memilih menuju ke raung keluarga, kebetulan di sana juga sudah ada Edgar yang telah berganti baju.
"Bang??" Erland menolah pada Endah yang memanggilnya.
"Aku sama Edgar belum menikah Bang, umurku sudah 30 tahun. Abang mau kan kasih kesempatan aku sama Edgar untuk menikah dengan Ibu yang masih ada di sisi kita"
Erland langsung mengurungkan niatnya untuk menghubungi Sarah. Meletakkan ponselnya kembali karena omongan Endah yang sama melanturnya dengan sang Ibu.
"Maksud kamu apa Ndah?? Jangan aneh-aneh kalau ngomong!" Erland menatap Endah dengan tajam.
"Gimana aku nggak aneh-aneh Bang?? Aku dengar sendiri penjelasan Dokter tentang kondisi Ibu. Kalau ibu seperti ini terus, aku ragu Ibu bisa melihatku menikah" Endah tiba-tiba memeluk Erland menyembunyikan tangisnya.
"Betul Bang, sekarang yang ada di pikiran Ibu itu hanya Abang. Ibu bisa bahagia kalau melihat Abang bisa kasih Ibu cucu. Mungkin dengan itu Ibu tidak akan sakit-sakitan lagi"
Melihat kedua adiknya yang masih sangat membutuhkan Ibunya, Erland hanya menghela nafasnya kasar. Beban di pundaknya kini semakin berat. Ibu dan adiknya adalah tanggung jawabnya. Begitupun kedua istrinya. Erland saat ini benar-benar stres.
"Sudah jangan menangis, Abang akan pikirkan lagi" Erland mengusap kepala Endah dengan lembut.
"Janji ya Bang??" Erland mengangguk.
"Makanya kamu cepat menikah Ndah" Erland mencubit hidung adiknya yang memerah karena menangis.
"Calon imam ku masih belum sadar kalau aku mencintainya Bang"
Erland dan Edgar terkekeh karena celetukan Endah itu.