Sikap anak dan suami yang begitu tak acuh padanya membuat Aliyah menelan pahit getir segalanya seorang diri. Anak pertamanya seorang yang keras kepala dan pembangkang. Sedangkan suaminya, masa bodoh dan selalu protes dengan Aliyah yang tak pernah sempat mengurus dirinya sendiri karena terlalu fokus pada rumah tangga dan ketiga anaknya. Hingga suatu hari, kenyataan menampar mereka di detik-detik terakhir.
Akankah penyesalan anak dan suami itu dapat mengembalikan segalanya yang telah terlewatkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAS 27
Bunda Naima tak henti-hentinya menangis saat melihat tubuh Aliyah yang terbaring lemah tak berdaya dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Amar yang berdiri di belakang bunda Naima pun ikut meneteskan air matanya. Aliyah merupakan perempuan yang baik. Oleh sebab itu, bundanya begitu menyayangi Aliyah.
"Al, bangun, nak! Ini Bunda. Kenapa kamu seperti ini, Nak. Seharusnya kamu bilang ke bunda kalo kamu sakit. Kalau perlu, kamu laporkan semua perbuatan anak brengsekkk itu biar bunda yang memberikannya pelajaran. Biar bunda pukul dia sampai babak belur karena sudah mengabaikan mu," ucap bunda Naima sambil terus terisak.
"Al, bangun, Nak. Ini bunda. Kenapa kamu tanggung sendiri penyakitmu. Seharusnya kamu cerita ke bunda. Bunda pasti akan segera datang, Nak. Ya Allah, Al, kenapa kamu sekuat ini? Menanggung segalanya seorang diri. Kenapa anak kurang ajar itu yang jadi anak bunda? Seharusnya kamu saja yang jadi anak bunda. Bunda sangat menyayangi kamu, Al. Bangunlah, Nak. Bunda janji akan memenuhi segala permintaan mu asalkan kamu bangun. Kalau perlu, bunda akan mengusir anak kurang ajar itu supaya tidak bertemu kamu lagi. Lebih baik kalian berpisah kalau hanya membuatmu menderita. Percuma jadi suami, tapi istri sakit tidak peduli."
"Bun," sergah Amar saat mendengar ibunya ingin memisahkan mereka.
"Kenapa?" tanya bunda Naima sengit.
"Jangan mengatakan itu! Amar tidak mau berpisah dengan Aliyah," tukas Amar sungguh-sungguh.
"Tidak mau? Untuk apa? Untuk kau buat lebih menderita lagi? Begitu?" sinis Bunda Naima. Meskipun Amar putranya sendiri, tapi Bunda Naima tetap tidak membenarkan perbuatan Amar. Menyia-nyiakan sang istri hingga sakit parah seperti ini. Benar-benar keterlaluan.
Amar menggeleng cepat, "tidak, Bun. Amar janji, Amar tidak akan melakukannya lagi. Amar janji, Amar akan berubah menjadi lebih baik. Amar janji, Amar akan memperlakukan Aliyah dengan lebih baik. Amar akan menebus segala perbuatan bodoh Amar. Amar mohon, bun, jangan jauhkan Amar dari Aliyah. Amar masih mencintai Aliyah," ucap Amar dengan penuh kesungguhan.
Bunda Naima melengos.
"Kau berdoa saja semoga kesempatan itu masih ada," pungkas Bunda Naima pelan. Namun doa yang sama ia gumamkan dalam hati, semoga sang putra masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki segala kesalahannya.
Sore harinya, sesuai perkataan Nafisa, perempuan itu dan Budi datang ke rumah sakit. Tapi mereka tidak mengikuti instruksi Amar. Mereka tidak menelpon terlebih dahulu. Mereka justru datang begitu saja ke rumah sakit. Kemudian mereka menanyakan kamar perawatan Aliyah di bagian resepsionis. Setelah tahu, Nafisa dan Budi pun segera melangkahkan kakinya menuju ruangan Aliyah berada.
Melihat keberadaan Amar, Nafisa pun berjalan tergesa. Lalu tanpa aba-aba ia memeluk Amar yang baru saja keluar dari kamar Aliyah. Amar sampai menegang kaku. Apalagi bunda Naima yang ikut menyusul keluar di belakangnya.
