NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Sistem / Epik Petualangan / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Trauma masa lalu
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Ada luka yang tak bisa sembuh oleh waktu. Ada perjalanan yang tak pernah direncanakan, tapi justru mengubah segalanya.
Ketika hidup menggiring Johan Suhadi ke dalam misteri yang tersembunyi di balik sunyinya Bukit Barisan, ia tak lagi sekadar mencari jawaban—ia mencari dirinya sendiri.

Bukit Takdir adalah kisah tentang kehilangan, keberanian, dan pilihan-pilihan sunyi yang menentukan arah hidup.
Karena terkadang, untuk menemukan cahaya, seseorang harus rela tersesat lebih dulu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Ajaibnya Takdir"

“Sepertinya aku berubah pikiran, Jo…” suara Liana terdengar pelan, nyaris tenggelam oleh suara roda mobil yang melintasi aspal. “Kita tidak usah laporkan kasus ini ke kepolisian. Aku takut, jika kasus ini diangkat lagi, nama ayah angkatku dan Bang Broto kembali jadi bahan gunjingan di media. Cukup sudah mereka dihukum oleh masa lalu, jangan ditambah dengan hukuman dari dunia yang terlalu bising ini.”

Johan melirik sejenak, lalu kembali menatap ke depan, menenangkan setir mobil yang bergetar ringan oleh jalanan kota. “Seperti yang dikatakan ayah angkatmu tadi, Li… keputusan ada di tanganmu.”

Liana menarik napas, pelan namun dalam. “Cerita ayahku tadi mengingatkanku pada sebuah buku. Buku yang pernah kamu belikan dulu. Judulnya... Politik Merenggut Keluargaku karya Pandu Gustivo.”

Johan sontak menghentikan tarikan gasnya. “Apa? Pandu Gustivo? Maksudmu... Bang Pandu?”

“Iya, Jo. Nama penulisnya Pandu Gustivo. Kamu kenal dia?”

Johan menelan ludah. “Aku mengenalnya, sangat bahkan. Tapi... Li, isi bukunya tentang apa?”

Liana menatap jendela, matanya berkabut, namun suaranya mulai tenang. “Tentang betapa kejamnya politik, Jo. Tentang seorang pria—Bapak Pandu—yang hidupnya hancur saat memutuskan ikut dalam pemilihan wakil walikota. Dia seorang pengusaha sukses, pemilik banyak rumah makan di dalam dan luar negeri. Saat dia menyatakan maju, hidupnya mulai berubah…”

“Dalam bukunya, ia bercerita tentang malam itu. Anak perempuannya yang baru berusia dua tahun, diculik dari rumah. Saat itu, dia sedang di luar kota. Di rumah, hanya ada istrinya dan dua satpam. Semuanya dilumpuhkan. Anak itu… hilang, tanpa jejak.”

“Bapak Pandu ingin mundur dari pencalonan. Tapi calon walikota yang jadi pasangannya—Pak Fandi—memintanya bertahan. Percayakan pencarian pada kepolisian, katanya. Dan dia bertahan. Mereka menang, Jo. Sekali putaran. Tapi kehilangan itu… tak pernah kembali.”

Liana memejamkan mata sejenak, menahan air yang mulai mendesak keluar.

“Dia tetap mencari anaknya, meski sudah duduk di kursi kekuasaan. Tapi tak satu pun petunjuk ia temukan. Kepolisian pun menyerah. Lalu istrinya jatuh sakit. Terlalu berat memikul luka yang tak sembuh. Tiga bulan di rumah sakit, dan wanita itu pun pergi untuk selamanya. Meninggalkan Bapak Pandu sendirian.”

Johan terdiam. Jalanan menjadi saksi sunyi antara kisah dan kenyataan yang pelan-pelan membelit logika mereka.

“Di akhir bukunya,” lanjut Liana, “ia bersumpah takkan pernah kembali ke dunia politik. Meskipun banyak yang memintanya maju sebagai walikota. Orang-orang begitu mencintainya, Jo. Apalagi setelah dia membuat kebijakan yang indah: menggratiskan makanan dua kali sehari di dua puluh rumah makannya di Padang. Untuk anak kos, anak jalanan, anak yatim, siapa saja yang butuh. Ia memberi dari luka.”

