Niat hati mencari suami kaya agar terbebas dari belenggu ibu tiri, membawa seorang Lilyana nekat mengait pria kaya yang ditemuinya di taman. Namun, apa jadinya jika pria itu mengalami keterbelakangan mental alias idiot.
"Ya, ayo menikah ...!" pria berpenampilan tuan muda bertepuk tangan dengan gaya khasnya yang seperti bocah.
"Oh, no!"
Bagaimana kelanjutannya? Yuk, simak ceritanya.
***
Jangan lupa juga baca novel author yang lainnya: (My Son Is My Strength, Sang Antagonis & Membalaskan Dendam Janda)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naaila Qaireen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perubahan Vian
Menurut Lily sikap Vian sungguh berbeda dari biasanya, suaminya mendadak kalem dengan wajahnya yang so cool. Padahal biasanya cengiran sok asik dengan tingkah di luar nurul tanpa bisa di rem.
Mereka akan menghabiskan waktu bermain kejar-kejaran, nobar film-film kartu dan horror, makan cemilan bertoples-toples, serta masih banyak lainnya yang tidak bisa Lily uraikan satu persatu. Dan sekarang jiwa suaminya seolah hilang tergantikan jiwa si kaku, kaku bak kanebo kering. Karena senyum saja Vian sangat mahal. Sifat barunya itu membuat Lily selalu membandingkan Vian dengan sang ayah mertua. Bak pinang di belah dua pokoknya, wajahnya, sifatnya, semua sama.
“Bang,” Vian menoleh mendapatkan panggilan dari gadis cerewet, “Bibir Abang ada lemnya, ya?” tanyanya membuat alis sang pria mengernyit.
“Habis nggak pernah senyum, kaya ada lemnya.” Bibir Lily mengerucut protes. “Biasanya juga tawa Abang ngakak sampai-sampai kedengaran di pos satpam depan pagar sana!” Vian syok mendengar kenyataan tersebut.
‘Benarkah?!’ pria itu tidak percaya.
“Ih, muka Abang kenapa? Kaya orang punya malu aja,” Lily terkikik kemudian melihat mata Vian melotot hampir keluar.
“Suer deh, Bang! Abang itu emang nggak punya malu. Tapi, eittts... ini bukan kata aku ya... jadi jangan maaarahhhh.” Lily memperingati sebelum lanjut bercerita.
“Abang itu pernah lari keliling kompleks sambil putarin baju kaya baling-baling doremon, terus nyanyi-nyanyi... di sana senangggg... di siniii—“
“Stop!” Vian tidak ingin lanjut mendengar, dari ceritanya saja itu sungguh memalukan.
Lily terkikik lagi, tidak mendengarkan. Ia malah lanjut bercerita dengan antusias, menceritakan kembali apa yang didengarnya dari Zaky. “Terus Bang Zaky bilang, ‘Tuan Muda, Anda nggak malu nyanyi-nyanyi begini. Kompleksnya sepi sih, tapi tetep aja malu’ terus Abang malah tanya malu itu apa?” Lily mengikuti gaya bicara Zaky saat bercerita, lalu ia tertawa lagi.
“Malu aja Abang nggak tahu, gimana mau malu co—“ dengan cepat Vian membekap mulut gadis cerewet ini dengan tangan lebarnya, telinga pria itu sudah memerah, tidak tahan mendengar gadis yang ia ketahui sebagai istrinya ini mengoloknya.
Lily memberontak, berusaha melepaskan diri dari tangan besar pria ini. Jika orang akan menggigit, makan Lily akan menjilat.
“Dasar jorok,” Vian mengibaskan tangannya, menggidik ngeri. Tingkah gadis ini sungguh di luar akal.
“Hahahah... ngaku aja sih, nggak punya malu!”
“Hais, lama-lama mulut kamu aku sumpal Lilyyy.” Kata laki-laki itu mulai darah tinggi.
“Aseekkk, sumpal pake cipokan ya, Bang. Kaya kemaren...” sumpah! Vian syok mendengarnya, apa mereka pernah berciuman? Bukannya mengingat, kepala pria itu malah pusing. Biasanya memorinya akan datang dengan sendirinya, jika dipaksakan maka kepalanya akan sakit.
“Bang, kepala kamu sakit lagi. Ya, udah Lily minta maaf. Abang jangan terlalu banyak mikir, Lily nggak jahil lagi. Janjiiii....” Kata gadis itu sudah kepala panik, ia membawa kepala Vian dalam pelukan. Dan ajaibnya, sakit kepala pria itu perlahan hilang tergantikan rasa nyaman dan ketenangan. Sungguh pelukan gadis ini sudah menjadi candu baginya.
