NovelToon NovelToon
RAHIM TERPILIH

RAHIM TERPILIH

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Dosen / Identitas Tersembunyi / Poligami / Romansa / Konflik etika
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.

"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.

Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.

Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.

Aditya.

Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

DI MALAM YANG HUJAN

Adit meminggirkan mobilnya tepat di depan sebuah apotek kecil di sudut jalan kota. Di luar, hujan mulai turun rintik-rintik menjatuhkan titik-titik air yang menari di kaca depan. Wiper yang bergerak pelan— menggeser sisa hujan yang mulai menebal, kini ikut mati bersama mesin mobil.

Ia menarik napas, membuka pintu, dan udara dingin segera menyergap tubuhnya. Suara rintik hujan menimpa jaketnya, menambah tergesa langkahnya saat ia masuk ke dalam.

"Selamat datang, mau beli apa?" Begitu seorang wanita menyapa kedatangannya.

Adit mengusap rambutnya yang sedikit basah, matanya menelusuri setiap baris produk dengan hati-hati. Jemarinya berhenti pada botol vitamin yang direkomendasikan dokter beberapa waktu lalu—yang dulu belum ia beli… karena Asha selalu bilang ia tak ingin terburu-buru karena trauma keguguran yang menimpanya dulu.

Namun, kini, situasinya berbeda. Kini, usaha kecil seperti ini terasa penting.

Seorang apoteker mulai meraih barang yang Adit minta. “Untuk program hamil ya, Pak?” tanyanya dengan senyum sopan, seolah sudah mengerti dari tatapan Adit. "Harganya seratus lima belas ribu rupiah."

Adit mengangguk cepat sambil merogoh dompet dari balik jas kantor yang masih ia kenakan sejak rapat sore tadi. "Ini, Mbak,” Ucapnya pelan, memberikan kartu ATM-nya kepada kasir. “Lewat debet.”

Wanita itu mengangguk sambil menerima kartu ATM Adit dengan senyum singkat. Ia memasukkan kartu ke mesin EDC sambil mengetik beberapa angka. Suara bip dari layar mesin pembayaran terdengar bersamaan dengan seorang apoteker lain menyambut kedatangan pembeli lain.

"Saya mau obat..." Lirih wanita itu sambil mengusap perutnya yang tipis. Namun, suaranya cukup jelas terdengar oleh Adit yang tak begitu jauh darinya. Sudut mata Adit sedikit meliriknya.

Wajah wanita itu sangat pucat, tubuhnya lemas seakan habis oleh seluruh tenaga yang pernah ia miliki. Bibirnya kehilangan warna, yang selalu membuatnya tampak hidup. Kelopak matanya terlihat berat, seperti setiap kedipan adalah perjuangan untuk tetap sadar.

"Penggu—"

“Silakan masukkan PIN-nya, Pak,” Ucap kasir mengejutkan Adit, ramah.

Mata Adit berpaling dan menunduk, jemari tangannya yang dingin sedikit bergetar saat menyentuh keypad. Satu per satu angka PIN dimasukkannya dengan hati-hati.

Klik.

Transaksi berhasil.

Apoteker tersebut mengembalikan kartu bersamaan dengan sekantung vitamin dan struk yang masih hangat dari mesin.

“Semoga cepat dapat momongan ya, Pak,” Ucapnya tulus, tanpa bermaksud menyinggung.

Adit tersenyum kaku namun hangat, menahan gejolak perasaan di dadanya. “Amin… terima kasih.” Jawabnya sambil memasukkan struk-nya itu ke dalam saku kecil celananya, kemudian merapikan jasnya. Sejenak ia menoleh ke samping, tepat dimana wanita tadi membeli sesuatu yang kini tak lagi ada ditempatnya.

Di balik kaca pintu, hujan tampak semakin lebat, namun lampu-lampu jalan menciptakan kilau yang indah pada tiap tetesnya. Adit menarik napas, lalu mendorong pintu apotek…

Begitu kakinya menjejak keluar, udara dingin langsung menerpa wajahnya. Rintik hujan yang jatuh kini berubah menjadi butiran tajam yang membasahi rambut dan pundaknya. Suara gemericik air yang membentur aspal berpadu dengan hembusan angin lembut, menambah dingin yang meresap hingga ke tulang.

Ia mempercepat langkah, menundukkan kepala agar tas kecil berisi vitamin di tangannya tak terlalu basah. Lampu mobilnya yang terparkir tak jauh terlihat sedikit buram tertutup hujan. Genangan air tipis mulai memenuhi permukaan parkiran, memantulkan jejak langkah Adit yang tergesa.

Adit lalu membuka pintu mobil. Bunyi klik pintu bersamaan dengan suara hujan yang menabrak atap kendaraan menimbulkan harmoni yang khas. Ia meletakkan kantong vitamin itu dengan hati-hati di kursi penumpang, menatapnya sekali lagi sebelum menyalakan mesin.

****

Mobil Adit melaju, membelah hujan malam, menembus ibu kota yang mulai lenggang. Jalanan yang biasanya padat kini lebih sepi—hanya beberapa kendaraan melintas, meninggalkan jejak air yang terpecah oleh roda mereka. Lampu-lampu kota memantul di permukaan aspal yang basah, menciptakan kilau panjang seperti garis-garis cahaya yang mengikuti perjalanan mobilnya.

