Sienna Blair, seorang wanita mandiri dan kuat, dikhianati oleh kekasihnya Landon Pierce dan adik tirinya, Sabrina Horison. Setelah insiden tragis di Hotel Savoy yang mengguncang hidupnya, ia melarikan diri ke luar negeri dalam keadaan hamil. Lima tahun kemudian, ia kembali ke London bersama kedua anak kembarnya, Hunter dan Hazel, dengan tekad untuk membalas dendam dan membangun kembali kehidupannya.
Tanpa disadari, jalan hidup membawanya bertemu dengan Sebastian Cole, CEO dingin Cole Group, yang ternyata ayah kandung anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
"Baiklah." Sebastian mengulurkan tangan memeluk Hazel lalu menggendongnya dan berjalan keluar.
Hazel langsung tersenyum bahagia dan menenggelamkan wajah kecilnya ke dalam pelukan itu.
Sienna berkedip, hatinya terasa perih. Dia benar-benar tersingkir dari posisi sebelumnya Hazel kini punya papa, dan seolah lupa dengan mimanya.
Melihat mata penuh kerinduan itu, Hunter segera maju memegang tangannya dan menghibur, "Mima, tidak apa-apa. Kalau Hazel ga mau dipeluk, aku mau dipeluk."
Sienna langsung terharu. Memang lebih baik punya anak laki-laki!
Memikirkan itu, dia kembali menatap punggung pria tegap itu.
Namun sekejap kemudian, saat mengingat kata-kata yang barusan ia dengar, tubuhnya langsung merinding. Pria ini... di balik penampilan tampannya tersembunyi kesepakatan-kesepakatan kotor. Keinginannya untuk merebut anak-anak dari tangan pria itu semakin kuat.
Dia tidak boleh membiarkan anak-anak tinggal dengan orang seperti itu!
Sebastian menoleh, melihat wanita itu terdiam. Ia menahan ketidaksabarannya dan berkata, "Cepat ikut."
Sienna segera tersadar, cepat menyusul sembari menuntun Hunter.
Begitu mereka masuk ke dalam mobil, Hazel langsung bercerita tentang kejadian di taman kanak-kanak, membuat suasana dalam mobil jadi ceria.
Tak lama kemudian, mobil tiba di gerbang kompleks, saat Sebastian hendak masuk ke dalam.
Sienna tiba-tiba teringat kalau pria ini mungkin masih punya urusan. "Turunkan kami di sini saja, di dalam kompleks agak susah putar balik."
Terlebih lagi, dia tidak ingin pria ini sampai masuk ke rumahnya dan mengganggu.
Begitu dia selesai bicara, Hazel langsung bertanya dengan nada tidak senang, "Papa, kita ga nginep di Rumah Papa malam ini?"
Hunter juga secara refleks menatap Sebastian.
Sienna tampak canggung, tapi sekaligus agak senang. Dia ingin tahu bagaimana pria itu akan menjelaskan pada anak-anak.
Sebastian menepikan mobil, menoleh ke dua anak kecil di kursi belakang, dan berkata lembut, "Papa masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini, jadi malam ini ga bisa temani kalian, ya? Kalian harus jadi anak baik, oke?"
Setelah bicara, dia melirik jam tangan. Takut kakek tua itu menunggu terlalu lama dan melakukan sesuatu yang aneh lagi.
Dia harus cepat kembali!
Hazel mencibir, tampak kecewa. "Ga mau, aku mau tidur sama Papa malam ini."
"Aku juga." Hunter mengangkat kepala dan ikut bicara.
Sienna tak bisa menahan tawa. Dia menahan senyum dan tetap diam.
Sebastian tampak frustrasi dan putus asa. Dia melirik ke arah Sienna, yang tampak seperti sedang menonton pertunjukan, lalu menatap tajam padanya, memberi isyarat agar membantu membujuk anak-anak.
Sienna terkejut melihat tatapan pria itu yang dalam dan dingin. Hatinya bergetar, tapi dia tahu maksudnya.
Suasana di antara mereka seketika menegang, tapi karena anak-anak ada di sana, Sienna tak punya pilihan selain mengalah. Dia berkata lembut, "Hazel, Hunter, papa kalian sedang sibuk kerja malam ini. Jadi jangan ganggu dulu, ya?"
Dalam hati, dia sudah berkali-kali memutar matanya. Pekerjaan, katanya? Bukankah cuma tidur dengan wanita lain?
Alis Hunter berkerut. "Papa kerja apa sampai ga bisa bawa kami? Aku dan Hazel pasti ga akan ganggu."
"Lagi ada urusan urgent di perusahaan, Papa harus segera tangani. Besok Papa pasti datang liat kalian," jelas Sebastian sabar.
Saat ini, kakek tua itu tidak boleh tahu keberadaan dua anaknya. Kalau sampai tahu, dia bisa dapat masalah besar.
"Papa, ga bisa tinggal aja hari ini?" Air mata Hazel mulai menggenang. Wajahnya tampak sedih.
Melihat itu, hati Sebastian melunak. Dia hampir ingin mengiyakan, tapi mengingat kakeknya, dia jadi pusing. Dia tetap harus pulang malam ini.
