WARNING❗
CERITA INI BUAT YANG MAU-MAU SAJA.
TIDAK WAJIB BACA JUGA BILA TAK SUKA.
⚠️⚠️⚠️
Setelah hampir satu tahun menjalani pernikahan, Leon baru tahu jika selama ini sang istri tak pernah menginginkan hadirnya anak diantara mereka.
Pilihan Agnes untuk childfree membuat hubungannya dengan sang suami semakin renggang dari hari ke hari.
Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Debby, sahabat Leon yang sekian lama menaruh rasa yang tak biasa pada Leon.
Badai perpisahan pun tak bisa mereka hindari.
Tapi, bagaimana jika beberapa tahun kemudian, semesta membuat mereka kembali berada di bawah langit yang sama?
Bagaimana reaksi Leon ketika tahu bahwa setelah berpisah dari istrinya, Leon tak hanya bergelar duda, tapi juga seorang ayah?
Sementara keadaan tak lagi sama seperti dulu.
"Tega kamu menyembunyikan keberadaan anakku, Nes." -Leonardo Alexander-
"Aku tak pernah bermaksud menyembunyikannya, tapi ... " -Leony Agnes-
"Mom, where's my dad?" -Alvaro Xzander-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Bulan
#20. Dua Bulan Sejak Saat Ini
“Thanks,” ucap Agnes, suaranya nyaris terdengar seperti bisikan.
“Boleh aku menginap?” cetus Leon tanpa terduga.
Agnes menatap Leon dengan tajam, kemudian memiringkan jari telunjuknya di kening.
Leon tercengang, “Begitukah caramu berterima kasih padaku?” balas Leon, dengan suara yang masih berbisik.
Agnes memberi isyarat pada Leon, agar pria itu mengikutinya keluar. “Leon mau pulang, Ma.”
“Aku belum bilang apa-apa, Loh,” elak Leon, tak mau di jadikan tersangka.
Agnes meraih tasnya, “Lalu kamu mau apa lagi disini? Mama sudah mengantuk, aku harus lembur di toko, Al juga sudah tidur.”
Leon garuk-garuk kepala, ia melirik jam tangannya, rupanya sudah hampir pukul 10.30 malam. “Maaf, Ma, eh, Tante, aku jadi lupa waktu.”
Mama Wina tersenyum bijak, “Tidak apa-apa, sering-seringlah main kemari, Al pasti senang.”
“Akan aku usahakan, Ma, eh, Tant—”
“Panggil dengan sebutan paling nyaman aja, tak perlu sungkan pada Mama.”
Leon mengangguk kikuk kemudian pamit undur diri. “Salam buat orang tua kamu, ya?”
“Iya, Ma.”
Akhirnya Leon memanggil Mama Wina dengan sebutan paling nyaman menurutnya.
“Kamu mau kemana malam-malam begini?” selidik Leon curiga.
“Aku? Mau kerja, lah. Jangan pura-pura amnesia.”
“Kenapa kamu kerjakan malam? Harusnya malam hari kau gunakan waktumu untuk istirahat, bukannya malah kerja lembur!” cerocos Leon.
Agnes mengunci pintu rumahnya, “Itu untuk orang normal, tapi single fighter sepertiku harus bekerja hampir 24 jam jika ingin taft menghadapi kerasnya hidup di kota,” jawab Agnes sesuai realita perkembangan zaman.
“Mulai detik ini aku yang akan membiayai Al, kamu tak perlu merisaukan biaya hidupnya.”
Agnes tersenyum simpul, “Baik, terima kasih karena telah mau mengambil alih tanggung jawab itu dari pundakku. Tapi, tentu saja kamu gak bisa semena-mena mengatur hidupku.”
“Kenapa tidak bisa?”
“Karena kamu dan aku, bukan siapa-siapa lagi.”
Mereka kembali saling pandang dalam diam, berat sekali bagi Leon membiarkan Agnes bekerja sekeras itu hanya demi menunjang kehidupan keluarga yang berada di bawah naungannya.
“Kembalilah padaku.”
Ingin rasanya Leon meneriakkan kalimat tersebut, sayangnya hanya tertahan di kerongkongannya, belum siap jika Agnes menolak. Tapi membayangkan pria bernama Rama menggantikan posisinya, itu lebih menyakitkan ketimbang sabetan sebilah pedang.
Akhirnya Leon hanya mengangkat kedua pundaknya, dirinya belum bisa melakukan banyak hal demi wanita yang pernah mengisi sebagian jantung, hati, dan hidupnya. “Ayo, aku antar.”
•••
Hampir tengah malam Leon baru tiba kembali di rumah. Ternyata kedua orang tuanya masih berada di ruang tengah.
“Kok baru pulang?” tanya Bunda Emira.
“Iya, Bund. Ada sedikit urusan,” jawab Leon tenang, ia meletakkan tas kerjanya di sofa, kemudian menghampiri meja makan untuk mengambil segelas air putih.
“Kamu dari mana?” tanya Ayah Juna kala Leon mendudukkan dirinya di salah satu sofa.
Leon meletakkan gelasnya, kemudian menyandarkan punggungnya yang lelah di sofa. Bingung hendak mulai bercerita dari mana, tapi orang tuanya juga berhak tahu tentang keberadaan Al.
Bunda Emira tiba-tiba teringat sesuatu, “Ah, iya, Bunda sampai lupa. Beberapa hari lalu, Bunda bertemu mantan istrimu di rumah sakit.”
