Mu Yao, seorang prajurit pasukan khusus, mengalami kecelakaan pesawat saat menjalankan misi. Secara tak terduga, ia menjelajah ruang dan waktu. Dari seorang yatim piatu tanpa ayah dan ibu, ia berubah menjadi anak yang disayangi oleh kedua orang tuanya. Ia bahkan memiliki seorang adik laki-laki yang sangat menyayanginya dan selalu mengikutinya ke mana pun pergi.
Mu Yao kecil secara tidak sengaja menyelamatkan seorang anak laki-laki yang terluka parah selama perjalanan berburu. Sejak saat itu, kehidupan barunya yang mendebarkan dan penuh kebahagiaan pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seira A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 : Perampok Gunung Masuk ke Desa
Mu Yao mendadak heran, kenapa ada suara derap kaki kuda? Apa ada kereta kuda milik orang kaya lewat? Ia langsung menoleh ke arah desa, dan melihat dari ujung timur jalanan, salju berterbangan. Samar-samar, Mu Yao bisa melihat sekelompok orang menunggang kuda besar. Mereka makin lama makin dekat, sebentar lagi akan sampai di gerbang desa.
Perampok gunung! Mu Yao langsung sadar. Dalam ingatan pemilik tubuh ini sebelumnya, perampok gunung cuma pernah muncul sekali—itu pun saat usianya masih lima tahun. Jadi tak heran kalau Mu Yao awalnya tidak langsung terpikir soal ini.
Mu Yao tak peduli meskipun ini siang bolong, ia langsung menggunakan qinggong dan melesat ke desa! Rumah keluarganya berada di bagian paling timur desa, paling dekat dengan jalan utama. Jadi, begitu para perampok masuk desa, rumah mereka pasti yang pertama dilewati. Baru saja masuk desa, Mu Yao sudah mendengar suara gong tembaga yang sudah bertahun-tahun tidak pernah dipukul.
Dulu, demi mengantisipasi perampokan, setiap kepala desa akan menyediakan gong tembaga. Begitu ada bahaya, gong langsung dipukul agar warga bisa menyembunyikan barang berharga. Orang-orang yang penakut juga langsung bersembunyi di dalam lubang bawah tanah. Hampir setiap rumah punya lubang semacam itu—ada yang di dapur, di gudang kayu, atau bahkan di halaman. Tapi karena sudah lama tak terpakai, kebanyakan lubang itu sekarang jadi tempat menyimpan barang. Keluarga Mu Yao sendiri tidak punya lubang seperti itu. Mereka jarang punya makanan berlebih, apalagi uang.
Kepala desa, Sun Huaixin, saat itu baru saja keluar dari jamban ketika mendengar suara derap kuda. Ia bengong cukup lama, lalu baru teringat soal perampok, dan buru-buru memukul gong. Desa Xiaonan memang terlalu tenang selama ini, sampai-sampai semua orang jadi lengah. Begitu sadar, perampok sudah masuk desa.
Yang bikin tambah parah, para perampok ini juga kelewat nekat, siang bolong begini berani-beraninya masuk desa!
Begitu sampai di depan rumah sendiri, Mu Yao langsung mendengar suara teriakan Ibu Liu dari dalam rumah, bercampur dengan makian kasar para perampok. Pintu rumah terbuka, Mu Yao melihat seorang perampok mengayunkan golok ke arah Ibu Liu. Wajah Mu Yao langsung pucat. Ia reflek melempar belati ke arah perampok itu sambil melompat masuk rumah.
Golok si perampok belum sempat menyentuh Ibu Liu, sudah kena belati Mu Yao di lengannya. Si perampok kesakitan sampai goloknya jatuh ke lantai. Belum sempat ia melihat apa yang menusuk lengannya, Mu Yao sudah menendang perutnya dengan keras sampai ia jatuh ke tanah. Darah nyaris menyembur dari mulutnya!
Perampok itu ternyata cukup tangguh. Begitu jatuh, ia langsung menyambar kayu di dekatnya dan hendak menghantam Mu Yao.