Sienna, yang melihat betapa pria itu ingin cepat pergi, justru merasa senang. Dia memeluk Hazel dan membujuk lembut, "Hazel, Papa harus kerja keras cari uang malam ini. Kalau ga nanti kamu ga bisa beli es krim lagi, lho."
Setelah bicara, dia menoleh memberi Sebastian senyum penuh arti.
Dia tahu betul sifat putrinya. Hazel bukan tipe anak yang suka bikin ribut tanpa alasan. Asal dibujuk dengan baik, dia bisa mengerti.
Sebastian mengerutkan alis, menatap Sienna curiga. Apakah wanita ini sedang merencanakan sesuatu lagi?
Tak disangka, sebelum dia bisa bicara, Hazel tiba-tiba berkata, "Oke, Papa, lain kali beli es krim yang besar buat Hazel dan Hunter, ya?"
Dia mengedipkan mata dengan wajah serius.
"Baik, Papa janji," ujar Sebastian lembut, penuh kasih sayang.
Setelah mendapat jawaban memuaskan, Hazel langsung menggandeng Sienna dan Hunter turun dari mobil. Mereka tidak lupa mengucapkan selamat tinggal.
Begitu anak-anak keluar, tawa mereka menghilang, dan Sebastian merasa ada kekosongan di hatinya.
***
Sesampainya di Wynthorne masion Sebastian langsung menghela napas dan berkata tenang, "Kakek, bukankah Kakek bilang sedang tidak sehat?"
kakek tua itu buru-buru meletakkan ponselnya, tampak malu, tapi tetap menegakkan leher dan berkata, "Kalau aku ga bilang begitu, apa kamu mau datang malam ini?!"
Padahal dia ketahuan sedang main game. Bukankah Butler sudah memberitahunya?
Sebastian menggeleng tak berdaya.
Lalu dia berkata lembut, "Kalau memang ga ada urusan, aku pergi dulu ya."
Baru hendak pergi, Kakek tua itu langsung memeluk dada sambil bersedih, "Oh... betapa malangnya aku, setengah tubuh sudah di tanah tapi belum punya cicit! Dosa besar ini! Dosa!"
Ia menyipitkan mata, mencuri pandang reaksi Sebastian.
Namun wajah Sebastian tetap dingin dan tenang. Orang tua itu menghela napas, lalu mencoba strategi baru, dan berkata sungguh-sungguh, "Sebastian, kamu fokus pada karier, aku tidak masalah. Tapi kamu tahu sendiri, kakakmu sejak kecelakaan lima tahun lalu masih dirawat di luar negeri. Aku hanya bisa mengandalkan kamu untuk meneruskan garis keturunan keluarga. Kalau kamu tidak bisa, keluarga Cole bisa punah."
Setelah berkata begitu, dia menutup wajah dengan tangan.
Mata Sebastian tampak gelap dan dalam, seperti kolam tak berdasar. Alisnya berkerut, bibirnya terkatup rapat.
Akhirnya dia berkata, "Tenang saja, aku akan memberikan cicit untuk Kakek. Jangan khawatir soal itu."
Kakek tua itu mengira dia cuma menghibur, jadi langsung mendengus, lalu duduk di sofa dengan marah.
"Aku tahu kamu cuma mau menenangkan aku! Masih ga mau nikah juga? Apa kamu mau bikin gadis kecil hamil di luar nikah?!"
Sebastian mengangkat alis. Hamil di luar nikah? Entah kenapa, wajah wanita itu muncul di pikirannya. Dia terkekeh pelan. Kenapa malah memikirkan dia? Mungkin dia memang sudah gila...
Namun melihat Kakeknya marah, dia mengingatkan, "Dokter bilang Kakek jangan terlalu emosi."
"Kalau kamu peduli, cepat bawa pulang calon istrimu! Lalu lahirkan anak laki-laki gemuk buatku. Saat itu, penyakit apa pun akan sembuh!" ujar orang tua itu kesal.
Wajah Sebastian tetap tanpa ekspresi. Dia mengabaikan omelan kakeknya dan berjalan keluar.
Alfred merasa frustrasi.
"Aku sudah tua... dan masih harus mikirin cucu tiap hari. Kapan bisa gendong cicit?"
Tidak. Ia Harus "menipu" calon menantu dulu, baru bisa dapat cicit.
Dengan niat bulat, dia pun meletakkan ponsel dan mencari nomor Butler.
***
Setelah anak-anak pulang, mereka langsung mandi dan tidur.
Sienna menatap mereka yang tertidur acak-acakan di atas ranjang, lalu menggelengkan kepala. Malam ini benar-benar membuat mereka lelah.
Masih terbayang betapa paniknya saat Hazel demam dan pingsan tadi. Untung tidak terjadi hal buruk.
Ia menyesuaikan suhu ruangan, merapikan selimut, dan memastikan semuanya baik-baik saja sebelum keluar pelan-pelan.
Begitu masuk ke kamar, ponselnya berbunyi. Melihat nama di layar, dia langsung menjawab, "Lena, gimana? Blake ketemu?"
"Tidak... Aku sudah nunggu di bar lama, tapi dia kabur pas aku lengah." Suara frustrasi Lena terdengar.
Sienna langsung pusing. Baru hendak menghibur, Lena kembali bicara, "Sienna... Tapi pelayan di Bar Mint bilang Blake mungkin datang lagi besok malam."