Ajeng merasa lega setelah mengetahui jika foto mesra suaminya dengan seorang wanita yang diterimanya dari seorang pengirim misterius hanyalah sebuah rekayasa. Ada seseorang di masa lalu suaminya yang ingin balas dendam. Namun, rasa lega itu tak berlangsung lama karena ini hanyalah pembuka dari sebuah pengkhianatan besar yang telah dilakukan oleh suaminya. Bisakah Ajeng memaafkan suaminya setelah mengetahui kebohongan itu.
Cakra, seorang pengusaha sukses yang mendambakan kehadiran seorang anak dalam pernikahannya, tapi istrinya yang merupakan seorang dokter di sebuah rumah sakit ternama belum ingin hamil karena lebih memilih fokus pada karirnya terlebih dahulu. Suatu waktu, Cakra mengetahui jika istrinya telah dengan sengaja menggugurkan calon anak mereka. Cakra murka dan rasa cinta pada istrinya perlahan memudar karena rasa kecewanya yang besar.
Dua orang yang tersakiti ini kemudian dipertemukan dan saling berbagi kisah, hingga benih-benih cinta muncul di hati keduanya.
Bagaimanakah kisah mereka selanjutnya? Ikuti ceritanya dalam 2 Hati yang Tersakiti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Annisa A.R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Separate
...🌷Selamat Membaca🌷...
Lima belas menit sudah terlewati, Cakra yang takut jika terjadi apa-apa pada Ajeng di dalam sana, memutuskan untuk masuk kembali.
"Ajeng..." panggilnya.
Wanita cantik itu menoleh, air matanya sudah tidak ada lagi meninggalkan mata yang terlihat merah dan sembab.
Cakra duduk di kursi samping Ajeng. "Apa perlu ku hubungi suamimu?"
Mendengar pertanyaan itu, Ajeng sontak menoleh. Kepalanya menggeleng cepat. "Jangan! Jangan beritahu dia kalau aku berada di sini!" pintanya memohon.
"Baiklah. " Sekarang Cakra yakin, jika Ajeng sedang bertengkar dengan suaminya. Berarti bekas tamparan itu berasal dari Radi. Tega sekali pria itu melakukan kekerasan pada istrinya yang tengah mengandung. Cakra tak habis pikir.
"Kau pulang saja, Mas. Kasihan istrimu menunggu di rumah. Aku sudah baik-baik saja, terima kasih karena sudah menolongku," ucap Ajeng tulus.
"Kalau aku pergi, siapa yang akan menjagamu?" tanya Cakra.
Ajeng diam, ia tidak mungkin menghubungi Radi karena sedang ada masalah dengannya. Kalau Tania, bagaimana dengan Arka yang masih kecil? Tidak mungkin di tinggal, atau dibawa ke rumah sakit. Akhirnya Ajeng menemukan seseorang yang tepat untuk ia hubungi. "Ponselku tertinggal, apa boleh aku minta tolong menghubungi orang kepercayaannku?"
"Tentu. Sebutkan berapa nomornya!" Cakra siap mengetikkan nomor di layar ponsel miliknya.
Ajeng menggigit bibir dalamnya resah. Ia coba mengingat nomor ponsel Robi. Namun, tidak ada angka yang ia ingat selain kode negaranya. Lagi pula untuk apa ia mengingat nomor ponsel seseorang jika itu sudah tersimpan rapi di dalam ponselnya. Sekarang Ajeng merutuki cara berpikirnya itu.
"Jeng..." Cakra menyentak Ajeng yang sudah terlalu lama berpikir.
"Hehe... aku tidak tahu berapa nomornya." Wanita itu tertawa kecil.
Cakra menahan senyum saat melihat tampang bodoh Ajeng, ia kemudian menyimpan kembali ponsel ke dalam saku kemeja. "Ok. Berarti aku yang akan menemanimu malam ini." Pria itu berjalan menuju sofa dan segera merebahkan diri.
Ajeng bersyukur pria baik seperti Cakra lah yang menolongnya. Bagaimana kalau ia ditemukan oleh orang jahat, lalu diculik dan.... ah, tak bisa Ajeng bayangkan.