Mu Yao jelas bukan orang sembarangan. Ia tak mundur, malah langsung menjulurkan tangan kiri dan menangkap kayu yang diayunkan padanya. Lalu ia menariknya ke belakang, sementara tangan kanan seperti kilat mencengkeram pergelangan tangan si perampok dan memelintirnya. Suara jeritan seperti babi disembelih langsung terdengar. Tulang pergelangan tangannya patah dan menonjol keluar.
Mu Yao tak memberi kesempatan bernapas, langsung menginjak lutut si perampok hingga terdengar bunyi “krek” dan teriakan memilukan. Lalu satu tendangan lagi, satu kakinya tamat. Bahkan lengan kirinya ikut dilucuti. Ia memang kejam, karena tak ingin keluarganya terluka sedikit pun. Si perampok akhirnya tak tahan, langsung pingsan.
Selesai mengurus si perampok, Mu Yao buru-buru memeriksa Ibu Liu. Untungnya, ibunya cuma kena tampar di wajah, ada darah di sudut bibir dan sanggulnya sedikit berantakan, tapi tak luka serius.
Ibu Liu tak peduli wajahnya yang perih, malah buru-buru menyuruh, “Cepat lihat adikmu, Xiao’er!”
Mu Yao sempat panik, mengira sesuatu terjadi pada adiknya. Tapi sebelum masuk, suara Mu Xiao sudah terdengar dari dalam, “Kakak, aku nggak apa-apa. Cuma tadi jatuh, pantatku sakit, dan punggungku kegesek sedikit.”
Ternyata saat si perampok masuk, Ibu Liu sedang mau masak. Perampok itu langsung menyuruhnya mengeluarkan semua barang berharga. Suaranya yang keras terdengar sampai ke dalam, membuat Mu Xiao yang sedang berlatih kaligrafi jadi waspada. Ia khawatir ibunya kenapa-kenapa, jadi langsung mengambil golok dan keluar menyerang.
Para perampok memang sering beraksi di sekitar wilayah ini, jadi mereka lumayan tahu kondisi tiap desa. Mereka tahu desa ini tak banyak laki-laki muda, apalagi yang bisa bela diri. Tapi begitu melihat Mu Xiao keluar bawa golok, mereka sempat kaget.
Mu Xiao tak buang waktu. Begitu perampok bengong, ia langsung menebaskan golok. Meski perampok itu cukup berpengalaman, tapi tetap saja lengannya terluka karena tak sempat menghindar sepenuhnya. Hal itu bikin si perampok murka. Ia sebenarnya pimpinan kecil di kelompoknya. Kalau sampai dikalahkan anak kecil, nama baiknya bisa hancur di mata teman-temannya.
Dengan marah, si perampok menebaskan golok ke arah Mu Xiao. Pertarungan pun terjadi! Sayangnya, ukuran rumah terlalu sempit untuk ukuran tubuh besar si perampok. Mu Xiao memang masih kecil, tapi gesit. Ia juga diajari kakaknya, kalau lawan kuat harus pakai strategi, bukan cuma otot.
Mu Xiao menyerang bagian bawah tubuh si perampok, sementara Ibu Liu yang meski tak bisa bela diri tapi juga tak takut, ikut memukul bagian atas si perampok pakai kayu bakar. Mereka berdua cukup kompak dan sempat membuat si perampok kewalahan. Tapi, Mu Xiao tetaplah anak kecil dan belum punya pengalaman. Setelah belasan kali serangan, ia mulai kelelahan. Si perampok langsung menendang perutnya.
Ibu Liu, melihat anaknya dalam bahaya, langsung menerjang si perampok, membuat tendangan itu jadi lemah. Tapi tetap saja, Mu Xiao terlempar ke dalam kamar dan jatuh pingsan karena pantatnya terbentur keras. Suara jeritan si perampok yang terluka kemudian membangunkannya.
Sementara itu, Ibu Liu yang menubruk si perampok langsung menggigit pergelangan tangannya. Gigitannya dalam dan penuh amarah, sampai berdarah.
