NovelToon NovelToon
Ketika Takdir Menemukan Langit

Ketika Takdir Menemukan Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / CEO / Office Romance
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.

Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.

Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.

Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.

Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11 – Tiga Cangkir, Tiga Cerita

Angin gunung berhembus pelan, membawa aroma kayu basah, tanah dingin, dan kopi hitam yang baru diseduh. Di teras sebuah cabin kayu—salah satu dari deretan cabin bawah di lereng bukit—tiga pria duduk santai di kursi rotan, diterangi cahaya lampu gantung berwarna kuning gading yang memantulkan bayangan lembut di dinding kayu.

Langit duduk paling ujung, hoodie hitamnya sedikit kusut di bagian dada. Tatapannya mengarah jauh ke bukit yang diselimuti kabut tipis, seolah mencari sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak bisa definisikan.

Di sebelahnya, Samudra menyalakan rokok dengan gerakan malas namun elegan, kepulan asapnya melayang pelan dan hilang ditelan dinginnya udara pegunungan. Angkasa, yang duduk paling dekat dengan pintu, menyesap kopi tanpa banyak bicara—sikapnya tetap tenang seperti biasa, seakan udara dingin pun enggan mendekatinya.

Malam itu bukan sunyi yang sepi; melainkan sunyi yang hidup. Ada suara jangkrik dari balik semak-semak, desiran angin yang menyapu atap kayu, dan bunyi krek krek halus dari tungku pemanas yang baru dinyalakan penjaga cabin.

Langit menarik napas pelan, pundaknya sedikit merosot. Bahkan ia sendiri tidak begitu paham kenapa berada di sini. Sejak siang, Sam sudah membombardirnya dengan ajakan staycation ke Puncak—ajakan yang biasanya selalu ia tolak tanpa pikir panjang. Tapi entah kenapa… kali ini ia mengiyakan. Tanpa alasan jelas. Tanpa perlawanan.

Dan lebih entah lagi, Angkasa—yang biasanya bisa menghilang ala ninja kalau diajak liburan—juga ikut terseret malam ini.

Langit kembali bersandar, jari-jarinya mengetuk lembut sandaran kursi. Wajahnya tampak tenang, tapi sorot matanya kosong—seperti seseorang yang sedang sibuk berdebat dengan pikirannya sendiri.

Malam pegunungan itu terasa damai, tapi diam-diam… ada sesuatu yang mengusik.

Dan Langit belum sadar kalau takdir yang ia kira “kebetulan” sedang pelan-pelan mendekat ke arahnya—lebih dekat dari yang ia perkirakan.

Samudra memecah keheningan duluan. “Gue masih gak paham, Lang,” katanya, sambil menghembuskan asap rokok perlahan, “Lo bisa nyelesain laporan setebal lima ratus halaman dalam dua hari, tapi sampe umur tiga dua masih gak bisa nyelesain urusan hati.”

Langit menoleh pelan, alisnya terangkat sedikit. “Itu kalimat pembuka yang buruk, Sam.”

Samudra tertawa pendek. “Kalo mau yang baik, gue kasih di caption Instagram gue, bukan di kehidupan nyata.”

Angkasa mendengus kecil, nada suaranya datar tapi hangat. “Biasa. Sam lagi krisis eksistensial. Lupa kalo dia sendiri juga jomblo akut.”

“Hey!” Samudra menunjuk Angkasa pakai rokoknya. “Gue bukan jomblo. Gue cuma... belum nemu orang yang cukup gila buat tahan sama kerjaan gue.”

Langit akhirnya tersenyum tipis, tapi masih tanpa menatap mereka. “Jadi definisi jomblo versi lo lebih keren aja, ya.”

Samudra meneguk kopinya sambil mengangkat alis. “Kalo lo sendiri kenapa, Lang? Jangan bilang masih sibuk sama Excel, sampai lupa buka hati.”

Langit menghela napas pendek, mencondongkan tubuh ke depan, sikunya bertumpu di lutut.