Pria itu dengan refleks mencari posisi nyaman seperti kebiasaannya selama ini, “Bang! Ini bukan di kamar, Abang jangan tidur di sini.” Kalau sudah begini suaminya pasti ingin tidur.
Hah! Apa!
Vian bingung, tentu saja. Kenapa bisa tumbuhnya merespon seperti ini. Dengan sedikit linglung, ia menjauhkan tubuhnya dari Lily.
“Eh, ternyata kalian ada di sini.” Setelah menyelesaikan pekerjaannya di temani sang istri, Arthur menuju taman belakang untuk menjemur diri. Melihat anak dan menantunya menghabiskan waktu di gazebo, ia pun memutuskan menghampiri.
“Ayah—“ panggil Vian tertahan melihat Kirana ada di belakang ayahnya, padahal ia ingin menceritakan dan meluruskan segala hal yang telah menimpanya. Beberapa memori yang ia dapatkan membuat ia dapat merangkai kejadian yang telah terjadi serta dalang dibaliknya. Tetapi ia tidak tahu apa motif dibalik itu semua.
Ya, apa yang Lily rasakan terkait perubahan suaminya adalah benar. Pria itu kini mendapatkan kembali jati dirinya sebagai seorang Alvian Nathan Adhitama si pria yang selalu serius dan kaku, sebelas dua belas seperti ayahnya. Tetapi semua itu masih ditutupi olehnya, dan berusaha sebaik mungkin untuk terlihat idiot di depan orang-orang bermuka dua. Ia tidak akan mengungkapkan jati dirinya sebelum mengetahui motif orang-orang ini melakukan hal tersebut.
“Eh, ada nenek sihir juga!” biasanya julukan ini Vian gunakan tak kala memaki Kirana dalam hati saja, tetapi kali ini ia dapat menyuarakannya dengan selantang mungkin.
“Vian!” peringat ayahnya.
“Eheheheh...” pria itu malah cengiran bodoh, dengan tangan menggaruk kepala yang tak gatal.
“Tidak apa-apa, Mas. Itu mungkin panggilan sayang Vian ke aku.” Kata Kirana tengah menjadi ibu tiri yang pengertian.
Lily menutup mulut tidak tahan ingin tertawa, Vian sendiri semakin cengir lebar.
“Oh ini, Tante bawain kalian salat buah.” Seketika Lily dan Vian diam terpaku, senyum manis tersungging di bibir Kirana.
“Yaaaa, maaf Tante. Tapi kami baru aja makan sandwich, Bang Vian juga nambah roti bakar tadi. Jadi kenyang banget,” tolak Lily. Makanan yang dibuat oleh Kirana adalah makanan yang patut dihindari, tidak akan Lily biarkan Vian memakan makanan tersebut. “Iya ‘kan, Bang?” Vian mengusap perutnya menunjukkan ia kekenyangan.
“Iya,” kata pria itu sembari mengangguk.
“Nah, ‘kan. Tante aja yang makan, sayang kalau dibuang.” Ujar Lily membuat Kirana gelagapan, pasalnya makanan tersebut memang ia rencana untuk Vian.
Kirana berdecak dalam hati, semenjak ada gadis kampungan ini. Vian tidak lagi memakan makanan yang ia berikan.
“Tapi, makanan ini Tante buat secara khusus untuk kalian.” Kirana tanpa sedih, Arthur memegang bahu istrinya. Mengetahui niat baik perempuan itu.
“Ya, udah Vian, Lily. Kalian bawa aja, terus makan nanti.” Ujar pria itu terlihat bijak, membuat Kirana menyunggingkan senyumnya.
Diam-diam Lily merutuk dalam hati, julukan ‘nenek sihir’ memang cocok untuk Kirana yang selalu memiliki cara untuk melakukan keinginannya. Tetapi bukan Lily namanya jika tidak memiliki seribu cara penolakan.
“Tante Kirana yang makan itu sama aja kaya aku dan Bang Vian yang makan kok, Yah. Anggap aja salat buahnya aku yang bikin, terus aku kasih Tante.” Kata Lily sambil cengengesan.
“Iya! Ayo Lily. Sekarang akun mau mandi,” Vian dengan cepat menarik Lily untuk pergi dari sana. Tidak membiarkan Kirana memiliki kesempatan untuk memaksa mereka lagi.
“Ya udahlah Sayang, kamu makan aja. Aku mau berjemur sebentar sambil olahraga, kamu tunggu sini yah.” Setelah kepergian Arthur, Kirana menaruh kasar salat buah di atas meja.
Ia menghempaskan bokongnya di atas kursi, “Ini tidak boleh terus terjadi, gadis itu harus cepat berpihak padaku atau disingkirkan secepat mungkin!” Kirana takut keberatan Lily menjadi batu sandung untuk ia mencapai tujuannya.
***