Johan menggenggam setir lebih erat, namun sorot matanya berubah. Lebih dalam, lebih tajam, seolah hatinya merasakan sesuatu yang belum sempat diucapkan.

“Lalu... kamu tahu siapa anak yang diculik itu, Li?”

Liana memalingkan wajahnya padanya. Tatapannya tajam, tapi penuh ketakutan. “Aku belum tahu. Tapi sejak membaca buku itu, Jo... entah kenapa aku merasa... aku membaca tentang diriku sendiri.”

Keheningan pun menggantung di antara mereka, seperti kabut tipis yang melingkari cerita-cerita lama, menunggu satu hembusan angin untuk mengungkap kebenaran yang sesungguhnya.

“Kurasa kita harus putar balik, Lia…” ucap Johan pelan, namun nadanya tegas. Matanya menatap jalanan yang mulai gelap oleh senja. “Kita harus tanyakan langsung kepada penulisnya. Aku mengenal Bang Pandu… dan kurasa kisah di bukunya sinkron dengan apa yang diceritakan ayah angkatmu tadi.”

Liana menoleh pelan. Di matanya, ada kilatan antara takut dan harap. “Benarkah, Jo? Kalau begitu… jika cerita ayahku dan buku itu benar adanya, maka...”

Kalimat itu menggantung. Suaranya tercekat, seperti ada sesuatu yang menahan di tenggorokan—sesuatu yang terlalu besar untuk diucapkan.

Johan mengangguk. “Ya, Lia. Sesuai dugaanmu. Kamu mungkin… anak dari Bang Pandu. Anak perempuan yang diculik dua dekade lalu.”

Diam.

Hening sesaat.

“Umurmu sekarang berapa, Li?”

“Dua puluh tiga tahun,” jawab Liana pelan, nyaris seperti bisikan angin.

Johan menatap ke depan, lalu bergumam seperti menyusun kepingan teka-teki di dalam benaknya. “Dua puluh tahun lalu. Bayi itu diculik di usia dua tahun. Waktu yang nyaris sempurna dengan usiamu sekarang…”

Tanpa banyak bicara lagi, Johan langsung memutar balik mobilnya. Pedal gas diinjak lebih dalam, menembus senja yang mulai menua. Tujuan mereka satu: toko buku milik Pandu Gustivo.

Perjalanan menuju toko buku itu seperti perjalanan ke dalam masa lalu. Johan diam, wajahnya tegang. Liana duduk di sebelahnya, matanya menatap ke luar jendela, tapi hatinya jelas sedang berlari ke dalam.

Begitu tiba di toko, mereka melangkah masuk. Rak-rak buku menyambut dengan wangi kertas tua, tulisan-tulisan yang disusun dari rasa, luka, dan kenangan. Di balik meja kasir, seorang pria duduk—menyusun buku dengan tenang. Pria itu… Pandu Gustivo.

Johan melangkah mendekat. “Permisi, Bang Pandu?” sapanya lirih, namun cukup membuat pria itu mengangkat kepala.

“Eh, Johan!” sapa Pandu hangat. “Lama tak ke sini. Katanya mau kasih inspirasi cerita, tapi gak datang-datang. Sekarang aja ya!”

Johan tersenyum samar, tapi senyum itu tak bisa menyembunyikan gejolak dalam dirinya. “Bang… kali ini aku datang bukan untuk cerita. Aku datang… untuk hal yang serius. Oh iya, kenalkan. Ini Liana.”

Pandu mengalihkan pandangannya ke arah gadis yang berdiri setengah ragu di samping Johan. “Halo, Lia. Ini pacarmu ya, Jo?” godanya ringan.

“Hehe… bukan, Bang. Lia bukan pacarku. Tapi… apa yang akan kami bicarakan ini menyangkut abang dan… Liana.”

Pandu mulai serius. Kedua alisnya bertaut ringan. “Menyangkut aku… dan dia?”

Johan mengangguk, lalu melanjutkan, “Kami ingin bicara tentang buku abang, Politik Merenggut Keluargaku.”

Seketika, wajah Pandu berubah. Tak lagi hangat, tapi tidak pula dingin. Hanya… kosong, seakan menyelam ke dalam memori yang lama terkubur.

