A World Without You

A World Without You

Mari Kita Bercerai

Seperti biasa, sarapan pagi di meja makan keluarga Edbert dihiasi oleh suasana yang hening. Hanya terdengar suara sendok dan garpu yang bergesekan dengan piring. Semua anggota keluarga tampak menikmati makanan mereka dalam diam.

"Arslan, kemarin Mama bertemu dengan teman lama. Sepupunya ternyata seorang dokter ahli kandungan yang sangat bagus." Elisa, sang nyonya besar membuka percakapan di tengah keheningan. Dia sebenarnya ibu tiri Arslan, tetapi kata-katanya selalu didengarkan oleh Arslan layaknya ibu kandung sendiri.

"Sepertinya kamu perlu membawa istrimu untuk memeriksakan diri," lanjut Elisa lagi sambil melirik ke arah Arthazia, menantunya.

Arthazia langsung menghentikan kunyahannya dan menelan makanan di dalam mulutnya dengan setengah paksa. Selalu topik tentang kesehatan rahim yang dibicarakan oleh Elisa akhir-akhir ini, membuat Arthazia sedikit jengah.

"Aku dan Zia tak memiliki masalah apapun." Arslan menyahut ucapan ibu tirinya dengan santai, seolah tak merasa terganggu sama sekali.

"Tidak ada salahnya memeriksakan diri." Elisa bersikeras.

"Kami sudah memeriksakan diri sebelum menikah. Tidak ada yang bermasalah." Arslan menyahut lagi, masih dengan ekspresi tak acuh.

"Tapi ini sudah tiga tahun, Arslan. Kalian sudah menikah selama itu dan sampai saat ini belum juga ada tanda-tanda Zia hamil. Jika kamu memang tak bermasalah, pasti istrimu itu yang memiliki masalah pada rahimnya, makanya harus kembali diperiksakan ke dokter." Elisa menyahut dengan nada ketus sembari kembali melirik tajam ke arah Arthazia.

Arthazia hanya diam meski saat ini darahnya terasa mendidih. Selalu saja dirinya yang dipojokkan karena belum kunjung hamil, padahal justru Arslan sendiri yang belum ingin memiliki anak. Arthazia ingin mendengar apakah kali ini Arslan juga tak akan memberikan penjelasan dan membiarkan dirinya yang dipojokkan seperti sebelum-sebelumnya.

"Baiklah, nanti aku akan meluangkan waktu untuk pergi ke rumah sakit bersama Zia." Jawaban yang Arslan berikan justru sangat bertolak belakang dengan yang Arthazia harapkan, seolah membenarkan jika rahim Arthazia mungkin bermasalah.

"Sebaiknya lakukan segera, jangan menunda-nunda terlalu lama." Elisa menekankan. "Setidaknya, masih ada banyak waktu untuk melakukan pengobatan jika masalahnya bisa dideteksi sejak awal."

"Ya." Untuk ke sekian kalinya Arslan menyahut dengan nada datar, tak ada maksud sedikitpun untuk menjelaskan jika Arthazia tak kunjung hamil karena dirinya selalu melakukan pencegahan.

"Saran yang lebih tepat untuk Mama ucapkan pada Arslan mestinya bukan meminta dia untuk membawaku ke ahli kandungan, Ma, tapi mintalah dia untuk berhenti menjadi seorang pengecut." Arthazia akhirnya membuka suaranya setelah sejak tadi hanya diam mendengarkan.

Tentu saja mata Elisa langsung membeliak mendengar apa yang Arthazia katakan. Arslan pun tampak tak kalah terkejut.

"Apa maksudmu?" tanya Elisa dengan raut wajah tak suka.

"Tak ada gunanya aku pergi ke dokter kandungan paling hebat di muka bumi ini jika dia terus menggunakan pengaman saat menyetuhku," lanjut Arthazia lagi dengan agak frontal. Sekarang dia tak lagi peduli meski harus dipandang tak sopan.

Arslan bahkan hampir tersedak mendengar apa yang istrinya ucapkan barusan.

"Zia, apa perlu kamu mengatakan itu?" Lelaki itu tampak marah karena Arthazia telah mengatakan tentang urusan ranjang mereka dengan begitu gamblang di hadapan Elisa.

"Harusnya aku tidak perlu sampai mengatakannya jika kamu bisa memberikan penjelasan yang memadai pada orang-orang yang selalu menyudutkanku," sahut Arthazia sambil balas melirik ke arah Elisa, tampak sangat muak pada ibu mertuanya yang bermuka dua itu.

Arslan tampak sedikit mengerutkan keningnya. Agaknya lelaki itu merasa heran dengan sikap tak biasa yang ditunjukkan oleh sang istri kali ini. Tak hanya Arslan, Elisa juga tak kalah heran. Tapi yang lebih mengherankan bagi Elisa adalah pengakuan Arthazia barusan.

