Pemuda tampan yang sakit-sakitan dan pengangguran di usianya yang telah 30 tahun meski bergelar sarjana, ia dicap lingkungan sebagai pengantin ranjang karena tak kunjung sembuh dari sakit parah selama 2 tahun.
Saat di puncak krisis antar hidup dan mati karena penyakitnya, Jampi Linuwih, mendapat kesempatan kedua.
Jemari petir, ilmu pengobatan, hingga teknik yang tak pernah ia pelajari, tiba-tiba muncul dalam pikirannya. Ia dipilih langit untuk mengemban tugas berat di pundaknya.
Mampukah ia memikul tanggung jawab itu? Saksikan perjalanan Jampi Linuwih, sang Tabib Pilihan Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardi Raharjo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27_ Jumat Pagi
"Intan apa itu? Indah sekali", gumam Jampi. Ia pun mencoba merogoh kantong semarnya dan mencoba membayangkan intan tersebut.
Sayangnya, saat ia mengangkat tangannya, hanya intan yang mirip lah yang ada dalam genggamannya. Bedanya, intan dalam benaknya menguarkan energi berwana hijau kekuningan. Sedangkan intan di tangannya hanya intan biasa dengan warna, bentuk, dan pendar yang mirip secara fisik.
" Sudah lah. Lebih baik kusimpan saja intan ini. Mungkin bisa kujadikan hadiah untuk Asa", gumam Jampi yang tersenyum namun hatinya tersayat. Ia tak ingin terus seperti ini, namun mau bagaimana lagi jika ia tidak bisa keluar dengan selamat dari sini.
Malam itu, tepatnya mendekati waktu subuh, kedua perempuan itu entah apa alasannya, mereka membiarkan Jampi dan tidak menggilirnya lagi.
"Mungkin ini sudah masuk waktu subuh. Lebih baik aku jalan-jalan di sekitar istana", gumam Jampi, beranjak dari balkon istana.
Keluar dari pintu istana yang lebar dan tinggi, Jampi mendekati tanah lapang yang ada di belakang istana.
" Siapa mereka?" ucap Jampi yang melihat ada banyak manusia seperti dirinya tengah bekerja di peternakan kumuh. Tubuh mereka penuh kotoran hewan, lumpur, dan berbau amis.
"Apa yang mereka kerjakan?" Jampi belum pernah melihat perbudakan selain dirinya. Kini, ia bertemu manusia senasib. Bedanya, ia hanya bekerja di ranjang empuk, tepatnya dikerjai.
Baik penjaga dan para budak, mata mereka melihat ke arah Jampi yang tengah santai berkeliling. Nampak mata para lelaki dan para penjaga begitu iri dengan Jampi.
"Apa mereka pemuja ratu itu?", duga Jampi. Ia sering mendengar seseorang diculik jin. Namun jumlahnya sedikit. Berbanding terbalik dengan manusia yang memuja jin, banyak jumlahnya bersama para tumbalnya yang umumnya mati tidak wajar.
Jampi hanya berkeliling. Statusnya adalah budak sang ratu. Sehingga, walau para penjaga tidak berhak mengusiknya, Jampi pun tidak berhak mengajukan pertanyaan apapun kepada mereka. Jadi, dia hanya bisa menerka-nerka dan mengamati keadaan saja.
" Oh, jadi mereka memakan hasil ternak", pikir Jampi. Ia melihat para jin itu mengambil sejenis cahaya dari daging ternak, tulang, dan kotorannya. Jampi mengingat bahwa para jin memakan energi ranting, batu, dan kotoran hewan yang telah mengering. Namun kesukaan mereka adalah menyantap energi dari makanan manusia yang lalai dan haram.
"Lalu, bagaimana ratu dan putrinya? Aku belum pernah melihat mereka menyantap makanan seperti para prajurit", benak Jampi.
Ia melanjutkan penyelidikannya dengan berjalan santai.
" Wah, aku belum sholat subuh. Tapi, sebaiknya kulakukan di luar istana", pikir Jampi. Ia pun bergegas ke arah pintu gerbang. Di sana, ia dicegah oleh dua penjaga setinggi 2,5 meter namun berwujud manusia kekar. Hanya saja, kepala mereka adalah ular laut.
"Kau hanya diizinkan ratu untuk berada di wilayah istana, tidak boleh keluar batas!", ujar penjaga berbadan tegap dengan senjata tombak melengkung seperti busur dengan ujung bercabang seperti lidah ular.
" Eh, kan cuma di luar pagar. Kalian bisa memantauku. Toh tenagaku melemah. Kalian bisa dengan bebas dan mudah menangkapku jika melarikan diri", Jampi mencoba bernegosiasi.
"Tidak!", tolak penjaga sembari mengarahkan ujung tombaknya ke leher Jampi.
" Apa kalian berani membunuhku?", Jampi mencoba menguji mereka.