“Gue gak lupa. Gue cuma... gak nyari.” Nada suaranya dalam, tenang, tapi ada sesuatu yang samar di baliknya.

Angkasa memperhatikan sekilas, lalu meletakkan cangkir kopinya pelan di meja kayu. “Kalo bukan karena trauma, pasti karena idealisme,” ujarnya kalem. “Lo tipe yang nunggu ‘klik’ sempurna, kan?”

Langit diam sebentar. Ujung bibirnya menegang, seolah menahan sesuatu di dalam. “Mungkin. Atau mungkin gue cuma belum ketemu alasan yang cukup buat repot lagi.”

Samudra langsung menyeringai. “Alasan, atau orangnya?”

Langit tak langsung menjawab. Pandangannya kembali ke arah kabin di atas bukit. Lampu kuning kecil tampak berkelip di sana, samar di antara pepohonan pinus. Sejenak, ia merasa seperti melihat bayangan seseorang lewat di balik jendela, tapi mungkin cuma pantulan cahaya.

“Ada bedanya?” akhirnya ia berkata pelan.

Samudra menjentikkan abu rokok, suaranya ringan tapi matanya menatap tajam. “Ada. Orangnya bisa lo temuin. Alasan cuma lo bikin-bikin.”

Angkasa tersenyum kecil, menatap dua sahabatnya yang jelas-jelas gak bakal ngaku kalo sama-sama kosong di dalam.

“Lucu ya,” katanya lembut, “Tiga laki-laki sukses, tapi kalah sama kata ‘komitmen’.”

“Komitmen tuh kayak subscription plan, Ka,” celetuk Samudra santai, “lo pikir gratis, ternyata auto renew tiap bulan.”

Angkasa menggeleng kecil, senyumnya makin dalam. “Lo emang gak pernah gagal bikin kalimat konyol yang ada benarnya.”

Langit tertawa pelan kali ini, tapi lebih terdengar seperti hembusan napas yang lega. “Sial, gue kangen suasana kayak gini. Udah lama gak nongkrong tanpa bahas angka dan target.”

“Makanya,” balas Samudra, “kadang lo perlu lebih sering keluar dari dunia digital lo itu. Buka layar hati, bukan cuma layar laptop.”

Langit menatapnya sekilas dengan ekspresi datar. “Lu barusan ngomong kayak motivator Instagram reels yang gagal dapat endorse, Sam.”

Samudra ngakak keras. “Hahaha, bener juga! Tapi at least gue nyentuh titik reflektif lo walau setitik.”

Suara tawa mereka pecah, hangat, menembus kabut malam. Tapi di sela-sela itu, Langit sempat menatap lagi ke arah bukit atas—tempat lampu kuning kecil itu masih menyala tenang. Entah kenapa, perasaan aneh menggelitik dadanya, seperti sesuatu—atau seseorang—sedang berpikir tentang dirinya di saat yang sama.

Angkasa yang duduk di sampingnya menatap wajah Langit dengan mata penuh arti. “Lo mikirin apa, Lang?” tanyanya tenang.

Langit hanya menatap kosong ke arah gelap. “Cuma aneh aja,” ujarnya akhirnya, “kadang suara bisa lebih berkesan daripada nama.”

Samudra yang sudah setengah rebah di kursinya menimpali dengan nada menggoda, “Waduh... kayaknya bukan cuma kopi yang mulai hangat malam ini.”

Langit meliriknya datar, tapi kali ini bibirnya terangkat sedikit. “Diam, Sam.”

“Gue diem, tapi hati gue bersorak. Ini awal yang bagus.”

Angkasa tersenyum kecil sambil mengambil cangkirnya lagi, matanya menatap jauh ke langit malam. “Mungkin semesta lagi kerja lembur buat lo, Lang.”

Langit gak membalas. Ia hanya menghela napas pelan, menatap bintang samar di langit yang mulai tertutup kabut. Entah karena dingin, atau sesuatu yang lain, dadanya terasa hangat—aneh tapi familiar.

