NovelToon NovelToon
Dikira Santri Ternyata Putra Sang Kyai

Dikira Santri Ternyata Putra Sang Kyai

Status: sedang berlangsung
Genre:nikahmuda
Popularitas:143.5k
Nilai: 4.9
Nama Author: Merpati_Manis

Medina panik ketika tiba-tiba dia dipanggil oleh pengurus pondok agar segera ke ndalem sang kyai karena keluarganya datang ke pesantren. Dia yang pernah mengatakan pada sang mama jika di pesantren sudah menemukan calon suami seperti kriteria yang ditentukan oleh papanya, kalang kabut sendiri karena kebohongan yang telanjur Medina buat.

Akankah Medina berkata jujur dan mengatakan yang sebenarnya pada orang tua, jika dia belum menemukan orang yang tepat?
Ataukah, Medina akan melakukan berbagai cara untuk melanjutkan kebohongan dengan memanfaatkan seorang pemuda yang diam-diam telah mencuri perhatiannya?

🌹🌹🌹

Ikuti terus kisah Medina, yah ...
Terima kasih buat kalian yang masih setia menantikan karyaku.
Jangan lupa subscribe dan tinggalkan jejak dengan memberi like dan komen terbaik 🥰🙏

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merpati_Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Promo Novel

Bab 1. Babu Untuk Suamiku

"Maaf, Nduk, jika kamu harus menanggung semua ini," kata seorang wanita paruh baya dengan air mata bercucuran, sambil mengusap dengan lembut punggung sang putri yang menangis di atas pangkuan.

"Tapi kenapa harus Nada, Bu? Nada baru saja lulus sekolah dan Nada juga masih ingin melanjutkan ngaji di pesantren, Bu." Gadis belia itu masih saja tergugu.

"Kita sudah tidak memiliki apa-apa lagi yang bisa dijual untuk membayar utang bapakmu pada Ndoro Brata, Nduk. Hanya ini satu-satunya cara agar keluarga kita bisa terbebas dari utang yang kian lama kian terasa mencekik." Bu Mul terdengar menghela napas berat.

"Lagi pula, keputusan bapakmu sudah bulat, dan tidak dapat diganggu gugat, Nduk. Beberapa waktu lalu, bapak sudah menyetujui pernikahanmu dengan Den Bian," lanjutnya seraya menyeka air mata yang terus saja menyeruak.

"Kenapa ndak Mbak Gina saja, Bu? Mbak Gina 'kan sudah dewasa dan sudah saatnya berumah tangga? Lagipula, bukankah Mbak Gina tergila-gila pada cucu bungsu Ndoro Brata itu, Bu?" Nada yang sudah mulai reda tangisnya, mendongak menatap sang ibu.

"Mana mungkin mbakmu itu mau, Da? Lagian, mbakmu itu cantik! Sayang, kalau gadis cantik seperti Gina harus menjadi pengantin pengganti untuk pemuda buta seperti cucu Ndoro Brata itu!" Sang bapak yang baru saja tiba di ambang pintu kamar, menyahut. Suaranya terdengar begitu ketus.

"Apa? Bu-buta?" bibir Nada bergetar. Ingin rasanya, Nada tidak mempercayai apa yang barusan dia dengar.

"A-apa yang dikatakan bapak tadi benar, Bu?" tanya Nada terbata, memastikan pada sang ibu karena sang bapak sudah keburu pergi dari sana setelah mengatakan tentang kondisi pemuda yang akan menikahinya sore ini.

Bu Mul hanya bisa mengangguk, seraya menatap sang putri bungsu dengan tatapan sendu.

Air mata Nada kembali mengucur deras. Pilu hatinya mengetahui kenyataan getir yang harus dia terima. Sang bapak yang berutang pada Ndoro Brata untuk berjudi dan mabuk-mabukan, tetapi dia yang dipaksa mengorbankan diri untuk menjadi pengantin pengganti bagi pemuda buta yang ditinggal kabur oleh calon istrinya, tanpa diberi kesempatan untuk mengenal terlebih dahulu pemuda tersebut.

"Sudah, Nduk, hapus air matamu! Sebentar lagi acara akan dimulai. Persiapkan dirimu untuk menjadi istri cucu Ndoro Brata!" kata Bu Mul, setelah beberapa saat mereka berdua sama-sama terdiam.

Nada segera beranjak dari tempatnya bersimpuh di pangkuan sang ibu. Gadis belia itu lalu duduk di kursi rias dan merapikan riasannya dari sisa air mata. Sekuat hati Nada berusaha untuk tidak lagi menangis karena dia tak ingin membuat sang ibu semakin bersedih.

