bercerita tentang seorang gadis buruk rupa bernama Nadia, ia seorang mahasiswi semester 4 berusia 20 tahun yang terlibat cinta satu malam dengan dosennya sendiri bernama Jonathan adhitama yang merupakan kekasih dari sang sahabat, karna kejadian itu Nadia dan Jonathan pun terpaksa melakukan pernikahan rahasia di karenakan Nadia yang tengah berbadan dua, bagaimana kelanjutan hidup Nadia, apakah ia akan berbahagia dengan pernikahan rahasia itu atau justru hidupnya akan semakin menderita,,??? jangan lupa membaca 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
Langit mulai gelap ketika Jonathan meninggalkan markas. Di dalam mobil hitamnya, ia duduk membisu di kursi belakang, mata menatap lurus ke depan tanpa berkedip. Dalam genggamannya, ponsel yang menampilkan peta lokasi yang dikirim Dewi. Sebuah gudang tua di pinggiran kota. terlantar, sepi, dan jauh dari pantauan siapa pun. Tempat sempurna untuk mimpi buruk dimulai... atau berakhir.
Keringat dingin membasahi pelipisnya. Tapi bukan karena takut. Bukan pula karena ancaman Dewi. Ini karena kesadaran mengerikan bahwa ia telah menyakiti terlalu banyak orang. dan kini, semuanya kembali menuntut balas.
Mobil berhenti tepat di depan gudang. Tanpa berkata apa pun, Jonathan turun. Ia hanya membawa satu senjata kecil di saku jaket, bukan untuk menyerang, tapi berjaga jika Dewi melampaui batas.
Langkahnya menggema di lantai beton yang dingin saat ia masuk. Udara pengap menyambutnya, bercampur bau besi karat dan debu. Lampu sorot di sudut ruangan menyala, mengarahkan cahaya tepat ke tengah tempat itu. di sanalah Nadia duduk, masih terikat, tubuhnya tampak semakin lemah.
“NADIA!” seru Jonathan, berlari ke arahnya. Tapi sebelum sempat menyentuhnya, suara langkah tumit menggema dari balik bayangan.
“Berhenti di situ,” suara itu tajam dan tenang.
Jonathan mematung. Dari kegelapan, Dewi muncul perlahan, memegang pistol di tangan kanannya. Ia tidak menyangka. Dewi, kekasihnya. Adalah dalang dibalik semua ini.
“Lepaskan dia, Dewi,” ucap Jonathan, berusaha menahan nada suaranya agar tetap tenang. “Semua ini… tidak perlu berakhir seperti ini.”
Dewi tertawa kecil.
“Tidak perlu? Kau pikir aku menghabiskan bertahun-tahun merencanakan ini hanya untuk membiarkanmu pergi begitu saja?”
Ia mendekat, wajahnya kini tampak jelas dalam cahaya. Mata itu merah, bukan karena tangis, tapi karena dendam yang membakar setiap detiknya.
" apa sekarang kau mencintainya ?” tanya Dewi, matanya melirik ke arah Nadia yang tampak pingsan setengah sadar.
“Lucu sekali… kau mencintai sahabat dari kekasih mu sendiri, Jon,"
" Dan sekarang dia tengah mengandung, apa kau juga akan meninggalkan nya, sama seperti kakak ku dulu," ucap Dewi suaranya mulai bergetar.
Jonathan menatap Dewi dalam-dalam. Tatapan yang tak lagi menyiratkan kemarahan, melainkan luka yang dalam, seperti seseorang yang baru saja menyadari betapa besar dosa yang telah ia perbuat.
“Aku tidak tahu, Dewi,” suaranya serak, penuh sesal.
“maafkan aku… sungguh aku tidak tahu dia sedang mengandung. Kami masih terlalu muda saat itu... aku mencari nya. Tapi dia pergi, tanpa jejak. Aku bodoh. Terlalu muda, terlalu pengecut untuk bertanggung jawab sepenuhnya. Tapi aku tidak pernah berhenti menyesalinya.”
Dewi menggenggam pistol itu semakin erat. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menolak menangis.
“Kenapa sekarang kau mengatakan semua itu? Kenapa tidak dulu, ketika kakakku masih hidup? Kenapa tidak menyelamatkannya saat ia memohon, saat ia kehilangan harapan, saat ia menatap kosong ke luar rumah sambil memegangi perutnya yang membesar, menunggu mu datang untuk bertanggung jawab?!”
Jonathan terdiam. Kata-kata itu seperti pisau yang mengoyak dadanya. Ia tahu tak ada jawaban yang bisa memulihkan luka itu.
“Aku tidak bisa mengubah masa lalu,” katanya akhirnya, pelan.
“Tapi aku bisa memilih untuk tidak mengulanginya.”
Dewi mendekat, kini hanya beberapa langkah dari Jonathan. Ujung pistolnya mengarah ke dada pria itu.
“Kalau begitu, buktikan padaku,” gumamnya. “Buktikan bahwa kau bukan pengecut yang sama seperti dulu.”
Jonathan mengangkat kedua tangannya, perlahan, menunjukkan bahwa ia tidak membawa ancaman.
“Biarkan Nadia pergi. Dia tidak bersalah. Dia korban, sama seperti Sintia. Hukum aku, bukan dia.”
Dewi terdiam lama. Tubuhnya bergetar hebat. Antara dendam dan rasa sakit, antara cinta dan kehilangan, semua bertarung dalam dadanya. Matanya menatap Nadia yang kini membuka mata perlahan, berusaha mengangkat kepalanya.
