Olivia Xera Hilson, gadis cantik dan berwibawa yang tumbuh dalam bayang-bayang kekuasaan, terpaksa menerima tawaran pernikahan dari Vincent Lucashe Verhaag seorang pria karismatik sekaligus pewaris tunggal keluarga bisnis paling berpengaruh di Amerika.
Namun di balik cincin dan janji suci itu, tersembunyi dua rahasia kelam yang sama-sama mereka lindungi.
Olivia bukan wanita biasa ia menyimpan identitas berbahaya yang dia simpan sendiri, sementara Vincent pun menutupi sisi gelap nya yang sangat berpengaruh di dunia bawah.
Ketika cinta dan tipu daya mulai saling bertabrakan, keduanya harus memutuskan. apakah pernikahan ini akan menjadi awal kebahagiaan, atau perang paling mematikan yang pernah mereka hadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Handayani Sr., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Hari pun berlalu. Vincent dan Olivia kini berada di rumah sakit setelah mendapat kabar bahwa kakek sudah sadar.
“Kakek, Olivia dan Vincent datang,” ucap Olivia sambil mendekat.
Pria tua itu membuka mata dan tersenyum bahagia melihat mereka.
“Apa yang kakek rasakan? Apa kakek butuh sesuatu?” tanya Olivia dengan penuh ketulusan.
Vincent menatap istrinya sekilas—lagi-lagi ia menyadari, wanita ini memiliki hati yang benar-benar tulus.
“Tidak, Nak… Kakek bersyukur kalian di sini. Kakek hanya berharap kalian bisa akur dan bahagia,” ucap kakek pelan.
Tanpa ragu, Olivia menggenggam lengan Vincent. “Kami bahagia, Kek. Kami… kami juga sudah saling mencintai.”
Itu bohong, tapi ia melakukannya demi ketenangan pria tua itu.
“Benarkah?” tanya kakek, matanya berbinar.
“Benar, Kek,” jawab Vincent sambil menggenggam tangan Olivia dengan lembut. “Dan kami akan mengenalkan anak angkat kami pada kakek.”
“Anak angkat?” Kakek terkejut namun bahagia.
“Iya, Kek. Valerie. Cantik sekali. Kakek pasti suka,” lanjut Olivia tersenyum.
Kakek tertawa kecil. “Kakek tidak sabar bertemu dengannya.”
Vincent dan Olivia ikut tersenyum lega. Melihat kakek membaik memberi rasa damai pada mereka.
* * * *
Setelah cukup lama, keduanya kembali ke mansion. Di perjalanan, mereka hanya terdiam, larut dalam pikiran masing-masing.
“Apa tadi kamu membohongi kakek?” tanya Vincent tiba-tiba.
Olivia tersadar dari lamunannya. “Tentu saja. Aku hanya ingin kakek tenang agar pemulihannya cepat.”
Vincent terdiam sejenak. “Apa kamu tidak memikirkan itu… atau tidak ingin memulai?”
Olivia menatapnya bingung. “Maksudmu?”
“Apa kamu tidak ingin menjadi keluarga utuh untuk Valerie? Menjadi orang tua yang sesungguhnya?”
Deg..
Jantung Olivia serasa berhenti.
“Tentu saja ingin… tapi tidak semudah itu,” jawabnya gugup.
Vincent mengangguk, lalu menatap lurus ke depan. “Baik. Kita bisa mulai pelan-pelan.”
Diam kembali menyelimuti mobil. Namun keduanya tahu ada sesuatu yang berubah hari itu.
Vincent mulai menyadari Olivia bukan hanya istri pilihan kakek, tapi wanita yang tulus, kuat, keibuan, dan… membuatnya tenang.
* * * *
Setibanya di mansion, mereka mengecek Valerie lebih dulu.
“Valerie tidur, Sus?” bisik Olivia.
“Tidak, Nyonya. Nona Valerie baru saja bangun,” jawab Sus Eve.
“Oh, sayang… apa Valerie tahu Mama dan Papa pulang?” Olivia menggendong bayi itu, mencium pipi mungilnya.
Vincent memperhatikan mereka lama. Ekspresinya datar, tapi ada sesuatu yang lembut di balik mata itu.
“Sepertinya dia ingin bermain dulu,” ucap Olivia.
Vincent mengangguk. Mereka pun bermain dengan Valerie sampai larut malam. Olivia akhirnya ketiduran sambil menidurkan bayi mungil itu.