"Kenapa harus selalu aku jika itu mengenai hal-hal yang tak mengenakkan? Sedangkan untuk sesuatu yang membahagiakan, pasti Mbak Gina yang bapak dahulukan? Kenapa bapak selalu saja pilih kasih pada kami berdua? Bukankah, aku ini juga anak kandungnya?"

Nada bermonolog dalam diam. Tatapannya tertuju pada gambar dirinya yang ada pada pantulan cermin rias di hadapan. Tanpa terasa bulir bening kembali mengalir dari sudut netranya, setelah sang ibu keluar dari kamar, dan meninggalkan Nada sendirian.

Sementara di ruang keluarga--di rumah besar milik keluarga Ndoro Brata--semua orang sudah berkumpul, termasuk sang mempelai pria. Acara akad nikah untuk Abian yang seyogyanya akan digelar secara mewah, tetapi akhirnya dilaksanakan secara sederhana--karena pengantin wanitanya berganti--itu pun segera dimulai. Satu per satu acara berjalan dengan lancar hingga bacaan qabul terucap dari bibir pemuda yang saat ini tak dapat melihat karena kecelakaan akibat kebut-kebutan di jalanan.

"Saya terima nikah dan kawinnya Nada Assyifa binti Mulyono dengan mas kawin tersebut di atas, tunai."

Kata sah berkumandang ke seluruh penjuru ruangan hingga dapat didengar oleh Nada yang masih duduk terdiam di depan meja rias, di kamar yang disediakan untuknya. Gadis itu pun kembali meneteskan air mata. Dia sama sekali tak menyangka jika saat ini statusnya telah berubah menjadi nyonya. Nyonya dari seorang pemuda yang sudah pasti tak pernah mengharapkan kehadiran wanita biasa seperti Nada, dalam hidupnya.

Suara pintu yang dibuka dari luar, memaksa Nada menghapus air mata lalu berusaha untuk tersenyum pada Ndoro Putri Brata yang menjemputnya ke kamar.

"Tidak usah menangis dan sok bersedih! Kamu akan lebih enak hidup di sini, daripada di rumah orang tuamu yang sempit, dan hampir rubuh itu!"

Kata-kata wanita berusia senja yang wajahnya masih terlihat kencang karena rajin melakukan perawatan itu, mampu menggoreskan luka di hati Nada. Gadis belia itu pun hanya bisa menunduk dalam dengan bibir terkunci rapat, tak berani untuk bersuara. Melihat jika wanita belia di hadapan takut padanya, wanita berusia senja itu pun tersenyum jumawa.

"Ingat! Kamu dinikahi cucuku hanya untuk menggantikan calon istrinya yang kabur! Jadi, jangan pernah berharap jika keberadaanmu di sini akan diratukan layaknya seorang istri, dan menantu! Kamu itu hanya babu yang harus merawat Abian! Kamu sudah kami beli dari bapakmu yang pemabuk itu! Dan sebagai babu, kamu tentu harus tahu diri!"

Sayatan tajam dari lidah Ndoro Putri Brata, kembali melukai perasaan Nada. Gadis berparas ayu itu pun hanya bisa kembali meneteskan air mata. Kepala Nada semakin tertunduk dalam dan dia sama sekali tidak memiliki keberanian untuk menatap wanita tua yang merupakan eyang dari suaminya.

"Ya, Rabb ... inikah takdir hidupku? Jika memang pemuda itu adalah jodoh yang Engkau kirim untukku, ikhlaskan hatiku agar dapat menerima semua ini."

Nada bahkan tidak berani meminta lebih pada Tuhannya dan hanya satu yang dia minta, yaitu keikhlasan hati.

"Ayo, keluar!" Suara Ndoro Putri Brata yang masih saja meninggi, berhasil menyeret Nada dari lamunan. Pengantin wanita itu kemudian mengikuti langkah eyangnya Abian, menuju ke tempat acara tanpa semangat.

Nada lalu dibimbing oleh sang ibu yang tadi menyusul Ndoro Putri Brata dan memilih menunggu di depan kamar untuk menyalami Abian, pemuda yang baru saja mengucapkan qabul sebagai bentuk penerimaan diri pemuda itu atas diri Nada.

"Maafkan ibu," bisik Bu Mul dengan suara tercekat di tenggorokan, sebelum Nada sampai di dekat pemuda buta yang saat ini telah sah menjadi suaminya. Wanita paruh baya tersebut menggenggam erat tangan sang putri, seolah takut melepaskan Nada untuk menjadi bagian dari keluarga besar Ndoro Brata.