Gedung-gedung tinggi berdiri diam di kejauhan, jendela-jendela mereka hanya menyisakan sedikit cahaya dari lantai-lantai yang masih dihuni para pekerja lembur. Rintik hujan menari di kaca depan, wiper bergerak ritmis menghalau pandangan yang sesekali buram.

Adit menyandarkan punggungnya, satu tangan tetap kokoh memegang setir, sementara pikiran melayang pada perempuan yang menunggunya di rumah. Ia membayangkan tatapan Asha yang selalu mencoba kuat… padahal hatinya ringkih setiap kali mendengar kabar yang tak sesuai harapan mereka.

Suara mesin yang halus dan denting hujan di atap mobil menjadi latar sunyi yang mengiringi kegelisahannya. Sesekali, ia melirik kantong kecil di kursi penumpang—memastikan benda itu masih ada di sana, seolah takut harapan itu bisa hilang begitu saja.

Perlahan, mobil Adit melambat. Bukan karena kemacetan—jalan justru lengang di bawah hujan yang terus mengguyur ibu kota. Tapi matanya terpaku pada sosok di atas fly over yang sedang ia lalui.

Seorang wanita berdiri di sisi pembatas jembatan. Tubuhnya menggigil, pakaian yang ia kenakan sudah basah kuyup menempel di kulitnya. Rambutnya yang panjang menutupi sebagian wajahnya, tergerai acak tertiup angin. Dari cara ia berdiri—ujung sepatu hampir tak lagi menginjak beton—jelas ia berada dalam bahaya besar.

Adit merasakan darahnya seperti berhenti mengalir. “Ya Tuhan…” Desisnya.

Tanpa berpikir dua kali, ia menepi dan memarkir mobil dengan tergesa. Hujan segera menyambutnya begitu pintu terbuka, tetapi ia tak peduli. Langkahnya cepat—berusaha mencapai wanita itu sebelum terlambat.

Wanita itu menghadap ke jurang jalan raya yang gelap di bawahnya. Bahunya bergetar hebat, entah karena dingin atau tangis yang tertahan.

“Mbak… tolong turun dulu. Itu bahaya.” Kata Adit sambil melangkah mendekat.

Tidak ada jawaban. Wanita itu hanya terisak.

“Mbak… saya nggak tahu apa yang Mbak lewati… tapi saya yakin, Mbak nggak sendirian. Ada seseorang yang pasti sayang sama Mbak dan lagi nunggu Mbak pulang.” Lanjut Adit.

Seketika wanita itu menoleh ketika mendengar suara Adit.

Mata Adit membesar—ia mengenal wajah itu. Wanita yang tadi berada di apotek, yang tampak lelah… dan sendirian.

Hujan menetes di wajah wanita itu, tapi tidak bisa menyamarkan kepedihan yang begitu jelas terpampang. Bibirnya bergetar, suaranya pecah ketika ia berucap, “Apa peduli kamu?! Bayi sialan ini… hidupnya nggak punya harapan!”

Nada putus asa itu menghantam dada Adit.

Wanita itu lalu memutar tubuhnya kembali menghadap ke arah jalan raya yang jauh di bawah sana. Keberanian yang salah arah, dorongan yang dibuat oleh rasa hancur—membuatnya semakin condong ke tepi.

“Mbak! Jangan!” Seru Adit panik sambil bergerak lebih mendekat .

Dalam sekedipan, wanita itu berusaha melepaskan diri…

Namun Adit lebih sigap. Ia langsung meraih lengannya kuat-kuat, menahan tubuh ringkih itu dari gerakan ceroboh yang mungkin tidak bisa ia tarik kembali.

Wanita itu berusaha melepaskan cengkeramannya, meronta dengan tenaga yang masih tersisa. “Lepasin! Biar aku pergi! Aku capek… aku sendirian… Aku gak mau menanggung rasa malu atas bayi ini!”

Adit tak berpikir panjang. Ia memeluknya dari belakang, kuat namun penuh hati-hati—seolah pelukannya adalah jangkar terakhir yang mengikat wanita itu pada hidup. “Saya… saya akan tanggung jawab atas bayi Mbak.” Jelasnya.

Malam yang basah oleh hujan menjadi saksi ketika Adit mengucapkan kata-kata yang tidak pernah ia rencanakan, namun lahir dari naluri untuk menyelamatkan.

Wanita itu terhenti. Tubuhnya yang tadinya menegang kini melemah mendadak—seperti kalimat itu memutus tali putus asa yang melilit pikirannya.

Adit mengulang, lebih pelan, lebih meyakinkan, lebih sadar dan waras oleh suaranya yang pecah menahan emosi,

“Saya tidak akan membiarkan bayi ini pergi. Bayi ini tidak bersalah. Saya akan bantu sebisanya… saya janji.”

Wanita itu menangis tersedu, seluruh kekuatan yang ia pertahankan untuk bertahan dalam keputusasaan runtuh begitu saja. Ia akhirnya bersandar pada Adit—bukan lagi bersiap melompat ke gelap, tetapi mencari sandaran agar tidak jatuh. Sementara, Adit memeluknya lebih erat, memastikan ia aman sepenuhnya. Untuk malam ini saja.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!