NovelToon NovelToon
Sebelum Segalanya Berubah

Sebelum Segalanya Berubah

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Dunia Masa Depan / Fantasi / TimeTravel
Popularitas:771
Nilai: 5
Nama Author: SunFlower

Rania menjalani kehidupan yang monoton. Penghianatan keluarga, kekasih dan sahabatnya. Hingga suatu malam, ia bertemu seorang pria misterius yang menawarkan sesuatu yang menurutnya sangat tidak masuk akal. "Kesempatan untuk melihat masa depan."

Dalam perjalanan menembus waktu itu, Rania menjalani kehidupan yang selalu ia dambakan. Dirinya di masa depan adalah seorang wanita yang sukses, memiliki jabatan dan kekayaan, tapi hidupnya kesepian. Ia berhasil, tapi kehilangan semua yang pernah ia cintai. Di sana ia mulai memahami harga dari setiap pilihan yang dulu ia buat.

Namun ketika waktunya hampir habis, pria itu memberinya dua pilihan: tetap tinggal di masa depan dan melupakan semuanya, atau kembali ke masa lalu untuk memperbaiki apa yang telah ia hancurkan, meski itu berarti mengubah takdir orang-orang yang ia cintai.

Manakah yang akan di pilih oleh Rania?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#25

Happy Reading...

.

.

.

Genap satu minggu sudah Arkana pergi ke Dubai meninggalkan Rania. Seminggu yang terasa jauh lebih panjang dari seharusnya bagi Rania. Ia tidak tahu mengapa setiap malam rasanya sunyi dari biasanya, seolah kepergian Arkana membuat sebagian dari dirinya menghilang.

Seharusnya hari ini lelaki itu sudah kembali ke apartemen mereka. Rania tahu jadwalnya, karena Arkana sudah memberitahunya sejak sebelum keberangkatannya ke Dubai. Namun sampai langit sore berubah menjadi malam, bahkan hampir menyentuh tengah malam, Arkana tidak juga menampakkan batang hidungnya.

Tidak ada pesan sama sekali..

Tidak ada telepon..

Tidak ada kabar apa pun..

Lagi-lagi Rania hanya bisa menghela napas. Ia membuang pandangan ke arah jendela yang gelap, seperti ingin mencari sesuatu tapi tidak ada apa-apa di sana.

Harga dirinya terlalu tinggi untuk mengirimkan pesan terlebih dahulu. Ia bahkan hanya membuka- buka kontak Arkana sampai puluhan kali, hanya untuk menatap nama yang ia simpan sebagai Kana❤️. Dan setiap kali melihatnya, wajahnya langsung memanas karena teringat bagaimana dulu ia menulis nama itu dan bagaimana isi pesan-pesan mereka sebelumnya.

Pesan-pesan yang... panas. Pesan-pesan yang bahkan ia sendiri tidak yakin bahwa dirinya yang mengetikkan itu. Pesan-pesan yang membuatnya ingin menutupi wajah dengan bantal karena saking merasa malunya.

“Tidak mungkin aku yang menulis semua itu.” Gumamnya lagi sambil memukul pipinya berulang kali. Bahkan sekarang ia merasa malu hanya membayangkan bertemu dengan Arkana..

Akhirnya, karena lelah menunggu dalam diam, Rania memutuskan untuk tidur saja. Ia menarik selimut lalu memejamkan kedua matanya sambil mencoba mengatur napas.

Namun baru beberapa detik matanya tertutup, suara pintu apartemen yang terbuka terdengar jelas.

Bukk.. klik.

Rania langsung membuka kedua matanya. Ia bangkit dari tempat tidur, jantungnya berdebar aneh. Tanpa pikir panjang, ia bergegas keluar dari kamar sambil setengah berlari.

Sementara itu, Arkana yang baru masuk menghentikan langkahnya ketika mendengar suara gaduh dari dalam kamar. Wajahnya langsung berubah tegang.

“Apa itu?” gumamnya pelan, lalu ia mempercepat langkah kakinya menuju kamar.

Saat pintu kamar terbuka, matanya langsung membulat melihat pemandangan di depannya.

Rania jatuh tersungkur di lantai, kedua tangannya menahan tubuhnya yang hampir mencium lantai. Rambutnya berantakan dengan wajahnya yang memerah. Entah karena malu, gugup atau karena terburu-buru.

“Kamu sedang apa?” tanya Arkana dengan nada herannya.

Wajah Rania memerah seketika, lebih parah dari sebelumnya. Ia ingin menjawab, tapi justru bingung sendiri.

“A-aku...” suaranya tercekat.

Arkana menghela napas pendek, lalu berjalan mendekatinya sambil mengulurkan kedua tangan.

“Ayo, aku bantu berdiri.”