Nada mengeratkan genggaman tangan sang ibu. Gadis bermata bulat itu tahu jika ibunya tak menginginkan pernikahan ini terjadi. Akan tetapi, wanita paruh baya yang dia panggil ibu itu tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya.

"Semua akan baik-baik saja, Bu," balas Nada, mencoba menenangkan hati sang ibu.

Selanjutnya, prosesi acara berlangsung secepat kilat. Tak ada pemasangan cincin kawin. Hanya Nada yang menjabat tangan sang suami dan menciumnya dengan takdzim, tanpa ada balasan kecupan di kening. Lalu mereka berdua melakukan sungkeman pada orang tua, yang terkesan hanya sebatas formalitas belaka.

"Aku lelah, bawa aku ke kamar! Aku mau istirahat!" Perintah Abian, setelah semua proses mereka lalui bersama. Suara pemuda itu terdengar begitu arogan.

Nada hanya dapat mengangguk, patuh. Wanita yang saat ini mengenakan kebaya putih lengkap dengan hijab berwarna senada yang menutup rapat kepalanya itu, lalu membimbing sang suami masuk ke dalam. Namun, setibanya di depan kamar yang Nada tempati, wanita belia itu menjadi bingung sendiri.

"Maaf, Den Bian. Aden mau istirahat di kamar mana?"

Nada menyebut pemuda yang sudah sah menjadi suaminya itu dengan sebutan aden karena dia teringat dengan ucapan Ndoro Putri Brata bahwa dirinya hanyalah seorang babu untuk Abian.

"Tentu saja di kamarku sendiri! Memangnya, kamu mau membawaku ke mana? Apa ke kamarmu?" Abian yang berbicara dengan wajah yang menghadap ke arah Nada, terlihat sangat kesal.

"Kamu pikir, aku ini siapa, hem? Apa pantas, kamu membawaku ke kamar babu sepertimu?" lanjutnya yang terdengar begitu menyakitkan di telinga Nada.

Wanita berwajah ayu itu pun hanya dapat menghela napas panjang untuk mengurai rasa sesak di dalam dada.

"Ya, keberadaanku disini hanyalah untuk menjadi babu. Babu untuk suamiku sendiri," batin Nada, getir.

Bab 2. Tidak Tertarik Padamu

"Maaf, Den. Saya ndak tahu, di mana kamar Den Bian."

"Tepat di ujung lorong sana, itu kamar Abian!" Suara seorang wanita yang terdengar begitu ketus, mengalihkan perhatian Nada.

"Bawa putraku ke kamarnya dan layani dia dengan baik karena mulai detik ini, kamu adalah budak yang harus melayani semua keinginan putraku, tanpa kecuali!"

Setelah berkata demikian, wanita paruh baya itu segera berlalu untuk melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti ketika melihat sang putra dituntun oleh Nada. Sementara Nada nampak meneteskan air mata seiring kepergian wanita paruh baya yang merupakan ibu dari Abian, yang sama sekali tidak mempedulikan perasaanya. Nada merasa begitu terhina, tetapi sayangnya dia tidak dapat berbuat apa-apa.

"Tidak usah menangis, Dik, karena itu percuma. Jalani saja peranmu sebagai istri adikku. Kamu boleh datang padaku jika kamu butuh sandaran, kalau ada yang menyakitimu."

Kata-kata yang kemudian diucapkan oleh seorang pemuda yang diyakini Nada sebagai kakak Abian karena mereka berdua memiliki garis wajah hampir serupa, membuat Nada sedikit merasa lega. Setidaknya, masih ada yang peduli pada Nada di rumah besar keluarga Ndoro Brata. Nada pun tersenyum pada pemuda yang baru saja menghampiri mereka berdua.

"Terutama, jika kamu merasa kesepian karena adikku tidak mampu memuaskanmu di atas ranjang," lanjut pemuda itu dengan senyuman seringai di wajah yang membuat Nada seakan terjun bebas dari ketinggian, lalu terempas oleh kenyataan jika di rumah besar ini tak ada seorang pun yang sudi membelanya.

"Astaghfirullah ... kupikir, dia adalah orang baik," batin Nada, sendu.

"Kamu beruntung sekali, Bro. Istrimu cantik dan masih polos," kata pemuda itu kemudian, pada sang adik.

"Kalau Mas Aji suka, ambil aja. Bian juga enggak minat sama sekali dengan gadis kampung seperti dia. Bian 'kan terpaksa menikahi dia karena enggak mau membuat keluarga menjadi malu," jawab Abian tanpa merasa berdosa. Padahal, apa yang baru saja dia katakan berhasil melukai perasaan Nada.