KRRUKKKKK
Ajeng mengusap perutnya yang kelaparan. Ia ingat jika belum makan malam. Bagaimana ini? "Apa kau lapar, sayang?" tanya Ajeng pada anaknya.
Bisa saja Ajeng meminta makanan pada perawat, cuma... tahu sendirilah jika makanan rumah sakit itu hanya berupa makanan lembek dan juga semua hal yang terasa hambar.
"Aku ingin mi kuah..." desah Ajeng. Mengingat makanan favoritnya itu, membuat air ludah wanita itu menetes. "Apa aku keluar saja untuk membelinya? Tapi aku tidak membawa uang... hiks." Ajeng uring-uringan di atas ranjangya. Bunyi decitan yang ditimbulkan karena pergerakannya yang tidak bisa tenang di atas ranjang, membuat Cakra membuka mata. Sebenarnya ia belum tidur. Pria itu bangkit dan menghampiri Ajeng.
"Kau kenapa?" tanya Cakra cemas. Ia takut Ajeng merasa kesakitan.
Mata bening itu menatap Cakra berkaca-kaca. "Aku mau makan mi kuah, hiks...," rengeknya.
"A-apa?" tanya Cakra memastikan.
"Aku mau makan mi kuah, Mas, tapi aku tidak punya uang untuk membelinya, hiks..." Ajeng merengek seperti bocah yang tidak dibelikan mainan oleh orang tuanya.
"Kau mengidam?" Cakra bertanya dengan ekspresi berbinar. Setahunya, jika wanita hamil sangat menginginkan suatu makanan di saat-saat tertentu, bisa dipastikan jika wanita itu tengah mengidam.
"Eh? Ah i-iya," jawab wanita itu pelan. Tentu saja ia berbohong, mi kuah itu bukanlah keinginan anaknya tapi keinginannya sendiri.
"Baiklah, aku akan membelikannya untukmu," ucap Cakra bersemangat.
"Benarkah?" Senyum Ajeng merekah. Dibelikan mi kuah, siapa yang menolak. Apalagi dirinya yang maniak mi berkuah itu.
"Iya."
"Mi kuahnya yang ekstra pedas ya, Mas..." pesan Ajeng.
"Tidak boleh, kau sedang hamil. Tidak baik makan makanan yang pedas," protes Cakra yang bertingkah seperti suami protektif. Ajeng cemberut mendengar itu.
"Kalau ekstra tomat baru boleh," kata Cakra sebelum dirinya beranjak pergi meninggalkan Ajeng.
"Heii, aku tidak suka tomat!"
Teriakan kecil Ajeng sama sekali tidak dipedulikan Cakra, pria itu melangkah dengan perasaan senang menuju kedai makanan terdekat yang ada di sana.
.......
"Sebaiknya kau pulang sekarang, kasihan istri dan anakmu yang sudah menunggu."
Setelah sesi cerita berdurasi cukup panjang itu, Radi dan Bagas bersiap pergi meninggalkan rumah tempat penyekapan itu.
Bagas mengangguk. "Kau juga pulang lah, renungi semua yang sudah terjadi dan jangan gegabah dalam mengambil keputusan. Jika terjadi sesuatu, kau bisa menghubungiku."
Hati Radi terenyuh, memang... setelah perbincangan panjang itu, mereka memutuskan untuk kembali merajut tali pertemanan yang sempat putus.
"Aku memaafkanmu, Di. Kita bisa bersahabat lagi, tapi maaf, untuk menghilangkan bekas pengkhianatanmu tidak bisa ku lakukan. Lukanya terlalu dalam."
Radi pasrah, diberi maaf saja dia sudah merasa senang, ditambah sekarang Bagas kembali menganggapnya sebagai sahabat, itu sudah lebih dari cukup.
"Aku akan mengantarmu pulang," kata Radi.
"Tentu saja kau harus. Orang-orangmu menculikku tanpa persiapan, mana punya uang aku untuk naik taksi," sungut Bagas.
Mereka berdua tertawa dan saling berangkulan menuju tempat mobil Radi terparkir.