"Selama ini, setiap kali ada pembahasan tentang keluarga Edbert yang belum juga mendapatkan penerus, semua kesalahan selalu dilimpahkan kepadaku. Aku selalu diam saja karena kupikir kamu akan mengatasi semua ini dan membelaku di hadapan orang-orang. Tapi bahkan di hadapan ibumu, kamu bersikap seolah aku adalah perempuan mandul, padahal kamulah yang tak mengizinkan aku untuk mengandung anakmu. Apakah aku harus terus diam saja?" Arthazia bertanya dengan tajam sembari menatap ke arah Arslan dengan tak kalah garang.

Arslan meletakkan sendok dan garpu yang digunakannya untuk makan, lalu balik menatap Arthazia sambil sedikit menghela napasnya. Dia tak pernah menggubris setiap komentar orang-orang, itu karena Arslan berpikir hal itu tidaklah penting. Dia pikir, Arthazia juga tak terganggu dengan hal itu.

"Aku tahu, kamu memang tak pernah peduli padaku dan apa yang aku rasakan. Kamu tak peduli bahkan jika aku menjadi gila karena harus menahan semua penghinaan ini sendirian." Kali ini, nada bicara Arhazia terdengar lebih rendah, tetapi masih tak kalah tajam.

"Kamu salah paham, Zia. Sepertinya, kita harus membicarakan ini nanti," sahut Arslan setelah terdiam sejak tadi.

"Terserah, aku tidak peduli. Aku juga tidak berharap lagi kamu akan membelaku di hadapan orang-orang yang memojokkanku." Arthazia bangkit dan meninggalkan meja makan begitu saja. Sebuah tindakan yang tentu saja tak pernah dia lakukan selama ini karena tak sopan di mata Elisa.

Sekali lagi, Arslan membuang napas kasar. Dia ingin menyusul Arthazia yang tampaknya pergi ke kamar mereka, tetapi ada pertemuan penting pagi ini yang tak bisa dia lewatkan. Akhirnya, Arslan memutuskan untuk segera berangkat ke kantor dan menyelesaikan kesalahpahaman Arthazia jika urusan pekerjaannya hari ini telah selesai. Lagipula, tampaknya Arthazia hanya sedang merasa kesal sesaat saja.

Sementara itu, Elisa yang masih duduk di meja makan seorang diri tampak masih tertegun. Perempuan paruh baya itu masih tak percaya dengan apa yang disaksikannya pagi ini. Arslan dan Arthazia bertengkar? Sungguh itu mengejutkan dan sebuah momen langka. Seulas senyuman tipis terbit di bibir Elisa karena perasaan senang yang datang tiba-tiba. Sejak dulu dia sering memprovokasi Arthazia agar menantunya itu marah dan menunjukkan sikap yang kasar, tetapi Arthazia tak pernah sedikitpun terpancing. Bahkan justru Elisa yang seringkali dibuat kesal sendiri. Siapa sangka umpan tak seberapanya pagi ini mematik sebuah ledakan yang cukup besar.

Seharian Arthazia tak keluar dari kamarnya. Bahkan saat pelayan datang mengantarkan makanan pun dia menolaknya. Sepertinya kali ini dia benar-benar merasa marah, sampai-sampai tak memiliki selera makan sedikitpun.

Arslan sendiri baru kembali saat larut malam. Melihat Arthazia yang berdiri di balkon kamar mereka di jam selarut itu, Arslan menyadari jika kemarahan sang istri kali ini tak main-main. Segera Arslan membersihkan diri, lalu menyusul Arthazia ke balkon.

"Bisa kita bicara, Zia?" tanya Arslan membuka percakapan setelah berada di samping Arthazia.

"Ya, tentu saja. Tapi aku ingin berbicara lebih dulu." Arthazia menjawab sembari membalik badannya ke hadapan Arslan.

"Katakan."

Arthazia menatap suaminya itu dengan tatapan yang tak pernah dia berikan sebelumnya, seolah semua emosi yang selama ini ia pendam tercurahkan lewat tatapan itu.

"Mari kita bercerai, Arslan," pinta Arthazia tanpa berkedip.

Bersambung ....

Terpopuler

Comments

YuWie

YuWie

kenapaaa ibu tiri selalu begitu..doyan provokasi.

2024-11-09

0

sakura

sakura

...

2024-11-16

0

@E𝆯⃟🚀BuNdAιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸

@E𝆯⃟🚀BuNdAιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸

Arslan memang salah. harusnya ada alasan kenapa belum mau punya anak

2024-09-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!