“Aneh banget, ya,” ujar Langit pelan, suaranya datar tapi ada nada heran di ujungnya. “Tiap kali kita naik ke tempat kayak gini, ujung-ujungnya yang kita bahas malah bukan alam, tapi perempuan sama komitmen.”

Samudera langsung tergelak, hampir menyemburkan minumannya. “Karena alam gak bisa ninggalin lo tanpa alasan, Lang.”

Angkasa menimpali sambil terkekeh, “Atau karena alam gak bisa ngilang pas lagi sayang-sayangnya.”

Langit menghela napas panjang, memutar mata malas. “Kalian berdua tuh kenapa sih hidupnya kayak sinetron putus-nyambung?”

“Karena lo gak pernah jatuh cinta aja, Lang,” kata Samudera sambil menyengir, menunjuk Langit dengan cangkirnya. “Percaya deh, kalau lo udah kena, semua teori logis lo bakal hancur total.”

Langit melirik santai, wajahnya datar tapi ujung bibirnya menahan senyum. “Teori gue gak segampang itu rubuh, Sa. Gue realistis.”

“Realistis apanya?” Angkasa mencondongkan badan, nada suaranya menggoda. “Lo aja kalo liat cewek cantik di kafe bisa langsung diem tiga detik kayak ngelihat pemandangan langka.”

Samudera ngakak keras kali ini, sampai mukanya memerah. “Bener tuh! Yang waktu di coffee shop, cewek barista itu, lo kira kita gak liat lo ngerapiin rambut dulu sebelum pesen kopi?”

“Gue cuma refleks!” sergah Langit cepat, tapi tawa dua temannya makin pecah. Ia akhirnya ikut tertawa, menunduk sambil menutup wajah. “Kalian bang-sat.”

Obrolan mereka mengalir tanpa arah — kadang absurd, kadang dalam. Tentang mantan yang tiba-tiba nikah, tentang cewek yang ngirim chat tapi hilang pas udah dibales, sampai teori ngawur Samudera soal “cewek susah ditebak karena mereka punya kalender emosi bulanan”.

Langit sempat meninju bahu Samudera ringan, tapi wajahnya ikut merah menahan tawa. “Lo tuh ngomongnya kayak peneliti gagal.”

“Gue realistis,” balas Samudera dengan gaya sok serius, meniru nada Langit tadi.

Tawa mereka menggema di antara suara serangga malam. Tapi setelah beberapa saat, suasana pelan-pelan mereda. Angin yang semula hangat berubah sedikit dingin, membuat ketiganya terdiam sejenak menatap langit luas di atas kepala.

Langit menyandarkan kepala ke dinding, pandangannya kosong. “Tapi serius deh, kadang gue mikir... perempuan tuh kuat banget, ya? Mereka bisa sakit, tapi tetep keliatan biasa aja. Bisa kecewa, tapi masih bisa bikin orang lain ketawa.”

Samudera menatapnya sebentar, lalu mengangguk kecil. “Iya. Dan entah kenapa, itu yang bikin mereka makin susah dilupain.”

Angkasa ikut menatap langit. “Atau mungkin karena mereka gak pernah benar-benar pergi. Mereka cuma diam di kepala lo, di sela-sela waktu yang gak bisa lo lupain.”

Hening sebentar. Langit tersenyum samar, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit ditebak. “Lo ngomong kayak pernah ngerasain.”

Angkasa hanya nyengir tipis, matanya tak lepas dari bintang. “Mungkin pernah.”

Dan setelah itu, tak ada yang bicara lagi. Mereka bertiga hanya duduk, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Samudra menyandarkan kepala ke sandaran kursi rotan, memperhatikan Langit dari ekor mata.

“Lo tuh aneh malam ini,” komentarnya sambil mengibas asap rokok. “Biasanya lo udah tidur jam segini atau sibuk ngerjain spreadsheet.”