Si perampok makin marah! Sudah dilukai anak kecil, sekarang digigit ibu-ibu pula. Kalau sampai teman-temannya tahu, ia bisa jadi bahan ejekan seumur hidup. Ia langsung menampar Ibu Liu keras-keras sampai hampir copot giginya!
Ia berniat membunuh Ibu Liu dulu baru bereskan Mu Xiao. Untung Mu Yao datang tepat waktu. Kalau terlambat sedikit saja, ia mungkin tak akan pernah bisa melihat ibu dan adiknya lagi. Karena itulah ia begitu kejam terhadap si perampok.
Mu Xiao yang sudah sadar, buru-buru bangkit dan bilang ke kakaknya kalau ia baik-baik saja. Lalu berlari ke arah ibunya, “Ibu, Ibu nggak apa-apa kan?” tanyanya penuh kekhawatiran. Ibu Liu pun tenang setelah tahu anaknya aman.
Lalu ia berkata pada putrinya, “Yao Yao, tadi ada lebih dari dua puluh perampok datang. Kita nggak tahu rumah tetangga gimana keadaannya. Kalau kamu bisa bantu, tolong bantu mereka juga ya?”
Meski cemas pada anak perempuannya, Ibu Liu yakin dari cara Mu Yao bertarung tadi, dia tak akan kalah. Mungkin justru bisa menyelamatkan banyak orang.
“Oke,” jawab Mu Yao tanpa ragu. Lagi pula, kalau perampok tahu mereka sudah melukai orang dari keluarga Mu, pasti mereka tak akan dibiarkan hidup. Maka harus cepat bekerja sama dengan warga untuk menghabisi para perampok.
Mu Yao melihat perampok yang pingsan di lantai. Ia khawatir adiknya takut kalau terus melihatnya, tapi tak disangka, Mu Xiao malah menarik kaki si perampok sambil bilang, “Kakak, kamu pergi saja. Aku dan ibu bisa jagain rumah.” Ibu Liu pun ikut menarik kaki perampok lainnya.
Mu Yao mengangkat pedang si perampok dan berjalan keluar. Begitu sampai di halaman, ia bertemu dengan tiga–empat perampok lain yang datang karena mendengar jeritan pemimpinnya.
Tanpa basa-basi, Mu Yao langsung menebaskan pedangnya. Salah satu perampok tak sempat menghindar, lengannya langsung putus. Lalu Mu Yao menendangnya hingga mengenai perampok lain di belakangnya. Keduanya jatuh bersamaan. Dua perampok lain langsung menyerang dari kiri dan kanan.
Mu Yao mundur sedikit, menghindari serangan, lalu menangkap tangan salah satu perampok dan memelintirnya sampai terdengar bunyi “krek”. Tangannya patah. Ia lalu melempar perampok itu ke samping.
Dengan tangan kanannya, ia menebas perampok lainnya. Pedangnya menyusuri pedang lawan dan langsung memotong empat jarinya! Si perampok teriak kesakitan sampai pedangnya jatuh. Mu Yao tak memberi jeda, langsung menggoreskan pedangnya ke lehernya. “Crot!” Darah muncrat ke mana-mana.
Tiba-tiba, angin berdesir dari belakangnya. Mu Yao melompat maju sambil mengayunkan pedang ke belakang. Pedang si perampok sampai terlempar. Lalu, dengan satu tendangan menyapu, Mu Yao menjatuhkan perampok itu dan menusuk jantungnya.
Perampok yang tadi kehilangan lengan berusaha bangkit dan mengambil senjatanya, tapi Mu Yao menginjak dadanya dengan keras. Ia pun sekarat.
Dalam sekejap, tiga dari empat perampok tewas. Yang satu lagi tangannya patah dan langsung kabur. Tapi Mu Yao mengejarnya, satu tebasan—perampok itu pun tamat.