“pak Nathan…” lirih Nadia, nyaris tak terdengar.
Itu cukup untuk membuat Dewi kembali goyah. Tangannya sedikit gemetar, pistolnya turun beberapa inci.
“Aku… aku tak tahu lagi siapa yang harus kubenci,” katanya, setengah berbisik.
“Benci aku,” jawab Jonathan cepat.
“Aku pantas dibenci. Tapi biarkan yang lain hidup. Biarkan Nadia hidup. Biarkan anak dalam kandungannya hidup, Dewi. Jangan ulangi lingkaran neraka yang sama. Jangan jadi pembunuh seperti dunia yang membunuh kakakmu secara perlahan.”
Air mata akhirnya jatuh dari mata Dewi. Perlahan, ia menjatuhkan pistolnya ke lantai, suara logam itu bergema pelan. Seluruh tubuhnya melemas, seolah beban bertahun-tahun itu akhirnya pecah.
Jonathan segera menghampiri Nadia dan melepaskan ikatannya. Nadia terisak pelan saat tubuhnya merosot ke pelukan Jonathan.
Sementara itu, Dewi mundur perlahan, wajahnya penuh kekosongan.
“Terlalu lama aku hidup dengan dendam,” ucapnya lemah.
“Terlalu lama aku menunggu momen ini. Tapi sekarang… aku hanya merasa kosong.”
Jonathan menoleh ke arah Dewi, menatapnya dengan iba.
“Kau bisa memilih jalan baru, Dewi. Bukan untukku. Tapi untuk Sintia. Untuk dirimu sendiri.”
Namun Dewi hanya tersenyum samar.
“Aku sudah terlalu jauh untuk kembali.”
Sebelum Jonathan bisa mendekat lagi, Dewi berlari keluar gudang. Suara langkahnya cepat menghilang di balik kegelapan malam.
Tanpa pikir panjang, Jonathan bangkit dan berlari keluar gudang, meninggalkan Nadia yang kini setengah sadar bersama dengan alex yang baru saja datang. Nafasnya terengah-engah, kakinya menghantam lantai beton dan kerikil saat ia menembus malam, mengikuti jejak Dewi yang menghilang dalam gelap.
“DEWI!! TUNGGU!!” teriaknya, suaranya parau, nyaris putus oleh angin malam.
Lampu jalan yang redup tak cukup membantu penglihatannya, tapi di kejauhan, ia melihat siluet Dewi. berlari tanpa arah, tanpa tujuan, seolah hanya ingin kabur dari dunia ini.
“DEWI!!” teriaknya lagi, lebih keras.
Namun Dewi tidak berhenti. Langkahnya semakin cepat, tubuhnya gemetar, napas tersengal, tapi ia terus berlari... hingga tiba di pinggir jalan raya yang cukup lengang namun tetap dilintasi kendaraan dengan kecepatan tinggi.
Jonathan melihatnya. Melihat Dewi berdiri di tepi trotoar, tubuhnya sedikit limbung, tatapan kosong ke jalan sepi di hadapannya.
“DEWI! JANGAN...!!”
Tapi terlambat.
Dewi melangkah ke tengah jalan tanpa menoleh. Dan dari arah kiri, sebuah mobil melaju kencang, membunyikan klakson panjang.
Cahaya lampu menyorot tubuh Dewi sejenak sebelum suara tabrakan yang mengerikan mengoyak malam.
BRAK!
Tubuh Dewi terpental beberapa meter sebelum jatuh menghantam aspal dengan keras. Suara ban yang berdecit terdengar, lalu hening. Waktu seakan berhenti.
“DEWI!!!” jerit Jonathan, napasnya tercekat.
Ia segera berlari ke arah tubuh Dewi yang kini tergeletak di tengah jalan. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, membasahi pipinya yang pucat. Matanya setengah terbuka, menatap langit yang kosong dan dingin.
Jonathan jatuh berlutut, menggenggam tangan Dewi yang mulai dingin.
“Tidak... Dewi, jangan begini… tetap bersamaku… aku di sini…”
Dewi berkedip pelan, bibirnya bergerak sedikit.
“Aku... lelah, jon... Lelah…”
Air mata mengalir dari mata Jonathan.
“Kau tidak sendiri… Kau tidak harus pergi seperti ini...”
Senyum kecil muncul di bibir Dewi yang berlumur darah.
“Katakan… pada Nadia… aku... minta maaf…”
Lalu... satu helaan napas terakhir.
Tubuh Dewi melemas. Matanya menutup perlahan. Dan segalanya… diam.
Sirene ambulans terdengar samar di kejauhan. Tapi Jonathan tak bergerak. Ia hanya duduk di sana, memangku tubuh Dewi yang kini membeku dalam kematian. Hatinya terasa hampa. Wanita yang pernah mewarnai hari-hari nya, kini telah tiada.
Dewi telah pergi. Bersama seluruh dendam dan luka yang tak pernah sempat benar-benar sembuh.
mungkinn
jgn bodoh trlalu lm jo.... kekuasaan jga hrtamu slm ini tk mmpu mngendus jejak musuhmu yg trnyata org trsayangmu🙄🙄
klo nnti nadia bnyak uang.... bkalan balik lgi tuh wujud asli nadia....
krna sejatinya nadia dlunya cantik... hnya krna keadaan yg mmbuat dia tak mungkin merawat dirinya....
jdi kurang"i mncaci & merendhkn ibu dri ankmu....