Wanita belia itu pun semakin tertunduk dalam. Sehina inikah menjadi anak dari orang yang tak punya apa-apa hingga seenaknya mereka menginjak-injak harga diri Nada?

"Hem, really? Tapi aku enggak yakin kamu akan menolaknya jika nanti kamu bisa melihat lagi, Bro. She is so beautifull," puji Aji seraya melirik Nada yang masih tertunduk.

"Tidak ada gadis yang secantik Zizi, Mas!" tegas Abian.

"Ck ... dia lagi! Udahlah, Bro, kamu itu harus bisa move on!"

"Enggak semudah itu, Mas. Mas tahu 'kan aku dulu seperti apa? Hanya Zizi yang benar-benar mampu menaklukkan hatiku."

Perkataan Abian barusan tentang Zizi yang diyakini Nada sebagai mantan tunangan pemuda itu--yang kabur tepat sepuluh hari sebelum pernikahan--membuat Nada merasa semakin insecure berada di sana.

"Mbak Zizi itu pasti sangat cantik dan berpendidikan tinggi. Dia juga pasti berasal dari keluarga kaya, seperti keluarga Ndoro Brata."

"Kalau Mas Aji mau pakai dia, pakai aja, Mas. Mau malam ini juga, silakan," lanjut Abian, membuat Nada seketika mendongak menatap pemuda yang baru saja menikahinya dengan tatapan tidak percaya.

"Sip, lah, kalau begitu," sahut Aji cepat.

Nada menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak, Den! Sa-saya, saya bukan ...."

Aji tergelak melihat raut wajah Nada yang ketakutan. "Jangan khawatir, Manis! Aku bukan tipe pemaksa. Aku akan buat kamu jatuh cinta dan bertekuk lutut, lalu memohon sendiri padaku untuk kupuaskan."

Nada merinding mendengar perkataan Aji. "Sepertinya, kakaknya Den Bian ini orang yang sangat berbahaya. Aku harus berusaha untuk selalu menghindarinya."

"Maaf, Den Bian. Mari, saya antar ke kamar," ajak Nada kemudian, sengaja ingin menyudahi obrolan dengan Aji.

Nada buru-buru membimbing Abian untuk melanjutkan langkah menuju kamar pemuda itu. Wanita berwajah ayu tersebut terkesima ketika membuka pintu kamar yang berukuran luas dan melihat interiornya. Kamar Abian begitu mewah bak kamar hotel berbintang lima yang pernah Nada lihat, pada layar kaca di rumah.

Nada masih berdiri terpaku di ambang pintu ketika suara Abian membuyarkan lamunannya. "Aku mau ganti baju, cepat siapkan!"

"I-iya, Den," jawab Nada tergagap, lalu menuntun Abian untuk duduk di tepi ranjang berukuran besar yang polos tanpa taburan mawar, selayaknya ranjang pengantin baru.

Nada pun menyentil keningnya sendiri dengan pikiran yang baru saja terlintas di kepalanya. "Bagaimana mungkin ada taburan mawar? Aku 'kan bukan pengantin yang diharapkan oleh Den Bian."

"Enggak pakai lama! Siapa tadi nama kamu?" sentak Abian ketika Nada masih saja terdiam di dekatnya.

"Saya Nada, Den. Baik, akan saya siapkan segera."

Nada hanya bisa menghela napas panjang. Bagaimana mungkin pemuda yang sudah menjadi suaminya itu melupakan nama yang tadi Abian sebutkan ketika mengucap kata qabul saat akad nikah? Sekali lagi, Nada harus menerima kenyataan jika kehadirannya di rumah besar ini bagai serpihan debu yang tak berarti apa-apa, bahkan tak terlihat.

Setelah menyerahkan pakaian ganti untuk Abian, Nada lalu berpamitan untuk kembali ke kamarnya. Akan tetapi, langkah Nada terhenti di ambang pintu bertepatan dengan hadirnya seorang pelayan di rumah besar keluarga Ndoro Brata.

"Ada apa, Bu?" tanya Nada pada wanita berusia sekitar 40 tahun itu.

"Maaf, Den. Bibi disuruh Ndoro Putri untuk memindahkan pakaian Neng Nada ke kamar Aden." Bukannya menjawab pertanyaan Nada, pelayan itu malah berbicara pada Abian yang nampak mengerutkan dahi mendengar kedatangannya.

