Gia tidak menyangka jika rekan kerjanya tega menaburkan bubuk beracun ke dalam perlengkapan make up-nya sehingga membuat wajahnya yang cantik berubah menjadi penuh koreng busuk dan menjijikkan. Karena hal itu pula Gia dihina dan dijauhi teman-temannya bahkan sampai dipecat dari pekerjaannya.
Setahun kemudian Gia kembali ke perusahaan itu untuk mengembalikan nama baiknya sekaligus membalas orang yang telah menghancurkan wajahnya.
Bagaimana cara Gia memberikan pembalasan yang setimpal kepada orang-orang yang telah menyakitinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nita kinanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Panas
Sepulang kerja, Erika benar-benar menemui Rivani di kafe tempat mereka dulu biasa bertemu.
"Nih!!!" Erika menyodorkan sebuah botol kecil terlihat seperti bedak bayi. "Aku hanya bisa menyediakan obatnya, tidak bisa ikut membantu." Erika menyebut serbuk racun di dalam botol tersebut sebagai obat.
Rivani melirik Erika, seperti meminta penjelasan. Dulu mereka melakukannya bersama-sama, kenapa sekarang dia sendirian melakukan ini dan Erika seperti tidak mau ikut-ikutan. Padahal Erika juga ikut menikmati hasilnya jika Gia benar-benar celaka.
"Aku benar-benar tidak tahu caranya. Aku tidak bisa lagi pura-pura meminjam make up-nya karena dia pasti akan curiga. Kalau bisa juga aku akan dengan senang hati melakukannya. Dari dulu aku sendiri sangat muak melihat gayanya, apalagi sekarang!" gerutu Erika.
"Baiklah, akan aku lakukan sendiri! Tidak masalah," ucap Rivani dengan santainya. Rasa irinya membuatnya hilang akal dan merasa yang dilakukannya adalah sesuatu yang benar.
Keesokan harinya,
Rivani duduk santai di ruang tamu. Dia sengaja berada di sana menunggu Gia berangkat bekerja agar bisa melaksanakan rencana jahatnya. "Kak, mobil jemputanmu sudah menunggu," teriaknya karena Gia tidak segera keluar dari kamarnya. Dia tidak sabar untuk segera menaburkan bubuk racun itu ke kosmetik yang Gia gunakan sehari-hari.
"Ya, aku sudah tahu," jawab Gia begitu dia keluar dari kamarnya, kemudian berlalu melewati Rivani begitu saja. Biasanya Rivani marah melihat Gia acuh seperti ini, tetapi kali ini Gia terlihat menikmatinya.
Setelah memastikan Gia sudah pergi, Rivani segera masuk ke kamar Gia dan langsung duduk di depan meja rias Gia. Rivani tertegun tidak menemukan apapun di sana. Biasanya Gia menaruh semuanya di sana, mau itu pelembab, serum, krim pagi, krim malam, apapun yang biasa Gia aplikasikan ke wajahnya hanya di taruh di atas meja tetapi sekarang tidak ada apa-apa di sana. Dia juga sudah membuka semua laci tetapi tetap tidak menemukan apa-apa.
Rivani terlihat kesal. Dia mulai membuka lemari pakaian dan mencari-cari di sana, tetapi hasilnya sama saja.
Rivani tidak tahu jika Gia sudah belajar dari pengalaman, sekarang dia selalu membawa krim-krim perawatan wajahnya di dalam tas dan tidak meninggalkannya di rumah, apalagi meminjamkannya.
Hampir saja Rivani marah, tetapi kemudian akal culasnya menemukan cara lain untuk meracuni Gia.
Lalu Rivani mengeluarkan satu persatu pakaian Gia dari dalam lemari, membukanya lalu menaburkan bubuk racun itu ke bagian dalam pakaian Gia yang langsung bersentuhan dengan kulit, lalu melipatnya kembali dengan rapi.
"Tidak masalah! Tidak bisa di wajah, bisa di tubuhnya. Tidak ada gunanya punya wajah cantik kalau badannya korengan, Arnold pasti akan meninggalkannya. Tidak akan ada lagi laki-laki yang mau sama dia dan ibu juga akan mengusirnya lagi!" ucap Rivani sambil menaburkan bubuk racun itu di pakaian Gia. Tidak sabar ingin segera melihat hasilnya, Rivani menaburkan bubuk itu sebanyak-banyaknya. Semakin banyak racun itu mengenai kulit Gia maka akan semakin cepat terlihat efeknya.