Rania menyambut uluran tangan itu dengan ragu-ragu, dan dengan wajah tertunduk. Namun begitu ia mencoba menggerakkan kaki, rasa sakit langsung menjalar dari pergelangan kakinya.

“Akhh..” ia meringis cukup keras.

Arkana langsung memegang bahunya, dan tanpa bertanya lagi, ia membungkuk lalu mengangkat tubuh Rania ke dalam gendongannya dengan mudah.

“Eh... Bapak! T-tunggu...”

Arkana menatapnya dengan wajah datar.

Dengan langkah pasti, ia membawa Rania menuju tempat tidur dan mendudukkannya di sisi kasur. Ia kemudian berjongkok di lantai, memeriksa pergelangan kaki Rania yang tampak sedikit memerah.

“Kenapa bisa sampai jatuh sih?” tanya Arkana sambil menyentuh pelan area yang memar.

Rania menunduk dalam-dalam. “Aku hanya.. Aku tersandung kakiku sendiri...”

Arkana menatapnya sekilas, kemudian kembali fokus pada kakinya. “Aku pikir kamu sudah tidur.”

“Aku.. tidak bisa tidur.” jawab Rania lirih.

Arkana mengangkat wajahnya untuk menatap Rania, alisnya terangkat pelan. “Kenapa?”

Rania terdiam. Ia berusaha menjaga wajahnya tetap datar, namun telinganya memerah.

Arkana memperhatikan reaksi itu, lalu menyeringai tipis. “Jangan bilang kamu menungguku.” Tebaknya.

Rania hampir melompat jika saja kakinya tidak sakit. “A-aku.. Tidak... Bukan..” Ia gagap, wajahnya memerah sampai ke leher.

Arkana hanya menatapnya. Tidak ada tawa.. tapi tatapan itu membuat jantung Rania semakin kacau.

“Rania...” panggilnya pelan. “Kamu kenapa lagi?”

Rania mengerutkan kening. “Maksud bapak?”

Arkana menatapnya lama.

“Seingatku, kamu dulu orangnya cuek. Tidak peduli. Tidak manja. Tidak pemalu. Tidak banyak berbicara....”

Rania berkedip, hatinya menegang.

“Tapi kemarin kamu begitu cerewet. Kamu tidak suka disentuh. Kamu selalu menghindar kalau aku mendekat.” Ia berhenti sejenak, menatap Rania lebih dalam. "Tapi sekarang kamu seperti ini.”

Rania kembali menunduk. Ia sendiri tidak mengerti mengapa semuanya berubah.

Arkana menghela napas panjang, namun suaranya terdengar lembut. “Jujur saja.. aku bingung. Kamu membuatku bingung.”

Kamar itu kembali hening. Rania menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus membalas apa. Arkana kemudian berdiri perlahan, menepuk kepala Rania dengan lembut. “Kamu baik-baik saja, kan?”

Ucapan itu.. sesederhana apa pun justru membuat dada Rania terasa menghangat untuk pertama kalinya malam itu.

Ia mengangguk pelan. “Ya… aku baik-baik saja.”

Padahal hatinya sedang kacau.

Dan Arkana, meski tidak mengatakannya, ada sedikit kelegaan disana.

Setelah selesai mengompres kaki Rania dengan air hangat, Arkana berdiri pelan kemudian menepuk lembut selimut di sisi tempat tidur.

“Kamu istirahat saja dulu. Kakimu pasti masih sakit,” ucap Arkana dengan nada datar namun tetap mengandung perhatian.

Rania hanya mengangguk kecil. Ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran tempat tidur, berusaha tampak tenang meski hatinya belum juga reda dari rasa malu dan kesal yang bercampur jadi satu. Sementara itu Arkana berdiri dari posisinya lalu berjalan menuju lemari pakaian. Ia membuka pintu lemari dan mulai mengeluarkan beberapa setel pakaian kerja yang biasanya ia pakai. Rania memperhatikan gerakan itu dengan dahi berkerut.

Arkana mengambil satu koper hitam yang biasanya ia pakai untuk perjalanan bisnis. Setelah membukanya di atas karpet, ia memasukkan pakaian yang tadi ia keluarkan. Lalu tanpa banyak bicara, ia kembali membuka laci lain dan mengeluarkan beberapa pakaian baru. Semua itu dimasukkan ke koper dengan rapi.

Rania yang melihatnya ikut bangkit perlahan, meski kakinya sedikit nyeri. Ia menatap Arkana yang tampak begitu sibuk hingga tidak memperhatikan bahwa ia sedang diperhatikan.

“Bapak… mau ke mana?” tanya Rania akhirnya, suaranya terdengar pelan namun jelas menunjukkan kebingungan.

Arkana tidak segera menjawab. Ia hanya merapikan pakaian terakhir sebelum berdiri dan menutup koper itu setengahnya. Baru kemudian ia menoleh.

“Bali.” jawabnya singkat.

