Hamdan seorang siswa SMA kelas dua. Sedari kecil sudah tinggal di Panti sehingga dia tidak pernah tahu akan keberadaan orang tuanya.
Hamdan sangat suka silat tapi dia tidak punya bakat.
Setiap kali latihan, dia hanya jadi bahan ledekan teman-temannya serta omelin Kakak pelatihnya.
Suatu hari Hamdan dijebak oleh Dewi, gadis pujaan hatinya sehingga nyawanya hampir melayang.
Tak disangka ternyata hal itu menjadi asbab berubahnya takdir Hamdan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masalah Bertubi-tubi
Hingga mata pelajaran berakhir, tak satu pun yang masuk ke dalam kepala Dewi.
Konsentrasinya buyar. Apa lagi saat melihat Fitri dan Hamdan benar-benar mesra.
Dari tatapan keduanya, Dewi tahu, mereka berdua tidak sedang berakting tapi mereka berdua memang benar-benar saling mencintai.
'Bagai mana hal ini bisa terjadi?' Dewi hanya bisa menggigit bibirnya.
"Hamdan, kamu pulang lah dulu!Hari ini aku ada ekskul panahan. Tak lama lagi akan ada seleksi untuk O2SN. Aku berharap, aku akan lulus. Bawa saja motor aku. Aku nanti pulang sama teman saja."
"Tak perlu, Fit. Biar aku pulang jalan kaki saja. Kan sudah biasa. Kalau aku bawa motor kamu, nanti apa kata orang tua kamu."
Jelas-jelas Hamdan tidak akan memanfaatkan perhatian Fitri.
Hamdan tahu, apa pun yang dia pinta, pasti Fitri akan nurut.
Tapi dia tidak akan bertindak serendah itu.
Fitri semakin hari semakin lengket dengannya.
Awalnya dia tidak mau lagi ikut ekskul panahan karena ingin terus bersama Hamdan.
Waktu itu Hamdan menasehati seperti ini.
"Fit, cinta yang baik itu bisa membawa energi positif kepada dua orang yang saling mencintai."
"Mereka akan lebih semangat dalam menjalani berbagai aktivitas."
"Walau pun secara fisik, kedua insan itu berjauhan tapi hati mereka tetap dekat karena sesungguhnya tiada jarak pada dua hati yang sudah tertaut."
"Cinta membuat kita terus bergerak maju."
"Jika kamu tidak ingin mengikuti ekskul panahan dengan alasan karena ingin lebih lama bersama aku sedang kan kamu tahu, panahan itu adalah hobi mu, maka kamu sedang mengalami kemunduran, Fit."
"Walau pun secara pribadi, kami para cowok suka dan bangga jika cewek selalu ingin dekat dan tak mau berpisah, tapi aku tak mau kamu menjadi seperti itu, Fit."
"Kamu harus tetap berprestasi. Tunjukkan kepada kedua orang tua mu agar mereka bisa bangga, Fit."
Waktu itu Fitri hanya menanggapi dengan lima kata.
"Berapa umur kamu sebenarnya, Hamdan?"
Saat Fitri memasuki tempat latihan memanah, sudah ramai orang yang berada di sana.
"Fitri...."
"Kak Fitri..."
"Selamat siang, Kak..."
"Latihan ya, Fit..."
Fitri heran. 'Ada apa ini? Mengapa orang-orang mendadak ramah terhadapnya?'
Biasanya mereka akan saling sapa jika saat berpapasan saja.
Kali ini berbeda.
Para siswa itu rela menghentikan segala aktivitas mereka hanya demi untuk menyapa dirinya.
'Aneh. Benar-benar aneh.' Pikir Fitri.
"Fitri. Latihan, Fit."
Fadil muncul dari arah samping.
"Eh iya, Kak."
Fitri masih ada rasa bersalah karena telah menolak cinta Fadil waktu itu.
Dia takut Fadil akan marah atau kecewa.
"Oke, kalau begitu, lanjutkan saja. Kalau ada apa-apa, kasi tahu saja ya. Kakak pergi dulu."
Tidak ada rasa marah atau kecewa.
Juga tidak ada tatapan penuh pengharapan.
Yang ada hanya lah tatapan yang penuh pengormatan.
'Sebenarnya apa yang terjadi?'
Fitri jadi bingung sendiri.
...****************...
Ini adalah hari minggu yang kelabu.