Vincent menggendong Valerie, memberinya susu, lalu menidurkannya. Sus Eve ia suruh beristirahat.
Ia menatap Olivia yang tertidur. Cantik, pikirnya. Bahkan saat tertidur.
Vincent meletakkan Valerie di samping Olivia, lalu mengecup kening bayi itu dan kening Olivia.
“Selamat tidur,” bisiknya.
Ia pun berbaring di samping keduanya, dan untuk pertama kalinya… mereka tidur seperti keluarga sesungguhnya.
* * * *
Keesokan paginya… kabar duka mengguncang mereka.
Ponsel Vincent berdering.
“Katakan,” ucap Vincent dingin.
“Maaf, Tuan… maaf… t-tuan besar…” suara Natan bergetar.
“Ada apa? Bicara yang jelas!” bentak Vincent.
“Tuan besar… tuan besar sudah tidak bernapas…”
“Apa?!” Vincent berdiri mendadak, rahangnya mengeras.
Olivia tersentak mendengar suara Vincent.
“Jangan main-main!” teriak Vincent. “Apa maksudmu?!”
“Maaf, Tuan… anda harus segera ke rumah sakit…”
Vincent mengambil jasnya tanpa pikir panjang.
“Ada apa?” tanya Olivia lembut.
“Ke rumah sakit,” jawab Vincent singkat sambil menggenggam tangan Olivia.
* * * *
15 menit kemudian mereka sampai.
Ruangan kakek sunyi. Kakek terbaring dengan kain putih menutupi tubuhnya.
Olivia terpaku. “Tunggu… kenapa kakek ditutup seperti ini? Kenapa?!”
Ia berlari mendekat, membuka kain itu.
“Kakek…” suara Olivia pecah. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Tidak mungkin… semalam kakek baik-baik saja…”
Vincent hanya berdiri kaku matanya merah, rahangnya keras, tubuhnya menegang seperti hendak meledak.
Ia keluar ruangan, mencari Natan.
Saat bertemu, tinjunya langsung mendarat di wajah Natan.
BUK!
“Maaf, Tuan… maaf…” Natan terhuyung.
“Kau tidak becus menjaga kakekku!” Vincent mengamuk. Tinjunya melayang lagi.
BUK!
Olivia berlari keluar. “Vincent! Cukup!” Ia memeluk tubuh Vincent dari belakang.
Dada Vincent naik turun cepat, matanya merah darah.
“Tenang… kita sama-sama kehilangan. Natan sudah berusaha…” ucap Olivia sambil mengusap bahunya.
Vincent akhirnya mereda dan memeluk Olivia erat. Ia ingin menangis… tapi tidak bisa.
* * * *
Dokter menjelaskan penyebabnya.
“Maaf, Tuan dan Nyonya. Tuan besar mengalami kejang akibat pembuluh darah yang pecah. Luka tembak itu menyebabkan infeksi yang menyebar dengan cepat. Kondisi jantungnya memperburuk semuanya.”
“Tidak mungkin…” Olivia menggeleng. “Semalam kakek baik…”
Dokter menghela napas. “Itulah bahayanya infeksi mendadak.”
Vincent keluar tanpa sepatah kata pun.
Olivia menyusulnya.
“Vincent, tunggu.” Ia memegang tangan suaminya. Mereka berdiri di lorong rumah sakit.
“Apa pun yang kamu lakukan nanti… jangan gegabah,” ucap Olivia pelan.
Vincent menatap lantai. “Aku cucu yang gagal… aku tidak bisa menjaga kakek.”
Olivia menggenggam tangannya lebih erat. “Kamu cucu yang hebat. Kakek bangga padamu.”
“Kakek… satu-satunya keluargaku.”
“Kamu salah, Vincent.” Olivia menatapnya lembut. “Aku dan Valerie adalah keluarga kamu sekarang.”
Vincent memeluk Olivia erat. Suara rendahnya pecah.
“Terima kasih… sudah ada di hidupku.”
“Kita harus kuat. Demi kakek… dan Valerie,” bisik Olivia.
* * * *
Saat mereka kembali ke ruangan, Louis, Max, Dominic, dan Natan (wajah lebam) sudah menunggu.
“Kami turut berduka, Tuan, Nyonya,” ucap mereka.
“Terima kasih,” jawab Olivia lirih.
Vincent hanya diam. Matanya tajam… dan gelap.