Sebagai anak perempuan tertua di keluarganya, Ayesha di tuntut untuk segera mencari pasangan hidup. Namun, trauma di masa lalunya, membuat Ayesha tidak jua mencari jodoh di saat umurnya yang sudah mencapai 30 tahun.
Begitu pula dengan Azlan yang merupakan anak tunggal dari keluarga terkaya yang sampai saat ini masih melajang di karenakan sebuah penyakit yang di deritanya.
Bagaimana jadinya, jika kedua insan tersebut bertemu dan melakukan kesepakatan untuk menikah. Akan kah Ayesha menerimanya? atau malah tidak menyetujuinya, karena ia hanya ingin menikah satu kali seumur hidup dan tentunya ingin memiliki keturunan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rafasya Alfindra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keadaan semakin memburuk
POV Vira
"Ma, sudah Ma!" Azlan mencegahku memukuli Papanya yang ku anggap biadab. Karena dialah yang menjadi penyebab puteraku seperti itu.
"Tidak Azlan ..., dia pantas untuk mendapatkan ini." Aku semakin keras memukul suamiku, aku masih tidak terima dengan jalan takdir puteraku. Andai bukan suamiku yang menjadi penyebab utama puteraku mengalami trauma. Mungkin hatiku tidak sesakit itu.
"Ma ... sudahlah Ma. Kasihan Papa." Itu hal yang terakhir yang ku dengar sebelum suamiku tersungkur ke lantai.
Aku semakin gemetaran. Apa yang sudah ku lakukan? Ku angkat kedua tangan yang tadinya ku gunakan untuk memukuli suamiku. Sungguh, aku telah menjadi istri yang durhaka. Karena ulah tanganku, suamiku seperti ini.
"Tuhan tolong selamatkan suamiku." ucapku penuh histeris, aku sungguh menyesal telah melakukannya. Bagaimana ini? Apakah suamiku akan baik-baik saja? Seketika rasa takut seakan menghantui.
"Ma ...!" suara Azlan mengejutkan ku.
Aku terpaku dan menatap ke arah Azlan. Entah sudah berapa lama aku melamun, karena aku baru menyadari bahwa sudah ada beberapa orang datang ke rumah dan mengangkat suamiku dan membawanya keluar menuju ambulans yang terparkir di depan rumahku.
Ternyata Azlan sudah menghubungi mobil ambulans untuk membawa suamiku ke rumah sakit.
Aku masih shock dengan keadaan yang baru saja terjadi, bibirku terasa kelu. Bahkan wajahku semakin pucat, saat melihat suamiku di angkat.
Sempat ku lihat wajah suamiku sebelum ia di bawa pergi. Wajahnya terlihat pucat, bahkan kedua matanya tertutup. Keadaan suamiku terlihat begitu lemah.
Aku menyesal tidak mengetahui kondisi suamiku. Andai saja, aku tidak memperpanjang masalahnya tadi. Mungkin aku masih melihat suamiku tersenyum terhadapku.
"Ma ... Azlan akan pergi ke rumah sakit untuk menemani Papa. Apa Mama mau ikut dengan Azlan?" Ku tatap wajah puteraku, lalu mengangguk mengiyakan.
Ingin rasanya ada yang menenangkan ku di saat seperti ini. Bahkan aku butuh sandaran untuk berbagi keluh kesah. Namun sang putera seakan tidak bisa tersentuh. Jangankan memeluk ku, mendekatiku pun seakan ia takut.
Aku menaiki mobil puteraku, sedangkan mobil ambulans yang membawa suamiku sudah berangkat beberapa menit yang lalu.
"Ma ... Mama tenang ya. Mudah-mudahan keadaan Papa baik-baik saja." Azlan seakan mengerti kegundahan yang sedang ku alami. Hingga diriku sedikit tenang mendengarnya, karena yang ku harapkan juga seperti itu.
"Iya, Nak! Tapi ... ini juga salah Mama, Nak. Mama lah yang menjadi penyebab Papa tidak sadarkan diri seperti itu. Mama takut ..., Mama takut terjadi hal yang buruk dengan Papa." Suaraku sedikit serak, bahkan kepalaku seketika pusing. Entah bagaimana caranya diriku mengabari Mama Freya akan kondisi puteranya saat ini.
"Mama yang sabar, mudah-mudahan keadaan Papa baik-baik saja."
Tidak lama setelah itu, mobil Azlan sudah terparkir di depan parkiran rumah sakit. Aku pun turun bersama dengan puteraku Azlan. Sebelumnya pak Yitno sudah mengabari bahwa suamiku saat ini sedang berada di ruang UGD.
Ya, saat suamiku di bawa dengan mobil ambulans. Pak Yitno yang merupakan satpam rumah ku lah yang ikut menemani suamiku di dalam mobil tersebut.
"Pak ... Bagaimana keadaan Papa?" Azlan lah yang bertanya terlebih dahulu. Aku hanya diam mendengarnya. Bukan aku tidak peduli dengan suamiku, namun saat ini hatiku dilema. Perasaan bersalah semakin menghantui hatiku.