“Ah… buku itu…” gumamnya lirih. “Itu… buku yang paling sulit kutulis, Jo.”

Liana akhirnya bicara. Suaranya bergetar, namun matanya mantap. “Aku membaca buku itu, Bang. Dan cerita di dalamnya… sangat mirip dengan apa yang diceritakan oleh ayah angkatku…”

Pandu menatap Liana dalam-dalam. Tak ada suara yang keluar dari bibirnya. Hanya matanya yang menyipit, seolah sedang membaca puing-puing kenangan yang bertebaran dalam wajah gadis itu.

“Ayah angkatmu, katamu?” ucap Pandu, suara yang akhirnya keluar dari lubuk yang dalam.

Johan melanjutkan, “Kami baru saja mendengarkan kisah dari ayah angkat Liana, dan kemudian… Liana membaca buku abang. Semua kisah itu… seperti potongan puzzle yang saling mengisi.”

Pandu menatap Johan. Lalu menatap Liana sekali lagi. Matanya bergetar. Rahangnya mengencang.

Hening pun menggantung. Waktu seakan berhenti di antara rak-rak buku itu. Dan di antara mereka, ada takdir yang sedang mengetuk perlahan.

Pandu terdiam. Hening membalut tubuhnya, seperti malam yang enggan bicara. Pandangannya kosong, menembus rak-rak buku yang tiba-tiba terasa jauh. Di matanya, ada luka yang belum sembuh, dan mungkin tak akan pernah sepenuhnya sembuh.

Lalu ia mengangguk pelan. Suaranya nyaris seperti desir angin.

“Benar… cerita dalam buku itu memang lahir dari luka yang kusembunyikan lama. Terinspirasi dari pengalaman yang kucoba kubur, tapi tak pernah benar-benar mati.”

Ia menarik napas.

“Ceritakanlah, bagaimana kisah yang dikatakan oleh ayah angkatmu, Nak.”

Liana mulai membuka mulutnya. Suaranya lirih, seolah takut mengusik kenangan yang rapuh. Ia bercerita perlahan, seperti membaca puisi luka dari masa lalu. Johan membantunya mengisi bagian-bagian yang tertinggal. Kata demi kata jatuh, mengisi ruang yang dulu kosong.

Pandu mendengarkan dalam diam. Tubuhnya tak bergerak, hanya matanya yang pelan-pelan mulai digenangi air. Ia memperhatikan Liana—gadis itu, dari ujung rambut hingga ujung jemari. Dan hatinya gemetar. Ada sesuatu yang tiba-tiba ia kenali… sesuatu yang ia rindukan dua dekade lamanya.

“Jadi… itu berarti…” suara Liana patah di ujung lidahnya.

Pandu mengangguk pelan, seperti embun yang jatuh ke tanah kering.

“Ya, Liana. Itu berarti… kamu adalah anakku. Anakku yang hilang dua puluh tahun yang lalu.”

Hening.

Waktu seolah berhenti berdetak. Suara-suara dunia luar meredup. Liana hanya menatap, tubuhnya kaku, pikirannya seperti dihempas ombak ribuan kenangan yang tak ia pahami.

Pandu melangkah perlahan. Ia menyentuh bahu Liana dengan tangannya yang mulai keriput, namun sentuhannya tetap hangat.

“Aku menyesal, Nak. Aku mencarimu sepanjang hidupku. Namun waktu seakan tak pernah berpihak. Aku hidup dengan doa yang tak pernah selesai. Siapa sangka… kamu ternyata sedekat ini…”

Air mata yang ditahan Liana pun runtuh. Tangisnya pecah, namun bukan hanya karena sedih—tapi juga karena beban yang perlahan mulai terangkat. Johan memeluknya, pelan, penuh empati, seperti langit yang mendekap bumi setelah hujan turun deras.

Pandu mengisyaratkan mereka untuk masuk ke ruang belakang.

“Marilah kita bicara lebih dalam.”

Ruang itu sederhana. Di dindingnya tergantung sebuah foto lama. Seorang pria muda menggendong bayi kecil, sementara seorang wanita tersenyum bahagia di sampingnya.

Liana menatap foto itu. Ada desir halus dalam hatinya.

