Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25.
"Bagaimana keadaannya, Ma?" Tanya Pak Suminto dengan wajah sedih bercampur marah. Dia sedang duduk di kursi ruang tamu rumahnya dengan kaki bersilang. Sedangkan dijemarinya terselip sebatang rokok yang kini tinggal separuhnya.
Buk Arini, istrinya berjalan mendekat dan duduk di samping Pak Suminto, "Shella tertidur, Pa, mungkin karena lelah."
"Bagaimana tidak lelah? Dia pasti menangis seharian gara-gara si bang*at Firman itu." Geram Pak Suminto.
Papa sudah menelponnya berkali-kali untuk mempertanggungjawab perbuatannya tapi tak dijawab. Papa juga sudah menghubungi besan kita, Pak Hasan, tapi ada saja alasannya. Dia anggap kita ini apa? Berani sekali meremehkan kita. Kalau bukan karena anak kita cinta mati sama si bang*at itu, sudah papa seret dia ke penjara." Dengus Pak Suminto.
"Jadi apa yang harus kita lakukan, Pa? Apa papa tega membiarkan anak kita dimadu? Apa kata tetangga nanti. Mama malu."
"Mama tenang saja, papa sudah menyuruh orang-orang papa untuk membereskan masalah ini. Papa tentu tak akan membiarkan anak kita dimadu. Papa juga tak akan membiarkan si bang*at itu menikmati harta kekayaan kita atas nama Shella. Kita tunggu saja hasilnya. Yang penting sekarang kita fokus saja sama keadaan anak kita."
"Baik lah kalau begitu, Pa. Mama mau membuatkan susu panas untuk Shella." Setelah mengatakan itu, Buk Arini bangkit dari kursinya dan bergegas ke dapur.
Karena pembantunya pulang kampung libur hari raya qurban sehingga rumah mereka tampak sepi.
Makanan pun mereka pesan di luar karena Buk Arini tidak terbiasa masak.
Setelah mengantarkan kopi untuk suaminya, Buk Arini segera ke kamar Shella membawa minuman susu panas.
Betapa terkejutnya Buk Arini melihat kamar anaknya kosong. Awalnya dia berfikiran mungkin Shella sedang ke kamar mandi, tapi pintu kamar mandinya terbuka, tak ada siapa-siapa di dalam. Buk Arini panik.
"Pa....pa....sini sebentar!" Teriaknya.
Pak Suminto baru saja menghirup kopi sambil menghisap rokok bergegas mendapatkan istrinya.
"Ada apa, Ma?"
"Shella hilang, Pa."
"Hilang ke mana? Kan tadi dia tertidur karena kelelahan. Tak mungkin dia tiba-tiba minggat." Bantah Pak Suminto.
"Lalu kemana anak kita, Pa? Mama sudah mencari tapi dia tak ada." Sahut Buk Arini sedih.
"Mungkin dia sedang di teras atau di halaman belakang, ayo kita lihat di sana!" Pak Suminto memegang tangan istrinya berjalan ke luar kamar.
Mereka sudah memeriksa sekitar perkarangan rumah tapi Shella tak ada.
Ke mana anaknya pergi? Tak mungkin Shella pergi jauh.
Handphone, dompet dan motornya ada di rumah, kalau mau pergi seharusnya barang-barangnya di bawa.
"Mama tunggu di sini, mana tahu nanti Shella tiba-tiba muncul. Biar papa lihat di sekitar jalan. Shella tak mungkin pergi jauh." Pak Suminto pergi dengan tergesa-gesa.
'Gara-gara ketahuan Firman selingkuh, membuat Shella patah hati dan kecewa. Dia tak siap menerima kenyataan ini. Ke mana perginya anak itu?' Berbagai persoalan hilir mudik di fikiran Pak Suminto.
...****************...
Maghrib baru saja berlalu. Semburat cahaya kuning keemasan perlahan menghilang di ufuk barat. Mumu baru saja mengemas barang-barangya. Karena barangnya memang tak banyak jadi sebentar saja barang-barang tersebut sudah tersusun rapi di dalam tas.
Siang tadi buk Fatimah menelponnya. Dia dan Mirna hari ini berangkat ke Jogja. Entah kapan akan kembali ke Selatpanjang.
Mumu ingin mengantar kepergian mereka tapi tak cukup waktu.
Baru sore tadi Mumu sampai di Selatpanjang setelah seharian di kediaman Pak Parmadi.
Buk Fatimah meminta tolong untuk menjaga rumahnya selama mereka tidak berada di sini.