"Dokter masih di dalam memeriksa keadaan Bapak, Den!" Itulah jawaban yang ku dengar. Sungguh hatiku pilu mendengarnya, bahkan menunggu dokter keluar pun seakan lama ku rasakan.
"Sebaiknya, Ibuk duduk dulu. Mungkin sebentar lagi, dokternya akan keluar!" Aku mengangguk mengiyakan dan duduk di bangku panjang yang ada di dekat sana.
Tidak lama setelah itu, seorang dokter keluar dengan tergesa-gesa. Bahkan dari raut wajahnya bisa di pastikan kalau suamiku di dalam sana sedang dalam kondisi tidak baik.
"Dok, bagaimana keadaan suamiku?" Aku berdiri dan mendekati dokter tersebut.
"Sebaiknya kita bicarakan kondisi Bapak, di ruangan saya saja!" Dokter tersebut berlalu pergi dari hadapan kami.
"Azlan bagaimana ini, Nak?" Aku sudah semakin kacau saja bahkan tubuhku nyaris terjatuh. Namun tiba-tiba saja puteraku mendekap tubuhku. Entahlah, ini hal pertama dalam hidupku di peluk puteraku sebelum trauma yang dialaminya.
"Ma ... Mama harus kuat, Ma!" Aku melihat puteraku menangis bahkan tubuhnya seperti gemetaran. Apa iya, dia berusaha melawan penyakitnya karena membantuku untuk berdiri.
"Ma ... kalau Mama tidak kuat menemui dokter, biar Azlan saja yang menemuinya!" Azlan sudah berkeringat dingin, bahkan keringat sudah membanjiri pelipisnya saat ini.
"Azlan, Mama bisa berjalan sendiri. Mama kuat kok, Nak! Jadi, Azlan tidak perlu memaksakan untuk membantu Mama berdiri. Kalau Azlan sendiri merasa sakit." Aku berusaha tersenyum, bahkan ku paksakan tubuhku untuk berdiri agar puteraku tidak merasa bersalah dengan keadaan yang dialaminya.
Azlan perlahan melepaskan rangkulannya dari tubuhku.
"Maafkan Azlan Ma, ternyata Azlan belum bisa menjadi anak yang berbakti untuk Mama."
Aku menggeleng, bagiku Azlan adalah putera terbaik yang ku punya. Mungkin hanya penyakit yang di deritanya lah yang menjadi penyebab ia seperti jauh dariku.
"Sebaiknya kita langsung temui dokter Willi!" Aku langsung saja meminta Azlan menemui dokter Willi. Agar Azlan tidak semakin merasa bersalah dengan keadaannya.
~
Aku dan puteraku mengikuti dokter yang tadinya menangani keadaan suamiku ke ruangannya. Karena ada sesuatu hal penting yang akan dokter Willi bicarakan mengenai kondisi suamiku.
Perasaanku semakin tidak karuan. Rasa cemas semakin mengahantuiku. Entah bagaimana nantinya hidupku, kalau terjadi sesuatu buruk menimpa suamiku. Lututku terasa kaku untuk di bawa berjalan, namun ku usahakan juga agar bisa segera sampai.
Sebelum masuk keruangan dokter Willi. Azlan mengetok pintu ruangan dokter Willi terlebih dahulu. Setelah ada sahutan dari dalam barulah kami berdua masuk ke dalam.
"Silahkan duduk!"
Aku dan Azlan pun duduk setelah dokter Willi mempersilahkan kami duduk.
Aku perlahan menarik nafas sebelum bertanya, perasaanku bahkan sudah dag dig dug sekali.
"Bagaimana keadaan suamiku, dok? Apakah suamiku baik-baik saja?" Aku bertanya pada dokter Willi. Aku seperti tidak sabaran mendengar kondisi suamiku yang ku tinggal di dalam sana.
Dokter yang menangani suamiku terlihat menunduk. Ia terlihat menarik nafas, perasaanku semakin campur aduk. Perasaan bersalah semakin bermunculan di benakku. Andai aku tidak terlalu emosional saat itu, mungkin saat ini suamiku akan baik-baik saja.
"Dok ...!" panggilku semakin histeris. Entahlah, perasaanku semakin tidak karuan. Antara benci dan cinta, mungkin rasa cinta yang lebih besar di hatiku.
"Maaf ...," ucapan itu seperti bom atom yang menghantam dadaku. Perasaan cemas yang sedari tadi di hatiku semakin membuatku yakin, ada sesuatu buruk yang telah terjadi dengan suamiku di dalam sana.
"Maksudnya bagaimana, dok?" Azlan lah yang bertanya karena lidahku seakan kaku untuk bertanya. Bahkan dadaku terasa sakit, menerima kenyataan yang ada.
siapa itu pengamen ?
semogga Marco menemukan Ayesha