“Apa… bayi itu aku?” tanyanya pelan.

Pandu menjawab dengan suara yang hampir tak terdengar,

“Ya… itu kamu. Anakku.”

Kemudian ia mulai bercerita. Tentang hari penculikan itu. Tentang kegelisahan, tentang kehilangan istrinya karena depresi, dan bagaimana dunia politik yang kelam mencabik hidupnya tanpa ampun. Setiap kalimatnya adalah luka yang ia buka perlahan, agar anaknya mengerti: bahwa ia tidak pernah menyerah, hanya kehilangan arah.

Liana mendengarkan dengan khusyuk. Tak ada kata yang sia-sia, semuanya seolah potongan puzzle yang perlahan menyatu. Untuk pertama kalinya, hidupnya seperti menemukan fondasi yang hilang.

Setelah semuanya dikisahkan, Pandu menatap Liana dengan mata penuh harapan.

“Aku tahu hidupmu penuh luka, Nak. Tapi aku ingin kamu tahu, di sini—di tempat ini, ada rumah yang selalu menantimu. Ada peluk yang tak akan pernah kau minta dua kali. Aku ingin kau bahagia. Meski itu artinya aku harus belajar mencintaimu kembali dari awal.”

Liana tersenyum di tengah tangisnya. Senyum yang mengandung pelipur lara.

“Terima kasih, Papa,” ucapnya pelan. Kata itu menggetarkan udara.

Pandu tak bisa lagi menahan air matanya. Ia membuka pelukannya.

“Sini, anakku nan manis…”

Dan mereka berpelukan. Pelukan yang lama, yang hangat, yang memulihkan. Tak ada musik latar. Tak ada sorak. Hanya keheningan yang penuh makna. Sebab bagi mereka, detik ini adalah keajaiban.

Mereka menghabiskan waktu di toko buku itu hingga malam hampir tiba. Cerita demi cerita mengalir. Tapi di antara harapan, ada luka yang tetap tak mudah sembuh. Namun kini mereka tak sendiri.

Ketika malam mulai turun, mereka duduk bertiga di bangku taman kecil depan toko. Pandu di tengah, Liana di kanan, Johan di kiri.

Liana menatap ayahnya. Tatapannya lembut, tapi penuh tanya.

“Papa… kenapa tidak lebih awal? Kenapa tidak menemukanku dulu?”

Pandu menunduk.

“Maafkan Papa, Liana… aku mencari, sungguh. Tapi dunia terlalu gelap saat itu. Jejakmu seolah lenyap ditelan bumi. Setiap hari adalah doa. Setiap malam adalah tangis. Aku merasa gagal sebagai ayah. Dan luka itu… tak pernah sembuh.”

Liana menangis lagi. Tapi kini bukan karena kehilangan. Melainkan karena ia tahu… sang ayah pun terluka selama ini.

Johan meletakkan tangannya di bahu Liana.

“Kita semua kehilangan sesuatu dalam hidup ini. Tapi sekarang… kita bisa saling mengobati.”

Pandu mengusap pipi anaknya, lembut seperti angin pagi.

“Ayo pulang, anakku. Kita mulai dari awal.”

Mereka berjalan menyusuri jalan kecil menuju rumah, tak berkata-kata. Namun setiap langkah adalah harapan. Matahari sudah tenggelam, tapi langit masih menyisakan warna jingga keemasan, seolah memberi restu atas pertemuan itu.

Dan di sanalah mereka: ayah, anak, dan seorang sahabat. Tiga jiwa yang bersatu dalam luka dan cinta. Mereka tak tahu apa yang akan datang besok. Tapi mereka tahu, mereka akan menghadapinya bersama-sama.

Karena pada akhirnya, yang menyembuhkan bukan waktu, bukan jarak, bukan takdir.

Yang menyembuhkan… adalah cinta yang tak menyerah.

1
Aline1234
lanjutkan sob
Aline1234
lanjut sob
Lara12
🥲
Like_you
alur yang menarik 😄
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
Mika
upss /Rose/
Mika
setelah searching, ternyata beneran ada tanaman mandragora, mana bentuk akar nya serem lagii/Toasted/
Mika
nangis aja Joo, ga usah ditahan/Cry/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!