Langit tidak menoleh. Ia hanya menggerakkan jarinya di bibir gelas kopi yang sudah tinggal separuh. “Gue cuma… butuh udara,” jawabnya singkat.

Angkasa mendengus pelan, senyumnya samar. “Udara doang nggak cukup buat ngilangin pikiran ruwet, Lang.”

“Pikiran ruwet apa?” Samudra langsung menyambar. Nadanya cepat, seperti wartawan infotainment. “Jangan bilang karena cewek misterius lo itu—”

Langit menatap Samudra datar. “Sam, satu kata lagi gue lempar lo ke bawah.”

Samudra mengangkat tangan pasrah tapi gelak tawanya pecah. “Lihat tuh, Sa. Orang kalau udah defensif gitu biasanya lagi jatuh cinta.”

“Defensif karena lo nyebelin,” sahut Langit, tapi sudut bibirnya terangkat sedikit.

Angkasa ikut menyesap kopi, mengangguk kecil. “Gue setuju. Dua-duanya bener.”

Angin pegunungan masih berembus pelan ketika suara ribut-ribut dari atas bukit mendadak memecah keheningan. Tiga pria di teras cabin—Langit, Samudra, dan Angkasa—kompak menoleh.

Suara pertama terdengar jelas dan penuh emosi, “LOOOONAA!! Sumpah ya, kalau lo nendangin KOPER gue lagi, gue banting nih kamera!!” Itu suara perempuan, jelas kesal tapi tetap terdengar gemas.

Tiga pria itu otomatis menoleh. Lalu menyusul teriakan lain, lebih ribut, lebih chaos.

“BIARIN! KOPER LO ISINYA KOSMETIK DOANG! BEBAN HIDUP GUE LEBIH BERAT!!!” Itu suara perempuan lainnya, volume maksimal, tanpa rasa malu.

Samudra langsung berhenti mengisap rokok. “……Gue nggak siap dengar beban hidup versi mereka.”

Angkasa menahan tawa, bahunya naik-turun. “Ini baru lima detik. Energinya… liar.”

Langit nyaris tidak bereaksi, tapi matanya menatap ke atas bukit—kabut tipis membuat semua samar, hanya suara yang jelas sampai ke telinganya.

Suara perempuan lain menyusul, lebih tenang tapi tetap punya power, “Lonaaa, sumpah ya, kalo lo nggak diem lima detik gue ikat pake selimut.”

Langit memicingkan mata lagi ke arah bukit—kabut membuat semuanya samar, tapi suaranya nyaring banget.

Dan tiba-tiba— “REMBULAN BERSINAR LAGIIII— MENDUNG PUN TIADA LAGI— HATI YANG SEAKAN MATIII— KINI GAIRAH KEMBALIII— REMBULAN BERSINAR LAGIIII!!~~” Suara perempuan yang ternayta Lona, teriak nyanyi dangdut seolah cabin atas itu panggung televisi.

Samudra langsung berhenti menghisap rokok. Angkasa spontan menunduk sambil memijit hidung, tapi jelas menahan tawa. Langit mengerjap… lalu sebuah tawa sangat kecil lolos dari tenggorokannya.

Samudra sampai memegang dada. “Ya Tuhan… siapa pun dia, gue cinta dia.”

Angkasa memalingkan wajah sambil menutup mulut, tapi jelas menahan tawa pecah. Langit? Dia terdiam dua detik… lalu sebuah tawa kecil lolos.

“Siapa pun mereka,” ujar Samudra, “gue mau bilang… itu energi yang langka.”

Angkasa mengangguk pelan. “Jarang ada nyanyi dangdut nyampe sejelas itu dari atas bukit.”

Mereka terdiam Kembali. Hanya saja, mereka belum siap untuk dialog berikutnya—

“LONAAA!!! GUE LEMPAR YA LO! LO BIKIN GUE EMOSI TAU GAK ATAU LO MAU GUE GELINDINGIN DARI BUKIT SINI?!!” Kali ini suara Embun yang berteriak dari jarak jauh, suara kesalnya menggema di udara pegunungan.