...🍀 🍀 🍀...
Cakra meregangkan tubuhnya yang pegal setelah bangun tidur. Ternyata tidur di sofa tidak terlalu nyaman. Pria itu bangkit dan melirik Ajeng yang masih lelap dalam tidurnya.
Teringat kejadian semalam, membuat pria itu tersenyum tipis. Ia menipu Ajeng dengan memberinya mi ekstra tomat, membuat wanita itu cemberut dengan bibir mengerucut lucu. Walaupun begitu, Ajeng tetap memakannya. Wajah cantik itu langsung berbinar saat lidahnya mencicipi mi kuah yang dibelikan. Ternyata mi itu memiliki rasa cukup pedas, Cakra sengaja melakukannya, karena takut Ajeng sedih kalau mengidamnya tidak kesampaian.
Tidak ingin mengganggu tidur Ajeng, Cakra memilih keluar dari ruangan. Sudah pagi, dan ia harus segera berangkat ke kantor. Masalah mandi dan pakaian ganti, di kantornya semua sudah tersedia. Jadi ia tidak harus pulang terlebih dahulu.
Sebelum ke kantor, Cakra memutuskan untuk memberitahu orang terdekat Ajeng mengenai keadaan wanita itu. Ia tidak mungkin memberitahu Radi karena Ajeng melarangnya. Jadi, ia mengunjungi apartemen mewah yang dikunjungi Ajeng kemarin. Mana tahu ada salah satu kerabatnya yang tinggal di sana.
Baru saja Cakra akan menjalankan mobilnya meninggalkan pelataran rumah sakit. Matanya tak sengaja melihat penampakan istrinya bersama seorang pria di parkiran. Dua orang itu seperti tengah berdebat, tanpa mempedulikannya, Cakra langsung melajukan mobil.
.......
Tania baru selesai sarapan, sekarang ia akan membangunkan sang anak untuk dimandikan. Arka yang masih tidur itu sengaja ia bangunkan dengan menciuminya bertubi-tubi, hingga bayi itu membuka mata karena merasa terganggu.
"Selamat pagi anak mama..." sapa Tania.
Bayi sepuluh bulan itu menggeliatkan badan, kemudian menatap sang ibu yang tersenyum padanya.
"Hei sayang..."
"Mam-ma," ucap Arka.
"Ayo sayang, buka bajunya, kita mandi dulu."
Setelah membuka baju Arka, Tania akan mengangkat anaknya ke kamar mandi, tapi sebelum itu, perhatian Tania teralih pada ponselnya di atas nakas yang bergetar.
Ia mengurungkan niat untuk mengangkat sang anak dan memilih mengangkat panggilan itu terlebih dahulu.
"Mas Bagas...!" gumam Tania saat melihat ID si pemanggil. Dengan cepat diangkatnya panggilan itu.
"Mas, kau di mana? Bagaimana keadaanmu?" semburnya panik.
"Aku baik-baik saja, sayang. Radi sudah melepaskanku. Aku akan menjemputmu sekarang. Katakan di mana alamat apartemen Ajeng berada?"
Tania pun menyebut alamat salah satu apartemen mewah di Jakarta, di mana ia tinggal.
"Aku akan menjemputmu sekarang. Oh ya, apa Ajeng ada di sana?"
"Tidak. Kemarin sore dia pulang ke rumah."
"Semalam mereka bertengkar dan Ajeng kabur. Ku kira dia ke tempatmu."
"Tidak, dia tidak kemari. Oh Tuhan, kemana dia?" ucap Tania cemas.
"Kau tenang dulu, kita akan bahas ini nanti. Aku akan segera bernagkat."
"Yaa..."
TIT
.......
Tania selesai memandikan bayinya dan juga memasangkan baju yang bersih. Kini saatnya Arka makan, sebelum sang ayah datang dan membawa mereka pergi.
Tepat setelah suapan terkahir, bunyi bel apartemen terdengar. Tania meninggalkan bayinya di dalam gerobak bayi dan melangkah menuju pintu.