Kelompok perampok ini sudah lama meneror wilayah Pingxian. Mereka terkenal kejam dan banyak di antaranya adalah buronan negara. Setiap orang dari mereka punya banyak nyawa di tangannya.
Pemerintah pernah umumkan: siapa pun yang bisa membunuh satu perampok gunung akan dapat hadiah tiga puluh tael perak! Itu cukup buat hidup satu keluarga selama beberapa tahun. Tapi sampai sekarang, belum ada satu pun yang berhasil. Bahkan markas mereka pun tak ada yang tahu.
Setelah membereskan perampok-perampok ini, Mu Yao langsung mencari yang lain. Warga desa, begitu dengar gong, buru-buru sembunyi di lubang tanah. Mereka bahkan tak sempat menyelamatkan barang-barang. Karena perampok benar-benar sudah masuk ke desa. Beberapa orang bersembunyi di balik tumpukan kayu bakar.
Para bandit itu terlihat sama seperti sebelumnya. Mereka nggak nemu uang, cuma ngambil sedikit makanan. Beberapa bandit sempat lihat rumah-rumah yang kelihatan bobrok, jadi mereka nggak masuk begitu aja. Cuma beberapa orang tua yang nggak sempat sembunyi aja yang sempat ditendang, tapi untungnya mereka nggak dipukul sampai mati.
Kelompok bandit itu awalnya ada 21 orang. Lima orang baru aja tewas, jadi tinggal 16. Mu Yao baru jalan beberapa langkah, dia langsung lihat dua bandit dan membunuh mereka satu per satu dengan pisaunya. Aksinya itu sempat dilihat satu bandit yang baru keluar dari rumah. Bandit itu mau teriak manggil temannya, tapi Mu Yao langsung menutup mulutnya dan menghabisinya pakai belati. Setelah itu, dia buru-buru kembali ke desa. Siapa pun yang dia lihat, langsung dia bunuh. Wajah dan tubuhnya pun penuh darah. Nggak lama, cuma tersisa empat atau lima bandit aja.
Orang-orang yang sembunyi di tumpukan kayu bakar lihat Mu Yao hampir membasmi semua bandit sendirian. Mereka langsung lari keluar dan teriak,
"Semua keluar cepat! Tinggal beberapa bandit lagi! Ayo kita habisi mereka sama-sama!"
Begitu dengar teriakan itu, penduduk desa langsung keluar dari rumah sambil bawa tongkat dan sekop. Mereka rame-rame memukuli para bandit sampai yang tersisa jerit-jerit kesakitan. Beberapa dari mereka nggak tahan dan lari buat lapor ke bos mereka.
Mu Yao lihat cuma tinggal satu bandit yang masih hidup. Dia langsung minta semua orang berhenti.
"Teman-teman, kita jangan bunuh dia dulu. Kita bisa pakai dia buat cari tahu di mana sarangnya dan habisi mereka semua sekaligus. Cuma dengan begitu kita bisa hidup tenang," kata Mu Yao keras-keras, dan semua orang pun berhenti.
Bandit itu nggak kuat nahan pukulan Mu Yao, akhirnya dia ngaku tempat persembunyian mereka dan berapa jumlahnya… lalu mati.
Kepala desa lalu suruh beberapa orang buat ngikat kuda-kuda bandit di halaman luas. Dia sendiri bingung mau diapain mayat-mayat bandit yang bergelimpangan itu. Mu Yao langsung bilang,
"Kakek kepala desa, seret aja semua mayat ini ke lubang besar di belakang desa, kubur pakai salju. Bersihin juga darah yang ada di jalanan, jangan sampai ada orang lain yang tahu. Kita urus semuanya setelah berhasil musnahkan bandit-bandit itu."
Kepala desa sempat mikir, tapi akhirnya setuju juga. Untuk sementara, cuma itu satu-satunya cara.
Setelah kejadian ini, semua orang di desa benar-benar kagum sama Mu Yao. Di usianya yang masih muda, dia udah bisa ngalahin begitu banyak bandit dan nyelamatin desa. Desa Xiaonan pun mulai punya harapan.