Sang pelayan lalu membungkuk hormat pada pemuda yang tak dapat melihat apa yang dilakukannya itu, sebelum masuk ke kamar Abian. Sepertinya, semua pelayan di rumah besar itu diharuskan untuk memberikan penghormatan kepada seluruh anggota keluarga Ndoro Brata.

"Maksud Bibi? Gadis kampung itu tidak mungkin sekamar denganku, kan?" tanya Abian dengan nada protes.

"Sebagai babu yang akan melayanimu 24 jam, dia harus tinggal di kamar yang sama denganmu, Nang. Itu semua demi kebaikan kamu," kata Ndoro Putri Brata yang menyusul ke kamar sang cucu.

"Terserah Eyang sajalah," kata Abian pada akhirnya karena setiap ucapan sang eyang adalah perintah yang harus dituruti oleh semua orang.

"Ayo, Mur, kita keluar! Biar dirapikan sendiri pakaian anak itu!"

Setelah kepergian Ndoro Putri Brata dan pelayannya barusan, Nada masih berdiri mematung. Gadis belia itu terlihat bingung, tak tahu apa yang harus dia lakukan. Nada memandangi koper berukuran kecil miliknya yang hanya berisi beberapa potong pakaian saja, yang barusan diantarkan pelayan.

"Maaf, Den. Apa boleh, saya menyimpan baju-baju saya di lemari?" tanya Nada kemudian yang terdengar ragu.

"Hem."

Nada menghela napas lega, meski hanya gumaman yang dia dapatkan dari Abian. Tanpa berkata-kata lagi, Nada segera merapikan pakaian miliknya di lemari yang masih kosong.

Setelah rapi, Nada segera menuju ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Namun, di dalam kamar mandi wanita belia itu bukannya segera berganti, tetapi malah menangis. Nada menumpahkan segala kesedihan hatinya di sana.

Entah berapa lama Nada menangis, tahu-tahu kumandang adzan maghrib terdengar dari kejauhan. Nada pun buru-buru mengganti pakaian, lalu berwudhu.

"Maaf, apa Den Bian sudah sholat maghrib? Kita sholat berjama'ah, yuk!" ajak Nada dengan suara yang terdengar sangat lembut, tetapi tak ada respon apa pun dari Abian hingga beberapa saat Nada menunggu. Akhirnya, Nada pun menggelar sajadah di sudut ruangan, lalu sholat maghrib sendirian.

Nada lalu melanjutkan dengan tadarus Al-qur'an ketika dilihatnya Abian sedang tidur. Nada mengaji sampai waktu isya' tiba, kemudian lanjut mengerjakan sholat empat rakaat tersebut. Usai berdo'a dan merapikan mukena serta sajadah, Nada kembali dibuat bingung.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku menawarkan diri untuk melayani Den Bian?"

Meski pernikahan mereka berdua bukan karena cinta, tetapi kini Nada telah menjadi seorang istri, dan wajib baginya melayani jika Abian menginginkan. Begitulah yang Nada pelajari ketika masih mengaji di pesantren. Meski ragu, Nada kemudian berjalan perlahan mendekat ke arah ranjang.

Baru saja Nada berjalan beberapa langkah, terdengar suara ketus Abian yang membuat Nada kembali terluka.

"Kamu ingat 'kan, apa yang sudah mama dan eyangku katakan tadi? Kamu itu hanya babu yang harus melayani semua keperluanku! Maka, jangan berani-berani kamu menawarkan diri, apalagi menggodaku karena aku tidak akan pernah tertarik padamu!"

Bab 3. Pasangan Suami-Istri

Hari-hari selanjutnya, dilalui Nada dengan penuh duka, dan nestapa. Berbagai macam cacian, hinaan, menjadi makanan wanita belia itu sehari-harinya. Tidak ada satu pun dari mereka semua yang tinggal di rumah besar Ndoro Brata, yang peduli pada Nada. Termasuk para pelayan yang jumlahnya belasan.

Nada juga tidak dapat mengadukan nasibnya pada sang ibu. Bagaimana mungkin dia akan mengadu jika keluar dari rumah besar itu saja, Nada tidak diperbolehkan? Kehidupan Nada bahkan lebih buruk dari binatang peliharaan, yang berada di kandang besar milik sang majikan.

Setiap saat, setiap waktu, Nada harus siap melayani keinginan Abian yang terkadang di luar nalar. Belum lagi Nada harus mematuhi perintah anggota keluarga Ndoro Brata yang lain, yang seringkali seperti sengaja mempersulitnya. Dan yang paling membuat Nada kesal meski tak berani dia tunjukkan, sehari-harinya wanita belia itu harus berhadapan dengan si mesum Aji, kakak dari Abian.