Rania mengerutkan keningnya. “Kenapa? Ada yang harus Bapak urusi lagi di sana?” Nada penasaran dan sedikit cemas terdengar jelas dalam suaranya.

“Setiap akhir bulan, selama satu minggu, aku harus pulang ke sana. Apa kamu juga melupakan itu?”

Rania terdiam. Informasi itu tidak ada dalam memorinya sekarang. Ia hanya bisa menatap Arkana tanpa tahu harus bereaksi seperti apa.

“Satu minggu?” ulang Rania dengan suara yang sedikit meninggi. “Jadi.. Bapak akan meninggalkan aku satu minggu lagi?”

Kekecewaan itu terlihat jelas. Bahkan tanpa perlu ia tutupi, dan tentu saja Arkana bisa melihatnya.

Arkana memilih untuk tidak menjawab. Ia hanya melanjutkan kegiatannya, menutup koper dengan kuat lalu menarik resletingnya dari ujung ke ujung. Diam. Tanpa ingin memberikan penjelasan lagi.

Melihat sikap Arkana yang seperti itu, dada Rania terasa panas. Ada rasa kesal yang tiba-tiba muncul begitu saja. Mendadak ia merasa seperti seseorang yang tidak dianggap.

Dengan kesal, ia membanting tubuhnya ke atas kasur. Gerakan itu membuat selimut bergeser, tapi Rania segera menariknya hingga menutupi seluruh tubuhnya, bahkan sampai ke atas kepala. Ia tidak peduli dengan rasa nyeri di pergelangan kakinya. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana Arkana bisa begitu tenang, seolah pergi seminggu adalah hal kecil.

“Aku tinggal beberapa hari saja.” ucap Arkana akhirnya dengan suara yang lebih lembut, meski Rania tidak bisa melihat wajahnya karena selimut yang menutupi pandangannya.

Namun Rania tidak menjawab. Ia hanya memejamkan mata, ia tahu Arkana masih berdiri di sisi kasur. Napasnya terdengar sedikit berat karena menahan kesal.

Arkana menarik napas panjang. “Rania, ini memang jadwal rutinku. Aku tidak bisa membatalkannya begitu saja,” ujarnya pelan.

Tetap tidak ada respon dari Rania.

Arkana menunggu beberapa detik. Saat ia menyadari Rania tidak berniat membuka percakapan lagi, ia akhirnya mematikan lampu ruangan, menyisakan lampu tidur kecil di meja samping.

Ia berjalan keluar kamar tanpa suara, tetapi detik sebelum pintu tertutup, ia menoleh sekilas. Meski Rania tidak melihatnya, Arkana menatap gundukan selimut itu dengan ekspresi rumit campuran bingung, lelah, dan entah apa lagi yang tidak bisa ia jelaskan.

Sementara itu, di balik selimut Rania menggigit bibirnya sendiri. Bukan karena marah tapi karena ada rasa kehilangan yang ia sendiri tidak mengerti asalnya. Ia hanya tahu, ia tidak suka ditinggalkan. Apalagi satu minggu penuh dan apalagi tanpa adanya sebuah penjelasan.

“Kenapa sih dia tidak bisa tinggal saja..?” gumam Rania lirih pada dirinya sendiri.

.

.

.

JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK...

1
Puji Hastuti
Seru
Puji Hastuti
Masih samar
Puji Hastuti
Semakin bingung tp menarik.
Erni Kusumawati
masih menyimak
Puji Hastuti
Menarik, lanjut kk 💪💪
Erni Kusumawati
duh.. semoga tdk ada lagi kesedihan utk Rania di masa depan
Puji Hastuti
Masih teka teki, tapi menarik.
Puji Hastuti
Apa yang akan terjadi selanjutnya ya, duh penasaran jadinya.
Puji Hastuti
Gitu amat ya hidup nya rania, miris
Erni Kusumawati
luka bathin anak itu seperti menggenggam bara panas menyakitkan tangan kita sendiri jika di lepas makan sekeliling kita yg akan terbakar.
Erni Kusumawati
pernah ngalamin apa yg Rania rasakan dan itu sangat menyakitkan, bertahun-tahun mengkristal dihati dan lama-lama menjadi batu yg membuat kehancuran untuk diri sendiri
Erni Kusumawati
mampir kk☺☺☺☺
chochoball: terima kasih kakak/Kiss//Kiss//Kiss/
total 1 replies
Puji Hastuti
Carilah tempat dimana kamu bisa di hargai rania
Puji Hastuti
Ayo rania, jangan mau di manfaatkan lagi
Puji Hastuti
Bagus rania, aq mendukungmu 👍👍
chochoball: Authornya ga di dukung nihhh.....
total 1 replies
Puji Hastuti
Memang susah jadi orang yang gak enakan, selalu di manfaatkan. Semangat rania
Puji Hastuti
Kasihan rania
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!