Fitri duduk di sudut kamarnya, wajahnya terlihat murung. Pintu kamarnya masih sedikit terbuka, dan suara Papa dan mamanya yang sedang berbicara keras masih terdengar jelas di telinganya. Mereka marah. Marah karena Fitri dekat dengan Hamdan, seorang anak yatim piatu dari keluarga miskin yang ternyata telah diusir dari Panti dan sekarang menumpang tinggal di Ruko yang dijadikan gudang barang.
"Fitri, kamu tidak boleh terus bergaul dengan Hamdan. Apa kata orang nanti kalau tahu kamu dekat dengan anak yang tidak selevel dengan kita?" Ujar Pak Wadi.
"Betul, Fitri. Kamu harus memikirkan masa depanmu. Hamdan tidak bisa memberikan apa-apa untukmu. Kamu harus fokus pada sekolah dan berteman dengan orang-orang yang bisa membantumu sukses." Mamanya ikut menimpali.
Fitri menunduk, matanya berkaca-kaca. Dia tahu bahwa Hamdan adalah pacar yang baik, seseorang yang selalu membantunya tanpa pamrih dan membuatnya merasa bahagia.
Walau pun mereka berpacaran belum lama, tapi Fitri merasa sangat nyaman dan bahagia. Namun, keluarganya tidak pernah bisa melihat Hamdan dari sudut pandangnya. Mereka hanya melihat status sosial dan materi.
Fitri heran, dari mana orang tuanya tahu bahwa dia menjalin hubungan dengan Hamdan.
"Pa, Ma, Hamdan itu anak yang baik. Dia pintar, jujur, dan selalu membantu dan menyemangati Fitri."
"Kenapa harus melihat dia dari latar belakang keluarganya saja? Tidak adil rasanya menilai seseorang hanya dari apa yang mereka miliki."
Papanya menggelengkan kepala, tidak setuju.
"Fitri, dunia ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Realita hidup itu keras. Kamu tidak bisa memilih teman berdasarkan perasaan saja."
"Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Nak. Kami ingin kamu bahagia dan sukses." Mamanya menambahkan, dengan nada yang lebih lembut tetapi tetap tegas.
Fitri merasa bingung dan sedih. Baginya, kebahagiaan tidak diukur dari kekayaan atau status sosial, melainkan dari hubungan yang tulus dan sejati. Dia mencoba menjelaskan kepada orang tuanya.
"Ma, Pa, bukankah kita diajarkan untuk melihat hati seseorang, bukan harta bendanya? Hamdan mungkin tidak kaya, tetapi dia memiliki hati yang baik. Bukankah itu lebih penting?"
Papa dan mamanya saling bertukar pandang. Mereka tidak bisa menyangkal bahwa Fitri benar dalam beberapa hal, namun sebagai orang tua, mereka masih bimbang tentang masa depan anaknya.
Sementara itu, di gudang lantai dua yang menjadi tempat tinggalnya, Hamdan sedang menjalani puasa pertengahan bulan selama tiga hari. Puasa ini bukan sekadar ibadah, tetapi juga bagian dari latihan ilmu kebatinan yang dia pelajari dari Datuk Harimau Putih. Hamdan percaya bahwa latihan ini akan membantunya menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijaksana, serta mampu membantu orang lain dengan lebih baik.
Di tengah hari kedua puasanya, Hamdan duduk bersila di dalam kamarnya yang sederhana. Hening menyelimuti ruangan itu, hanya terdengar suara alunan angin di luar jendela. Hamdan menutup matanya, fokus pada setiap tarikan napasnya, mencoba mencapai kedamaian batin.
Hamdan ingat akan Fitri, seorang gadis yang selalu mendukungnya dalam segala hal. Fitri telah banyak membantunya dan rela melakukan apa saja demi dirinya.
Hamdan tahu bahwa Fitri sedang menghadapi masalah dengan orang tuanya karena hubungan mereka. Hamdan merasa sedih, tetapi dia juga bertekad untuk membuktikan bahwa dia layak mendapatkan kepercayaan mereka.
Tadi, Fitri menelponnya sambil nangis-nangis.
Sebenarnya dia ingin langsung berlari ke tempat Hamdan tapi langsung dicegah oleh papanya.
Pada hal umur hubungan mereka baru lah berbilang hari.
Hamdan sedikit pun tidak menyangka jika hubungan mereka langsung mendapat cobaan secepat ini.
Jika tidak ada orang yang mencoba mengail di air yang keruh, mustahil hal ini akan terjadi.
Sepertinya, Hamdan harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki hubungannya dengan Fitri.
Hamdan kasihan dengan Fitri. Dia takut Fitri berpikiran pendek.