"Ayolah, Manis. Duduk sini dan temani mas sebentar aja. Bian pasti takkan keberatan," pinta Aji ketika Nada menjemput Abian di taman belakang.

Malam ini, keluarga besar Ndoro Brata sedang berkumpul melingkari api unggun dalam rangka malam terakhir kebersamaan mereka. Sebab, keesokan harinya kedua orang tua Abian beserta Aji, akan kembali ke kota. Begitu pula dengan anak-anak Ndoro Brata lainnya, mereka juga akan kembali ke kediaman masing-masing.

"Maaf, saya ke sini karena dipanggil Den Bian yang ingin segera beristirahat. Permisi," pamit Nada. Wanita yang senantiasa mengenakan hijab itu berusaha menghindar dari Aji.

"Nad, tunggu!" seru Aji.

"Buruan, Nad! Aku lelah, aku udah ngantuk!"

Perintah Abian selanjutnya, menyelamatkan Nada dari pemuda yang memiliki tatapan mesum itu. Nada pun buru-buru mendorong kursi roda yang diduduki Abian untuk masuk ke dalam.

Ya, selama hampir seminggu Nada berada di rumah besar Ndoro Brata, Kakak dari Abian itu terus saja merayunya dengan berbagai cara. Pemuda itu bahkan tak canggung menggoda Nada di depan keluarga lainnya seperti yang Aji lakukan barusan. Anehnya, mereka semua tak ada yang memperingatkan Aji, padahal status Nada adalah adik ipar pemuda tersebut.

"Sadar, Nad. Kamu ini istri dan menantu yang tak diharapkan di rumah ini. Jadi, jangan pernah bermimpi jika mereka akan memikirkan bagaimana perasaanmu," bisik Nada dalam hati sambil mendorong kursi roda yang diduduki Abian.

"Nad, buatkan aku jahe hangat dulu sebelum kembali ke kamar! Perutku tiba-tiba saja mual." Perintah dari Abian, mengurai lamunan Nada. Wanita berhijab itu pun segera menghentikan kursi roda, tepat ketika mereka tiba di meja makan.

"Maaf, Den Bian mau menunggu di sini atau di kamar saja?" tawar Nada dengan suaranya yang selalu lembut.

"Di sini tak mengapa. Dari pada kamu harus bolak-balik ke dapur."

Nada tersenyum senang karena tak biasanya Abian bersikap baik seperti sekarang. "Baik, Den. Tunggu sebentar, nggih. Akan segera saya buatkan."

Sebelum Nada berlalu menuju dapur, terdengar helaan napas panjang dari Abian. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh pemuda yang telah sah menjadi suaminya itu, Nada tak dapat menebaknya.

"Jahe hangatnya mau diminum di sini atau di kamar saja, Den?" tawar Nada, setelah beberapa saat.

"Oh, sudah jadi. Sekarang aja, Nad. Sini!"

Nada segera mengangsurkan gelas yang berisi jahe hangat yang telah dicampur dengan madu, pada Abian. Dalam sekejap, isi gelas tersebut telah habis tanpa sisa. Setelah menyimpan gelas tersebut di atas meja makan, Nada kembali mendorong kursi roda itu menuju ke kamar Abian.

Setibanya di kamar, Abian langsung menjatuhkan tubuh di atas pembaringan empuk miliknya. Sementara Nada menggelar sajadah lalu mengambil air wudhu sebelum tadarus Al-Qur'an. Kebiasaan yang dilakukan Nada setiap malam, sebelum kemudian tidur di atas sajadah tersebut.

Ya, selama beberapa hari menjadi istri Abian, pemuda itu tidak mengizinkan Nada tidur di ranjang yang sama dengannya. Nada tidak mempermasalahkan hal tersebut. Justru, Nada merasa senang karena Abian tak berminat untuk menyentuhnya. Dari pada, dia harus melayani suami yang menikahinya tanpa ada rasa cinta.

Di kamar Abian memang terdapat sofa panjang nan empuk. Namun, Ndoro Putri Brata pernah membentak Nada ketika wanita belia itu duduk di sana. Karena itulah, Nada lebih memilih untuk tidur di lantai dengan beralaskan sajadah. Toh, Nada tidak pernah benar-benar dapat memejamkan mata karena harus selalu siaga jika sewaktu-waktu Abian membutuhkan bantuannya.