Mata bunda Naima membelalak saat melihat Nafisa memeluk putranya begitu saja seperti mereka sudah biasa melakukannya.
"Fisa, lepas!" Amar memegang pundak Nafisa dan hendak mendorongnya, tapi Nafisa justru melingkarkan tangannya di pinggang Amar.
"Mas Amar, maaf kalau aku baru sempat sekarang mengunjungi mbak Aliyah. Mas pasti sedih banget melihat keadaan mbak Aliyah seperti itu. Hiks ... Hiks ... Hiks ... "
Nafisa mengeluarkan jurus andalannya, yaitu air mata buaya. Berharap air matanya mampu menarik simpati Amar.
Mungkin bila Amar belum mengetahui kebusukan Nafisa seperti dahulu, bisa saja ia terpikat dan terbuai dengan air matanya.
Tapi kini tidak lagi. Ia tak ingin kembali tertipu dengan segala tutur lembut dan sikap manis perempuan itu. Apalagi kini ada ibunya di sana. Ia tidak ingin membuat ibunya makin marah dan kecewa melihat sikapnya.
Lalu Amar mendorong pundak Nafisa lebih keras dari sebelumnya. Mata Nafisa sempat terbelalak, tapi ia berusaha bersikap biasa saja. Setelah pelukan terlepas, Nafisa menyeka air matanya.
"Kalian kenapa datang tiba-tiba?" tanya Amar mengabaikan wajah sedih Nafisa.
"Maaf, kami pikir kau sibuk jadi kami tidak mau mengganggumu. Jadi kamu langsung aja bertanya pada resepsionis ruangan istrimu," jawab Budi yang diangguki Amar.
"Mar, mereka siapa?" tiba-tiba bunda Naima maju dan berdiri di samping Amar.
Amar seketika gugup. Apalagi pasti tadi ibunya itu menyaksikan bagaimana Nafisa memeluknya tanpa rasa malu apalagi canggung.
"Oh ini Bun, mereka rekan kerja Amar. Ini Nafisa dan ini Budi," ujar Amar memperkenalkan Nafisa dan Budi pada sang ibu. Lalu Nafisa dengan memasang wajah ramah nan lembut segera menyalami bunda Naima dan mencium punggung tangannya.
"Perkenalkan, saya Nafisa, Bun. Rekan kerja Mas Amar," ucapnya membuat mata bunda Naima mendelik sebab Nafisa ikut memanggilnya bunda. Bahkan ia juga memanggil Amar dengan embel-embel 'Mas' seperti yang Aliyah lakukan.
Bunda Naima mencoba bersikap ramah dengan menyambut tahan Nafisa. Lalu giliran Budi yang menyalami bunda Naima.
"Bunda, Fisa turut sedih dengan apa yang menimpa mbak Aliyah. Padahal baru beberapa hari yang lalu Fisa bertemu Mbak Aliyah, tapi tiba-tiba kabar buruk ini terdengar. Fisa benar-benar sedih. Mas Amar sampai tidak bisa bekerja karena mengurus mbak Aliyah. Apalagi anak-anak, mereka sangat kehilangan. Mereka sampai nangis tak henti-henti. Hati Fisa terenyuh melihat mereka. Fisa sudah berusaha untuk menghibur anak, tapi anak-anak sepertinya masih begitu kehilangan jadi mereka menolak kehadiran Fisa di rumah mereka," ucap Nafisa sendu sambil sesekali mengusap air matanya yang masih terus menetes.
Dahi bunda Naima berkerut. Bunda Naima bisa melihat gelagat tak biasa dari Nafisa.
"Fisa benar, Tante. Kami benar-benar prihatin dengan apa yang menimpa istri Amar. Semoga istrimu bisa segera sadarkan diri ya, Am," timpal Budi sambil menepuk pundak Amar.
"Terima kasih atas perhatian kalian. Tante senang anak Tante memiliki teman yang memiliki empati tinggi. Mohon doanya semoga Aliyah diberikan kesembuhan dan kesehatan ya. Apalagi Aliyah merupakan menantu kesayangan tante. Dia perempuan yang sempurna. Tante yakin, takkan ada perempuan yang bisa menggantikan Aliyah sebagai menantu terbaik Tante," ucap Bunda Naima.
