Arthazia sangat membenci Arslan, lelaki yang menjadi suaminya selama lebih dari tiga tahun belakangan. Segala cara dia lakukan agar bisa terbebas dari lelaki tak berperasaan itu, termasuk bekerja sama dengan musuh Arslan, hingga akhirnya surat cerai pun berhasil Arthazia dapatkan. Tapi siapa sangka, langkah itu justru membuat Arthazia berada dalam bahaya.
Saat semua telah berada di ujung tanduk, satu-satunya sosok yang datang untuk menyelamatkan Arthazia justru Arslan. Lelaki itu bahkan rela berkorban nyawa untuk sang mantan istri. Setelahnya, kebenaran akan perasaan Arslan untuk Arthazia pun terungkap. Arthazia sungguh menyesal karena tak pernah memahami bahasa cinta yang Arslan tunjukkan padanya selama ini.
Namun, saat Arthazia merasa tak mampu melanjutkan hidupnya lagi, tiba-tiba waktu kembali ke masa Arthazia belum bercerai. Lalu akankah kali ini semuanya menjadi berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiwie Sizo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu Satu-satunya Hal Baik yang Aku Miliki
Arthazia merasakan nyeri tak terkira di dadanya. Perasaannya bergemuruh tak menentu, membuatnya napasnya terasa agak tersendat. Selama dia dan Arslan menikah, tak pernah sedikitpun Arthazia mendengar cerita tentang lelaki itu. Dia sungguh tak menyangka jika Arslan memiliki cerita hidup yang cukup menyedihkan.
"Andai saja aku tidak pernah menutupi apapun darimu sejak awal, mungkin kita tidak akan menjadi seperti ini," ujar Arslan lagi.
Tak mampu menanggapi kalimat sendu yang Arslan ucapkan, Arthazia hanya bisa menunduk. Dia juga menyayangkan apa yang telah terjadi. Akan tetapi, dia juga bersalah di sini. Terakhir kali, Arslan sudah meminta kesempatan untuk menjelaskan semuanya, tetapi Arthazia sudah terlanjur kecewa dan tak percaya lagi pada lelaki itu. Bahkan sampai memilih untuk bekerja sama dengan Logan.
"Aku juga bersalah dan punya andil besar terhadap apa yang terjadi pada kita saat ini. Andai aku tidak menuruti ego, semua pasti masih baik-baik saja," sahut Arthazia kemudian masih sambil menundukkan kepalanya. Dia sadar, jika pada akhirnya hanya Arslan yang benar-benar peduli padanya, terlepas dari bagaimana sikap Arslan dulu.
"Andai aku tidak meminta bantuan Logan ...."
Kalimat Arthazia terhenti saat merasakan Arslan menyentuh punggung tangannya. Seketika ia mendongak ke arah lelaki itu.
"Jika nanti kita berhasil pergi dari tempat ini, maukah kamu memulai semuanya sekali lagi bersamaku, Zia?" tanya Arslan.
Hening. Arthazia tampak membeku dengan raut wajah yang tak dapat dijabarkan dengan kata-kata. Seketika pandangannya terasa buram karena air mata. Pada akhirnya, tangis wanita itu pecah. Dia terisak lirih dengan bahu yang bergetar.
"Kenapa?" tanya Arthazia kemudian di sela tangisnya. "Kenapa kamu ingin memulainya lagi bersamaku? Aku sudah mengkhianatimu dan membuat masalah yang besar untukmu. Aku sudah menempatkanmu ke dalam bahaya. Aku sudah melakukan hal yang buruk, tetapi kenapa kamu masih ingin memulainya lagi bersamaku? Kenapa?"
"Karena semua itu bukan salahmu. Akulah yang sudah mendorongmu melakukan semuanya. Aku yang membuatmu merasa sendirian, sehingga kamu lebih memilih membahayakan diri hanya untuk terlepas dariku. Semua itu salahku, Zia," sahut Arslan.
Arthazia menggelengkan kepalanya sembari terisak semakin kencang.
"Kamu bisa mendapatkan perempuan mana saja selain aku, Arslan. Kamu bisa mendapatkan yang berkali-kali lipat lebih baik dariku. Kenapa kamu masih tetap ingin bersamaku setelah apa yang sudah aku lakukan padamu?" Kembali Arthazia bertanya.
"Apa kamu tahu, Zia?" Arslan menggenggam jemari Arthazia yang tadi disentuhnya. "Kamu satu-satunya hal baik yang aku miliki di dunia ini."
Mendengar itu, tangis Arthazia semakin menjadi. Perasaan bersalah dan menyesal itu kian memenuhi hatinya. Bagaimana bisa dia menganggap Arslan begitu buruk selama ini, sedangkan Arslan sendiri menganggap dirinya sangat berharga.
Perlahan tangan Arslan terulur menyeka air mata Arthazia, kemudian membawa Arthazia ke dalam pelukannya. Arthazia membalas pelukan itu dengan isakan yang semakin kencang.
"Maafkan aku, Arslan. Aku bersalah padamu," ujar Arthazia dengan agak tersengal. Dia tersedu-sedu dengan segenap rasa penyesalan.
"Tidak, kamu tidak salah," sahut Arslan sambil mengusap lembut punggung Arthazia. "Kamu tidak pernah melakukan kesalahan."
Arslan menyeka air mata yang membanjiri wajah Arthazia sembari menatap perempuan itu dengan segenap perasannya, lalu kembali membawa Arthazia ke dalam pelukannya. Cukup lama Arthazia menangis, sampai akhirnya dia kelelahan dan tangisnya perlahan mereda.
Wajah Arslan terlihat semakin pucat daripada sebelumnya, tetapi bibirnya terlihat menipis hampir menyerupai sebuah senyuman. Dia masih enggan mengurai pelukannya dan membiarkan Arthazia menumpahkan segala emosi sembari menyandarkan kepala di dadanya.
Sampai akhirnya, Arslan merasa matanya begitu berat dan kesadarannya sedikit demi sedikit menghilang. Perlahan, mata Arslan terpejam dan pelukannya pada Arthazia pun merenggang.
Bersambung ....