Nada masih melafalkan ayat-ayat suci Al-Qur'an ketika rungunya menangkap suara Abian yang meracau tidak jelas, seperti sedang mengigau. Nada buru-buru menutup kitab sucinya lalu beranjak untuk melihat keadaan Abian. Benar saja, pemuda itu menggeleng-gelengkan kepala seperti gelisah dalam tidurnya.

Nada mendekat. "Cuaca dingin seperti ini, tapi kenapa dia berkeringat?" gumam Nada ketika melihat bulir-bulir keringat di kening Abian.

Tangan Nada pun reflek terulur lalu menyeka keringat tersebut. Di saat yang sama, Abian terbangun lalu menangkap tangan Nada. Tentu saja Nada menjadi takut. Dia khawatir Abian akan berpikir yang tidak-tidak tentangnya.

"Apa yang kamu lakukan?"

Benar saja, pertanyaan Abian dengan suara meninggi, menggambarkan jika pemuda itu tidak suka dengan apa yang dilakukan Nada barusan.

"Ma-maaf, Den. Saya hanya mengusap keringat Den Bian. Sepertinya, Den Bian demam. Tadi, tidur Aden gelisah dan keringat dingin bercucuran. Kening Aden juga panas," terang Nada yang terdengar takut-takut.

Nada memang selalu patuh pada setiap perintah dari keluarga besar Ndoro Brata. Dia juga takut jika melakukan kesalahan. Sebab, sebelumnya Nada telah diancam jika dia melakukan sedikit saja kesalahan atau berani memberikan perlawanan, maka keselamatan sang ibu yang menjadi taruhan.

Abian tak lagi bersuara. Begitu pula dengan Nada. Hingga keheningan pun sejenak tercipta di sana.

"Maaf, Den. Apa Aden mau minum obat?" tawar Nada, mengurai keheningan.

"Aku tidak suka obat." Setelah menjawab demikian, Abian tiba-tiba bangkit.

"Bantu aku ke kamar mandi. Sepertinya, aku mau muntah," pintanya kemudian seperti menahan sesuatu.

Nada pun dengan sigap membantu Abian menuju kamar mandi. Benar saja, baru saja sampai di ambang pintu kamar mandi, Abian telah mengeluarkan semua isi perutnya. Meski ragu, Nada memberanikan diri untuk memijat dengan pelan tengkuk Abian yang terasa panas di telapak tangannya.

"Sepertinya, Aden masuk angin berat," kata Nada, setelah membantu Abian kembali ke pembaringan. "Jika Aden tidak suka minum obat, lalu Aden membutuhkan apa agar bisa segera enakan?"

Tak ada jawaban dari bibir Abian. Yang terdengar hanyalah helaan napas kasar.

"Kalau anggota keluarga kami ada yang masuk angin, biasanya dikerokin, dan tak lama kemudian segera enakan, Den. Apa ... Aden mau saya kerokin?" Nada menawarkan bantuan dengan ragu-ragu.

"Dikerokin? Seperti apa itu?" tanya Abian dengan dahi berkerut dalam.

Nada lalu menjelaskan bagaimana caranya dan Abian mengangguk, mengiyakan. Wanita belia itu lalu mulai melakukan aktifitasnya. Nada melakukannya dengan perlahan karena takut menyakiti Abian.

Nada lalu meratakan minyak angin sisa kerokan di punggung Abian dengan tangan, sambil memijatnya perlahan. Tidak terdengar protes dari pemuda itu. Bahkan, Abian sepertinya sangat menikmati pijatan lembut tangan Nada.

"Sudah, Den. Sekarang bagian perut."

"Perutnya juga dikerokin?"

"Tidak, Den. Hanya saya baluri minyak angin agar perut Aden lebih enakan."

"Oh, oke." Abian segera berbalik lalu tidur telentang. Baru kali ini Abian menuruti perintah Nada.

Dada bidang dengan bulu-bulu halus itu terpampang nyata di hadapan Nada dan nampak begitu menggoda. Akan tetapi, fokus wanita belia itu tidak di sana. Dia murni ingin mengobati Abian dengan caranya, bukan untuk menggoda atau tergoda.

Telaten, Nada membaluri perut Abian dengan minyak angin, dan meratakan dengan tangan seperti tadi. Di bagian perut, Nada tidak berani memijatnya.

"Sudah, Den."

"Tidak dipijat?" tanya Abian yang terdengar tidak rela Nada menyudahi semuanya.

"Kalau perut, saya tidak berani, Den. Takut salah urut, nanti bisa berbahaya."

"Kalau begitu, pijat kepalaku! Kamu berani, 'kan? Kepalaku pusing."

"I-iya, Den, jika Aden berkenan."