Ini sebenarnya bukan Buk Fatimah yang minta tolong Mumu, malah sebenarnya Mumu yang merasa tertolong karena telah diberi fasilitas tempat tinggal tanpa harus membayar sewa. Palingan dia hanya perlu mengeluarkan biaya listrik dan menjaga kebersihan rumah Buk Fatimah.
Oleh karena itu, rencananya malam ini juga Mumu akan pindah ke rumah Buk Fatimah.
Setelah menyerahkan kunci kostnya kepada pemilik rumah, Mumu pun pamit dan berlalu dari sana.
Mumu mampir sebentar di warung nasi setelah itu ia langsung memotong jalan pembangunan lalu tembus ke jalan Burut baru masuk ke jalan Lintas timur.
Selain lebih dekat jalannya pun lebih sepi. Tak banyak kendaraan yang lewat selepas maghrib ini.
Sewaktu melewati jalan sepi karena di kiri kanan jalan hanya terdapat lahan kosong, Mumu seperti mendengar suara jeritan barusan.
Memang semenjak ia dengan rutin meditasi dengan metode pernafasan itu, baik pendengaran, penglihatan dan penciumannya menjadi lebih peka.
Oleh sebab itu lah ia masih bisa mendengar jeritan barusan walaupun hanya sebentar.
Mumu langsung turun dari motornya lalu dengan langkah cepat ia segera menuju sumber suara tadi.
Ternyata di sebalik jalan setapak itu, Mumu juga menemukan tiga buah sepeda motor yang sepertinya sengaja disembunyikan.
Hal ini menambah kecurigaan Mumu.
Bagaikan tupai yang melompat di pepohonan Mumu berlari dengan ringan seakan-akan tubuhnya tiada berbobot.
Ternyata ada sebuah pondok kosong di tengah-tengah lawan yang kosong ini.
Mumu juga melihat cahaya yang bersinar.
Lalu Mumu juga mendengar suara tangisan yang diiringi gelak tawa beberapa orang.
Tersirap darah Mumu melihat perbuatan beberapa pemuda yang ingin menodai seorang wanita hamil.
Wanita tanpa paka*an itu berusaha meronta tapi tangan dan kakinya dicekal oleh empat orang pemuda. Sedangkan pemuda tinggi besar di hadapannya sedang membuka baju sambil tertawa senang. Karena posisinya membelakangi pintu sehingga Mumu tidak bisa melihat wajahnya.
Tak jauh dari sana pemuda yang lain sedang menodongkan handphonenya. Rupanya mereka sengaja merekam perbuatan tidak senonoh mereka.
Mumu langsung meloncat masuk dan menghantamkan tinjunya ke pelipis pemuda yang ingin mengga*ahi wanita hamil tersebut.
Lalu tendangannya secepat kilat mendarat ke arah pemuda lain yang sedang memegang tangan dan kaki wanita itu. Terakhir tinjunya mendarat tepat di wajah pemuda yang megang handphone.
Saking cepatnya gerakan Mumu sehingga keenam pemuda itu tidak sempat berbuat apa-apa. Ditambah lagi mereka tidak menyangka akan ada orang yang datang memergoki perbuatan mereka.
Tak ayal lagi tubuh mereka langsung rubuh menimpa dinding pondok tanpa mampu bangkit untuk melawan Mumu.
Walaupun dalam keadaan marah tapi Mumu sudah mengurangi tenaga pukulan dan tendangannya. Kalau tidak, maka tanggal dan hari ini akan menjadi peringatan kematian mereka.
Setelah menotok mereka agar tidak bisa ke mana-mana dan mengambil handphone yang digunakan sebagai alat perekam tadi sebagai barang bukti, Mumu segera mendekati wanita hamil tersebut.
Mumu sangat terenyuh. Wanita hamil itu tergeletak tanpa daya. Mumu segera menyarungkan pakaian wanita tersebut.
Ada sedikit darah yang keluar sehingga Mumu cepat-cepat membawanya keluar dari pondok untuk di bawa ke RSUD.
"Bia*ab!!!! Apa yang kamu lakukan kepada anakku???" Sebuah bentakan penuh kemarahan menghentikan langkah Mumu.
Tampak bayangan dua orang laki-laki muncul dari jalan besar.
Pria yang membentak tadi langsung melesatkan tinjunya ke wajah Mumu.
Karena kedua tangan Mumu sedang menggendong wanita hamil sehingga tak bisa menangkis. Jika mengelakpun Mumu khawatir pukulan penuh kemarahan itu malah akan mengenai tubuh wanita hamil ini sehingga Mumu hanya menarik nafas dan menyalurkan ke arah wajahnya untuk mengurangi efek tinju tersebut.
"Buk!!!!" Suara yang lumayan keras ketika tinju pria itu mengenai wajah Mumu.