"Mas..." sapa Tania setelah membuka pintu. Namun bukan suaminya lah yang ada di sana melainkan seorang pria yang dikenalnya sebagai CEO dari sebuah perusahaan ternama yang pernah bekerjasama dengan perusahaan Radi "Eh? Pak Cakra?" Tania terkejut.
"Tania?" Cakra yang menjadi tamu juga tak kalah terkejut. "Jadi kau yang tinggal di sini?" tanyanya.
"Iya, ini apartemen Ajeng. Dia mengizinkanku untuk tinggal di sini. Silakan masuk, Pak!"
"Tidak perlu, aku hanya ingin memberitahumu jika saat ini Ajeng ada di rumah sakit. Tolong kau ke sana dan menjaganya. Aku harus berangkat ke kantor," beritahu Cakra.
"Tentu saja, aku akan ke sana." Tania mengangguk. Sungguh ia mencemaskan keadaan Ajeng. Apa yang telah terjadi hingga wanita baik hati itu masuk rumah sakit. Apakah ini karena permintaannya untuk membebaskan Radi hingga wanita itu dan suaminya bertengkar. Kalau iya, ia merasa bersalah.
"Baiklah, aku pergi dulu," pamit Cakra setelah memberitahu rumah sakit mana dan kamar nomor berapa Ajeng dirawat.
"I-iya."
"Nia? Ada apa?" Baru saja Cakra akan berbalik, Bagas muncul.
Cakra hanya mengangguk sekilas pada Bagas, lalu pergi.
"Ada apa?" tanya Bagas saat melihat raut cemas di wajah sang istri.
"P-pria tadi mengatakan bahwa Ajeng ada di rumah sakit," jawabnya.
"Apa? Siapa pria tadi itu?"
"Dia adalah rekan bisnis Radi. Waktu itu dia pernah menolong Ajeng juga." Tania memberitahu. "Mas! Kita harus segera ke rumah sakit," mohonnya kemudian.
"Iya, ayo. Di mana anak kita?"
"Ada di dalam."
.......
Ajeng saat ini sedang sarapan semangkuk bubur yang dibawakan oleh perawat. Makanan lembek itu membuatnya sedikit mual. "Ya ampun, apa tidak ada makanan yang lebih baik dari ini," keluhnya. Seandainya ada Cakra, pasti pria itu akan membelikan makanan enak untuknya, seperti semalam. Namun, saat membuka mata tadi, keberadaan pria itu sudah tida ada lagi. Mungkin dia harus berangkat bekerja, pikirnya.
"Nona!" Seseorang masuk ke dalam ruang inap Ajeng yang pintunya terbuka.
"Bang Robi? Kau tahu dari mana aku ada di sini?"
"Tania yang memberitahu."
"Eh? Tania tahu dari mana?"
"Itu tidaklah penting. Bagaimana keadaanmu saat ini, Nona?"
"Seperti yang kau lihat. Aku baik, tapi...-" Ajeng menggantung ucapannya.
"Tapi kenapa, Nona?"
"Tapi aku mual karena makanan ini. Bisakah kau membelikan aku makanan lain?" pinta Ajeng.
"Bubur adalah makanan yang baik untuk orang sakit."
"Ck." Ajeng berdecak. Kata itu sudah jelas bermakna jika Robi tidak mau membelikannya makanan lain di luar sana.
"Ajeng!" Tak lama berselang, Tania datang tergopoh-gopoh. Ia menghampiri ranjang Ajeng.
"Ajeng maafkan aku, pasti karenaku lah kau seperti ini. Andai aku tidak meminta hal itu padamu pasti kau tidak akan-,"
"Husstt..." Ajeng menutup mulut Tania yang terus mencerocos dengan telapak tangannya.
"Jangan bicara lagi, aku pusing mendengarmu."
"Maaf."
"Mana Arka?"
"Dia...."
Saat semua orang memandang ke arah pintu masuk, sata itulah Bagas masuk sembari menggendong Arka.
"Kak Bagas!" pekik Ajeng tak percaya.
"Hi, Jeng!"
...Bersambung...
...Jangan lupa Vote & Comment ya, Readers.....
...🙏🏻😊...
...Terima kasih...