Setelah Abian memakai piyamanya kembali, Nada lalu duduk di tepi pembaringan, dan mulai memijat kepala Abian. Nada terus melakukannya hingga pemuda itu terlelap. Nada bahkan tidak berani melepaskan tangannya karena takut Abian akan terjaga. Wanita belia itu pun ketiduran dengan posisi duduk sambil bersandar pada heard board ranjang dan tangan masih berada di atas kepala Abian.

Entah bagaimana caranya dan siapa yang memulai, ketika Nada terjaga wanita belia itu sudah berada dalam dekapan hangat Abian. Tentu saja Nada sangat terkejut, sekaligus takut. Reflek, Nada melepaskan tangan Abian yang melingkar di perut rampingnya dengan tergesa hingga membuat pemuda itu terjaga.

"Kenapa, Nad? Apa hari sudah pagi?"

"Be-belum, Den. Maaf, sa-saya tidak tahu kenapa saya bisa tidur di sini."

"Memangnya kenapa, kalau kamu tidur di sini? Bukankah, kita ini pasangan suami-istri?"

Asa Di Ujung Senja ... cerita selengkapnya dapat Anda baca di buku 🥰🙏

Untuk pemesanan, bisa hubungi Kak Tika di nomor; 0877 5202 0061.

Spesial cashback untuk pembaca setia, pulsa sebesar 10k dengan mengirimkan bukti check out belanja bukunya di Shopee ke nomorku, yah...

Aku tunggu bukti CO kalian di nomor; 081325602692 🥰

1
Daila Crosey
Anaknya bakal mirip bapaknya nih kayaknya... bapaknya manja banget gitu
Daila Crosey
wah Hamdan eh hamil nih Medina... semoga hamil kembar ya Din 😄
Daila Crosey
laahhh kok balik lagi Hamam ?
Daila Crosey
numpak gojek wae yo Din 😄
Murni Zain
Alhamdulillah ning msh d perhatikan sm orang tua..saya sdh anak 1 sampai 4 lahiran d jakarta,yg jauh dr saudara,apa lg orang tua ..🥺🥲

itulah orang tua kasih sayang ya sepanjang masa .. biarpun sdh menikah tp tak berubah kasih sayang dn perhatian ya' 🙏🏼🤗🥰😍
Sari Nande16
sabar bumil 🥰🥰
ꪶꫝNOVI HI.Ꮶ͢ᮉ᳟
sabar bumil 🤣
Rapa Rasha
kakak ini ya bisa aja bikin cerita yg hamil Dina tpi yg manja2 kang Hamam tpi ta apalah makin seru
Rapa Rasha: yap betul sekali
Alistalita: baguslah beda dari yang lain😂😂😂
total 2 replies
Aprisya
kurang asyyiiiikkk ya din,, harusnya ibu hamil yang dimanja,, eeeh nih malah kebaliikkk🤦‍♀🤦‍♀ untung kalian berdua memiliki keluarga besar,, jadi harus banyak2 bersyukur karna kamu dikelilingi orang2 yang menyayangi kamu din,,,,,
secret
next thor, semangaatt teruuss
secret
alhamdulillah, gus cilik otw nihh😁😁
Nar Sih
semakin asyik nih kakk cerita nya sayang banget buat di lewati ,dan sabarr ya dina dgn kehamilan mu yg di bikin repot sma suami mu yg ngidam ,
Aprisya
Alhamdulilah,, selamat ya din atas kehamilannya, semoga kang haman lekas membaik, dan sehat2 terus calon ibu muda👍👍
Deswita
terimakasih up nya Thor 🙏
Aprisya
kayaknya benih kecebong kang haman udah mulai tumbuh jadi berudu nih🤦‍♀🤦‍♀😂😂😂 makanya gak bisa jauhan karna dilan menyerang🙈🙈🙈🙈🙈
Mulaini
Sejak tadi akang Hamam bangun Medina dan selamat ya Medina dan Hamam yang akan menjadi calon Umi dan Abah 👏👏👏
Murni Zain
Alhamdulillah akhirnya bertambah jg cucu ..dn selamat buat Gus Hamam dn Ning Dina atas kehamilannya, semoga sehat selalu d lancarkan dlm melahirkan nanti 🤲🏼🥰
Deswita
terimakasih up nya Thor
Rapa Rasha
Alhamdulillah akhirnya Hamam junior dah loncing
heni diana
alhamdulilah ternyata dina hamil pantesan tantrum karna baby juga g mau jauh jauh dri ayahnya...
ehh g usah slting din yg d puji juga suami sendiri hehhe..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!