"Dengan senang hati. Budak rendahan seperti dirimu hanyalah kotoran yang paling rendah. Maju lah, akan kupotong tenggorokanmu yang ringkih itu!", ancam penjaga yang nampak serius. Jelas kilat cemburu ada di matanya, seperti para penjaga lainnya.
" Ya sudah kalau begitu. Kenapa harus marah-marah, santai saja snek", ejek Jampi yang menyamakan sebutan ular dengan makanan ringan dalam bahasa asing.
Jampi pun berjalan menjauhi mereka.
"Huh, untung saja mereka tidak tahu maksudku", batin Jampi karena merasa kekuatannya saat ini sangat tidak mumpuni jika harus bertarung melawan para penjaga yang baru saja ia ejek.
Jampi memilih masuk ke ruang bawah tanah, bertayamum, kemudian menunaikan sholat. Ia tak peduli jika harus digilir lagi. Ia hanya perlu melawan meski itu tidak berguna.
Hari demi hari ia jalani dengan perasaan buruk. Mereka berdua seakan tak pernah merasa cukup. Entah berapa kali sehari, Jampi enggan menghitungnya. Yang bisa ia tandai adalah saat mendekati subuh hingga lepas dhuhur, Jampi bebas dari mereka berdua.
Jum'at pagi, Jampi yang telah terbiasa dengan kondisi sialnya pun telah beradaptasi. Kini ia bisa melawan dengan cara mencubit bibir, mata, atau alis mereka. Jelas itu takkan bisa menghentikan mereka, namun setidaknya bisa membuat mereka murka daripada sekedar meronta.
" Nak, apa kamu mendengarku?", tiba-tiba Jampi mendengar suara yang sangat familiar di telinganya.
"Ibu?", lirih Jampi yang tengah berjalan-jalan sendirian.
" Alhamdulillah, gurumu ingin berbicara denganmu", pungkas bu Eki yang berhasil membangun komunikasi dengan Jampi.
"Baik bu, aku mendengarkan", jawab Jampi lirih.
Di rumah Jampi, pak Joni diminta menyentuh pundak bu Eki, sedangkan pak Bekti menggunakan sarung tangan dan menyentuh dahi bu Eki untuk menyalurkan energinya.
"Nak, dengarkan instruksiku. Nanti tepat setelah sholat jum'at, aku akan membantumu mengalahkan ratu dan seisi istana", pak Bekti menjabarkan rencana detailnya kepada Jampi. Pemuda itu hanya berdiri layaknya patung, mendengarkan rencana gurunya dengan seksama.
Setelah beberapa saat, semua rencana telah mereka sepakati. Arah dan langkah demi langkah juga siap dieksekusi.
" Baik. Terimakasih guru. Sungguh jasamu luar biasa dalam hidupku", jawab Jampi dalam pikirannya.
Segera, Jampi memasuki istana. Ia menyusuri jalan yang dimaksudkan gurunya.
"Ini, sama seperti yang ada dalam gambaran waktu itu", pikir Jampi. Ia ingat intan yang bersinar ternyata berada di bawah ranjang sang ratu. Tugasnya adalah mengambil intan itu dengan cara apapun. Selebihnya, pak Bekti yang akan melaksanakan tugasnya.
Jampi melangkah ke dalam kamar sang ratu. Ia melihat sang ratu sedang duduk bersemedi. Nampak sinar hijau keemasan menguar dari alat kelaminnya dan masuk ke ubun-ubun maupun titik di antara kedua matanya.
" Ada apa sayang? Apa kamu ketagihan dengan permainanku, sehingga dengan sendirinya datang menemuiku?", ucap sang ratu tanpa membuka mata, namun jelas senyum bangga tersungging di wajah cantiknya.
Jampi hanya melirik, namun tidak menggubris perkataan sang ratu dan terus melangkah ke arah ranjang. Perlahan ia duduk di ranjang, memperhatikan, di mana kira-kira intan itu ditanam dan bagaimana cara mengambil intan itu.
"Oh, dasar manusia. Sama saja. Kelihatannya lugu, namun sejatinya penuh nafsu, bahkan kamu tak mau menunggu aku memaksamu", ujar sang ratu dengan penuh rasa percaya diri.
" Aku hanya melihat ranjang. Ingin mencari jarum atau semacamnya untuk menusuk mata dan bibirmu cerewetmu itu", Jampi sengaja membuatnya marah agar ia tak fokus menyerap energi keemasan miliknya.
"Hahaha, umpanmu itu tidak berguna kepadaku. Tunggu aku selesai menyerap kekuatan ini, maka kamu akan tahu bagaimana kemarahanku di ranjang kepadamu!", jawab sang ratu kemudian diam, mengabaikan Jampi.
Ia sama sekali tidak khawatir pemuda itu akan menghabisinya. Ia sangat yakin akan kekuatannya saat ini yang jelas jauh di atas Jampi.
lanjuttt.... semangattt