Nafisa dan Budi duduk di bangku panjang di sana. Nafisa terus mencoba mencari simpati dan bersikap manis di hadapan Bunda Naima. Jujur, sebenarnya bunda Naima jengah melihat sikap baik yang dibuat-buat itu. Bagaimanapun, Bunda Naima telah berpengalaman dengan asam garam kehidupan. Ia tahu mana yang tulus dan mana yang modus. Dapat bunda Naima lihat kalau sikap baik Nafisa itu hanyalah modus belaka.
Bunda Naima makin geram saat Nafisa dengan entengnya menceritakan kalau ia dan Amar sering jalan bersama.
"Iya Tante, kadang Fisa itu kasihan sama Mas Amar. Dia bilang dia bosan dI rumah sebab mbak Aliyah nggak bisa dandan. Setiap pulang kerja juga, rumah selalu berantakan. Mana kadang belum mandi juga. Makanya Mas Amar jadi males pulang ke rumah. Jadi Fisa nasihatin mas Amar agar tidak bersikap seperti itu. Mungkin mbak Aliyah belum sempat saja. Apalagi urus anak 3 dan dua yang masih balita itu repot."
Mendengar penuturan itu, jelas saja membuat api amarah di dada bunda Naima menggelegak. Ia tidak menyangka anaknya bisa berbuat serendah itu. Membuka aib rumah tangga dengan perempuan lain, apa itu pantas? Lalu melampiaskan kekesalannya dengan jalan dengan perempuan lain, apa itu juga pantas? Dada bunda Naima naik turun. Ia benar-benar marah. Sepertinya, ia mulai mengerti mengapa Aliyah sampai jadi seperti ini. Dan bunda Naima juga bisa mengambil kesimpulan kenapa Amar sampai tega melempar Aliyah dengan asbak. Sudah pasti mereka bertengkar dan pertengkaran mereka pasti ada hubungannya dengan perempuan bernama Nafisa itu.
...***...
...^^^HAPPY READING ❤️❤️❤️^^^...
𝐭𝐨𝐢𝐥𝐞𝐭 𝐩𝐞𝐫𝐭𝐦𝐚 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐫𝐚𝐡𝐢𝐦 𝐢𝐛𝐮
𝐝𝐨𝐚 𝐩𝐫𝐭𝐦𝐚 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐝𝐨𝐚 𝐢𝐛𝐮
𝐠𝐞𝐧𝐝𝐨𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐩𝐫𝐭𝐦 𝐚𝐧𝐤 𝐠𝐞𝐧𝐝𝐨𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐢𝐛𝐮
𝐛𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐢𝐛𝐮 𝐥𝐚𝐡 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐠 𝐩𝐫𝐭𝐦𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐚𝐲𝐚𝐧𝐠𝐢 𝐚𝐧𝐚𝐤𝟐𝐧𝐲𝐚 𝐦𝐬𝐤𝐢𝐩𝐮𝐧 𝐛𝐥𝐦 𝐭𝐚𝐮 𝐛𝐞𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐫𝐮𝐩𝐚 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐧𝐲𝐚 😭😭😭😭😭
𝐜𝐢𝐫𝐢𝟐 𝐦𝐚𝐧𝐮𝐬𝐢𝐚 𝐭𝐮𝐫𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐣𝐣𝐚𝐥
𝐝𝐫𝐩𝐝 𝐡𝐝𝐮𝐩 𝐦𝐚 𝐬𝐮𝐚𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐚𝐧𝐤 𝐬𝐢𝐟𝐚𝐭 𝐧𝐲𝐚 𝐤𝐞𝐤 𝐝𝐚𝐣𝐣𝐚𝐥
𝐦𝐞𝐧𝐝𝐢𝐧𝐠 𝐣𝐚𝐧𝐝𝐚 𝐭𝐩 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐠𝐢𝐚
𝐝𝐫𝐩𝐝 𝐩𝐧𝐲 𝐬𝐮𝐚𝐦𝐢 𝐭𝐩 𝐦𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚
𝐦𝐚𝐦𝐚𝐦 𝐭𝐮 𝐚𝐦𝐚𝐫 𝐬𝐮𝐤𝐮𝐫𝐢𝐧