Hening sekejap. Lalu— Tiga pria itu ngakak bareng. Tanpa janjian. Tanpa alasan yang terlalu jelas.

Samudra menepuk pahanya sambil tertawa terbahak. “Ya Tuhan… gue suka banget sama kekacauan itu!”

Angkasa bahkan sampai menurunkan gelas kopinya karena bahunya ikut naik-turun menahan tawa.

Kemudian terdengar suara lain lagi yang lebih halus namun tegas,  “Sumpah ya, kalo kalian nggak DIEM dalam lima detik, gue pulang naik Gojek!” akhirnya Bia ikut bersuara.

Samudra menatap Angkasa dan Langit dengan ekspresi tak percaya. “Bro… ini hiburan live gratis terbaik gue bulan ini.”

Angkasa mengangguk pelan. “Jarang ya, liburan lihat rombongan cewek nyaris saling bantai tapi sambil nyanyi dangdut.”

Langit bersandar ke kursi, senyum menempel di wajahnya—lebih lama dari yang ia sadari.

Suara tawa cewek-cewek itu menggema kembali, riuh, chaos, tapi hangat. Dia bahkan menunduk, menahan tawa kecil yang lolos.

“Lucu,” katanya lirih, lebih pada diri sendiri. “Suaranya…”

“Ngapain lo fokus ke suara?” Sam langsung nuduh. “Jangan bilang—”

Langit menggeleng pelan. “Nggak. Cuma… agak familiar.”

Angkasa menatapnya sekilas, ekspresi tertarik. “Tuh kan. Gue bilang juga apa. Gunung itu kadang bukan cuma tempat healing—kadang tempat ketemu takdir.”

Langit tidak menjawab. Ia menatap lagi ke arah atas bukit—ke cabin yang samar tertutup kabut. Di kejauhan, suara tawa tiga perempuan kembali pecah—nyaring, jujur, dan entah kenapa… menyejukkan.

Dan mereka bertiga—tiga pria dengan hidup super teratur—justru ikut tertawa, tanpa tahu bahwa jarak mereka dengan “takdir” tinggal satu bukit saja.

**

tbc

1
Bia_
ferdi lu bener bener ya,
Al_yaa
greget banget sama bab ini, gak sabar nunggu lanjutannya, updatenya bisa langsung 5 bab gak thor,penasaran bangettt
Al_yaa
cepatt cari orang bodoh itu papiiii
Al_yaa
cefatt rekrut diaa langitttt
KaosKaki
rasakno koe fer
KaosKaki
boleh gak berkata kasar buat di Ferdi /Panic//Panic/
Bubuuu
ceritanya bagus banget 👍👍😍😍
Al_yaa
yg buat virus perempuan, diremehin pulak tapi bikin satu gedung gonjang ganjing /Joyful/
aRa_
hebat banget embun, langsung ulti si Ferdi pake virus biar kicep
aRa_
bajigur banget si Ferdi /Panic/
aRa_
baru telponan aja udh deg degan ya embun
Al_yaa
ferdi, lo syibal banget yakk/Angry/
Al_yaa
pandangan pertama awal aku berjumpa /Hey//Hey/
Al_yaa
one step closer langit, berawal dari callan lama lama video callan dehhh
Bia_
akhirnya akhirnya /Scream/
Bia_
yaloh mereka udah Callan aja
KaosKaki
huuwwaaa akhirnya mereka ketemu tapi gak kenal /Sob//Sob//Sob/
KaosKaki
ada apa inih, kenapa bapaknya angkasa nongol. tor ada apa ini coba jelaskan
KaosKaki
bener bener dah ya, embun sama langit udah kaya anak abg banget /Facepalm/
Bia_
wow apakah akan ada plot twist Pemirsa 🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!