Reaksi Leon sungguh diluar dugaan Bunda Emira, karena seharian ini pun nyaris ia habiskan bersama sang mantan istri.
“Kok, kamu biasa saja, sih?” gerutu bunda Emira heran.
Leon menghela nafas sejenak sebelum menjawab pertanyaan sang bunda. “Kenapa, kamu terlihat gelisah?” Ayah Juna ikut buka suara.
“Bukan hanya gelisah Yah, Bund, tapi sekarang aku juga tak tahu harus bagaimana.” Leon meraup wajah dengan kedua telapak tangannya.
“Apa yang membuatmu bingung dan tak tahu harus berbuat apa?”
“Ternyata, setelah kami berpisah, Agnes hamil dan kini anak kami sudah berusia 4 tahun.”
“Apa?!”
Ayah Juna dan Bunda Emira kompak bertanya, saking terkejut dengan informasi yang baru saja Leon lontarkan. Berita yang terlalu tiba-tiba itu, membuat mereka bingung harus bereaksi seperti apa.
“Aku juga baru mengetahuinya hari ini, Bund. Bahkan kami belum berani jujur, karena sepertinya Al sudah kecewa padaku yang tak pernah hadir mewarnai hidupnya.”
Tanpa sadar, Bunda Emira meremas tangan Ayah Juna. Tersenyum, tapi juga ikut merasa sedih bercampur gugup luar biasa, karena baru mengetahui keberadaan cucunya.
“Laki-laki atau perempuan?” tanya Bunda Emira tak sabar.
“Laki-laki, Bund. Dia satu sekolah dengan Mayra. Namanya Alvaro, Biasa dipanggil Al.”
“Alvaro,” ucap Bunda Emira dengan perasaan berdebar, dan wajah menampakkan semburat bahagia.
Leon menyodorkan foto Al, tadi ia sempatkan diri berswafoto bersama putranya, ketika menemani Al bermain.
Kedua tangan Bunda Emira gemetar, air mata bahagia luruh ketika melihat wajah mungil Al tersenyum lebar di layar ponsel Leon.
“Tampan sekali dia,” gumam Bunda Emira, jari telunjuknya mengusap gambar wajah Al. “Mas, dia mirip sekali denganmu,” gumam Bunda Emira pada sang suami.
“Ayah seperti melihatmu ketika masih seusia ini. Apa yang akan kalian lakukan setelah ini?”
“Kami masih mencari waktu yang pas, untuk mengatakan tentang siapa diriku.”
Bunda Emira menghapus air mata bahagianya, “Segeralah cari waktu yang pas, Bunda sudah tak sabar ingin memeluknya.”
•••
Aroma coklat bersatu padu dengan butter dan gula, memenuhi dapur produksi Macaroon Cake n’ Pastry. Tanpa jeda sedetik pun, produksi 400 brownies cup terus berjalan, hingga dini hari.
Tim yang akan mengirim pesanan ke lokasi, sudah tidur sejak 1 jam yang lalu. Dan menjelang subuh, Agnes baru bisa memejamkan mata, ia dan 4 orang asisten dapur yang membantunya, terpaksa tidur bergantian agar tidak tumbang bersama-sama.
Hari ini toko akan buka lebih siang dari biasanya, karena stok yang akan mereka jual pun terbatas.
Agnes terbangun ketika mendengar ponselnya berdering, ketika melongok ponsel, waktu sudah menunjukkan pukul 5.30 pagi. Walau kedua matanya masih lengket, Agnes harus bangun, karena sebentar lagi bagian delivery akan mengantarkan pesanan.
“Iya, Mas?”
“Suaramu terdengar lelah?”
“Hmm, aku baru tidur menjelang subuh, baru selesai mengerjakan pesanan customer. 400 pieces brownies cup.”
Kedua mata Agnes tetap terpejam, sambil bicara. Tak apa, Rama pasti mengerti.
“Kalau terlalu banyak seharusnya tak kamu terima, sekarang kamu sendiri yang kelelahan.”
Agnes tersenyum tipis, “Tokoku, kan, baru buka, Mas. Jadi pelanggan seperti ini tak boleh disia-siakan, biar produk kami semakin dikenal baik di kalangan masyarakat.”
Rama mendesah pelan, susah juga jika sudah begini. “Tapi berjanjilah, kamu akan jaga kesehatan, ingat Al yang membutuhkan kehadiranmu. Dan aku juga, tak ingin kamu sakit sementara orang tuaku sudah menemukan hari dan tanggal yang pas untuk pernikahan kita.”
Kedua mata Agnes seketika terbuka lebar, “Oh, iya?”
“Iya, beberapa hari terakhir ini, ibu dan bude-budeku yang ada di solo berdiskusi mencari hari baik. Dan akhirnya ketemu juga, sekarang aku sedang mencari gedung yang akan dipakai untuk lokasi acara.”
Agnes menelan ludahnya, “Kapan rencananya, Mas?”
“Dua bulan sejak saat ini.”
###
Jreng!
Jreng!
Siapa bergerak cepat, dia yang dapat. 👻
Rival semakin di depan. 😋🤓
ikutan perih ei.....
Apa Leon baru tersadar jika Agnes duduk di pelaminan sama Rama
kasihan kali kau leon, gak tahu apa-apa tapi seolah semua kesalahan tertimpa padamu... kamu yg ditinggalkan, ditolak, dan harus menanggung rasa sakit sendirian... huhuhu, sakit sakit sakitnya tuh di sini... kezaaaammm kezaaaammm, othor tega bikin ibu menangisss😭