Rivani tersenyum puas setelah berhasil menaburkan bubuk racun itu hampir di seluruh pakaian di lemari Gia. Dia merapikan semuanya kembali seperti semula lalu pergi dari sana.
...* * * * *...
Gia pulang ke rumah pukul tujuh malam. Sekarang dia sangat sibuk sehingga tidak bisa pulang tepat waktu.
Hanya ada Sumi, malam hari warung makannya sudah tutup jadi dia bisa bersantai di rumah. Sementara Rivani entah dimana. Gadis itu sengaja pergi agar nanti ketika Gia memakai pakaian yang sudah dia bubuhi racun, dia tidak berada di rumah sebagai alibi.
Belum juga Gia masuk ke dalam kamar, terdengar suara pintu diketuk.
"Biar ibu yang buka, kamu istirahat dulu saja," ucap Sumi begitu baiknya. Akhir-akhir ini memang sikapnya sangat baik kepada Gia.
Gia hanya mengangguk lalu berjalan masuk ke kamarnya.
"Eh ... Nak Arnold. Malam-malam kemari mau mengajak Gia pergi?" sambut Sumi begitu melihat Arnold lah yang datang.
"Emm ... Gia sudah pulang kan, Bu Sumi?"
"Itu, baru saja masuk kamar. Silahkan masuk, ibu panggil dia dulu." Arnold pun masuk lalu Sumi bergegas memanggil Gia di kamarnya.
Tidak sampai satu menit, Gia muncul dengan wajah herannya. "Arn, kenapa tidak memberitahu kalau mau datang?"
"Mommy memintaku menjemputmu untuk makan malam di rumah."
"Sekarang?"
Arnold mengangguk. "Tentu saja!"
Seperti biasa, Gia tidak bisa menolak dan hanya bisa menuruti keinginan entah Tante Dira, atau mungkin sebenarnya keinginan Arnold sendiri tetapi yang mengatasnamakan mommy nya.
"Baiklah, tunggu sebentar. Aku harus membersihkan tubuhku dan mengganti pakaianku dulu."
"Take your time, baby. Aku akan menunggumu!" ucap Arnold.
Sambil menunggu Gia, Sumi mengajak Arnold berbincang,
Setengah jam kemudian Gia selesai. "Kita berangkat sekarang?" tanyanya.
"Oke." Arnold bangkit lalu pamit kepada Sumi. "Permisi, Bu Sumi. Kami pergi dulu," ucapnya.
"Eh ... Sudah selesai, ya?" Melihat ke arah Gia yang sudah berdiri di sana. "Ya sudah, kalau begitu hati-hati," ucapnya tidak rela, karena merasa belum puas belum bisa menarik simpati Arnold.
Di dalam mobil,
Gia duduk dengan gelisah. Entah kenapa sejak tadi Gia merasa gerah dan panas, padahal dia baru saja mandi dan AC di mobil Arnold juga menyala.
"Gia, kamu tidak apa-apa?" tanya Arnold melihat Gia yang seperti merasa tidak nyaman.
"Aku tidak tahu Arn, sejak masuk ke mobil tadi aku merasa sangat gerah," jawab Gia mulai mengipas-ngipaskan tangannya.
"Gerah? Ac-nya menyala Gia, ini sudah cukup dingin," balas Arnold mengecek AC mobilnya.
"Apa hanya perasaanku saja? Tetapi aku benar-benar merasa kepanasan."
"Apa kamu sedang tidak enak badan? Kamu ingin kita berhenti dulu?" memegang kening Gia untuk memastikannya. "Tapi badanmu tidak panas."
"Aku tidak apa-apa, kita lanjut saja. Nanti Tante kelamaan menunggu kita." balas Gia berusaha menahan panas yang dia rasakan.
Mendengar jawaban Gia, Arnold pun terus melajukan mobilnya.
"Arn, rasanya aku tidak kuat. Ini panas sekali dan sangat sakit," rintih Gia. Sejak tadi dari terus menahannya tetapi akhirnya menyerah juga. Seluruh kulitnya rasanya seperti terbakar dan digigit ratusan semut merah bersamaan. Karena benar-benar tidak kuat, Gia membuka kancing blouse-nya dan terlihatlah warna merah padam di tubuhnya.
"Astaga, apa yang terjadi?!!" Arnold terkejut melihat kondisi kulit Gia yang sangat merah seperti habis disiram air panas dan bahkan ada yang sampai melepuh di beberapa bagian. Arnold segera menepikan mobilnya lalu berhenti. "Lepaskan semua pakaianmu, Gia!" perintah Arnold yang sebenarnya panik tetapi berusaha tetap tenang.