NovelToon NovelToon
CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Romansa
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: GOD NIKA

Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Retaknya Dingding Es

Ponsel terasa panas di genggaman Lana. Suara Leon yang sarat keputusasaan, pengakuan tak langsung tentang luka masa lalunya, semua itu bergema di telinganya. Hujan sudah berhenti, namun badai di dalam dirinya justru semakin mengganas. Ia berdiri di sudut jalan, terombang-ambing antara simpati dan ketakutan.

"Aku... aku tidak tahu, Leon," bisik Lana, suaranya nyaris tak terdengar. Ia bisa merasakan air mata menggenang di pelupuk matanya. "Aku butuh waktu."

"Waktu untuk apa, Lana?" Suara Leon kembali mengeras, lapisan kerapuhan itu tertutup lagi oleh dinding es yang familiar. "Waktu untuk lari? Waktu untuk memilih dia?"

"Waktu untuk berpikir!" Lana balas membentak, menyalurkan semua frustrasinya. "Waktu untuk memutuskan apakah aku sanggup menanggung semua ini. Apakah aku sanggup ada di sisimu, di tengah semua luka yang kamu bawa, setelah semua yang kamu lakukan padaku!"

Hening. Kali ini, keheningan itu terasa lebih berat, lebih pekat. Lana bisa mendengar napas Leon yang memburu di seberang telepon. Ia tahu, ia telah menusuk tepat ke inti masalah.

"Aku tidak... aku tidak pernah ingin menyakitimu, Lana," suara Leon akhirnya pecah, pelan, nyaris tak dikenali. "Aku hanya... tidak tahu bagaimana caranya melakukan hal lain."

Kata-kata itu membuat lutut Lana lemas. Ia tidak pernah menyangka akan mendengar pengakuan setulus itu dari Leonhart Revanza. Pria yang selama ini ia anggap kejam, tak berperasaan, ternyata juga punya luka yang menganga, luka yang membuatnya tak berdaya.

"Aku... aku tutup telepon dulu, Leon," kata Lana, suaranya bergetar. "Aku perlu waktu sendiri."

Tanpa menunggu jawaban, Lana memutus panggilan. Ia menyandarkan punggung ke dinding bangunan di belakangnya, berusaha menenangkan napas. Pengakuan Amanda tentang masa lalu Leon, ditambah percakapannya barusan, telah meruntuhkan semua asumsi Lana tentang pria itu. Leon bukan sekadar monster. Ia adalah monster yang terluka.

Tapi apakah itu membenarkan tindakannya? Apakah itu mengubah fakta bahwa ia telah menghancurkan hidup Lana, membeli dirinya, dan mengikatnya dalam sangkar emas?

Lana tidak tahu jawabannya. Hatinya terbelah dua. Satu sisi ingin memeluk Leon, ingin mengulurkan tangan pada jiwanya yang hancur. Sisi lain ingin lari sejauh mungkin, membangun kembali hidupnya tanpa bayang-bayang masa lalu Leon.

Arvino menjemput Lana tidak lama kemudian. Ia tidak banyak bertanya, hanya menatap Lana dengan sorot mata pengertian. Sepanjang perjalanan kembali ke apartemen Arvino, Lana hanya diam, pikirannya berputar. Arvino sesekali meliriknya, tapi membiarkannya tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Sesampainya di apartemen, Arvino membuatkan Lana teh hangat lagi. Kali ini, Lana meminumnya dalam diam, merasakan kehangatan yang perlahan menjalar ke tubuhnya.

"Aku tahu ini berat," kata Arvino, duduk di seberang Lana. "Tapi kamu tidak sendirian. Kamu punya aku."

Lana menatapnya. Mata Arvino tulus, penuh dukungan. Di samping Arvino, ia merasa aman, tidak diklaim, tidak dihakimi. Sebuah perasaan yang sangat langka dalam hidupnya.

"Aku tahu tentang ibunya Leon," bisik Lana, akhirnya memutuskan untuk berbagi. Ia menceritakan semua yang ia dengar dari Bu Rani dan Amanda.

Arvino mendengarkan dengan saksama, raut wajahnya berubah serius. "Aku sudah menduga ada sesuatu yang gelap di masa lalu Leon, tapi aku tidak pernah tahu sedalam ini."

"Apa aku harus membantunya?" tanya Lana, suaranya pecah. "Dia terluka, Arvino. Dia menyaksikan ibunya dibunuh oleh ayahnya sendiri. Dia dibiarkan sendirian dengan trauma itu."

Arvino menghela napas. "Luka Leon itu nyata, Lana. Dan itu mengerikan. Tapi itu tidak membenarkan cara dia memperlakukanmu. Kamu tidak bertanggung jawab atas lukanya. Dia yang harus menyembuhkan dirinya sendiri."

"Tapi bagaimana jika aku bisa membantunya?"

"Kamu bisa membantu," kata Arvino tegas. "Tapi tidak dengan mengorbankan dirimu sendiri. Kamu sudah cukup menderita, Lana. Kamu berhak bahagia. Kamu berhak punya hidup sendiri."

Kata-kata Arvino bagaikan siraman air dingin yang menyadarkan Lana. Ia telah terlalu lama berpikir untuk orang lain. Ibunya, adiknya, dan sekarang Leon. Ia lupa bahwa ia juga punya hak untuk bahagia, untuk sembuh.

"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Lana, menatap Arvino, mencari petunjuk.

"Pilihlah apa yang terbaik untukmu, Lana," kata Arvino. "Jangan biarkan rasa kasihan atau rasa bersalah mengikatmu lagi. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik."

Malam itu, Lana tidak bisa tidur. Ia memikirkan semua yang ia dengar, semua yang ia rasakan. Ia memikirkan Leon yang hancur di balik topeng kekuasaannya, dan Arvino yang menawarkan pelukan hangat tanpa pamrih.

Apakah ia akan memilih cinta yang menyakitkan, penuh gejolak, namun menyimpan potensi penyembuhan yang besar? Atau cinta yang tenang, aman, dan menawarkan kebebasan yang telah lama ia impikan?

Sementara Lana bergulat dengan batinnya, Leonhart duduk sendirian di kantornya yang gelap. Ponselnya tergeletak di meja, menampilkan riwayat panggilan terakhir dengan Lana. Kata-kata Lana masih terngiang di kepalanya: "Setelah semua yang kamu lakukan padaku!"

Ia memejamkan mata, bayangan ibunya, Maria, muncul di benaknya. Maria yang cantik, rapuh, dan selalu tersenyum di balik kesedihannya. Dan kemudian, Maria yang tergeletak tak bernyawa, dengan kalung mutiara yang dirobek, di lantai kamar mandi. Ayahnya, Tuan Besar Hartono, berdiri di sana, tanpa ekspresi, seolah tak terjadi apa-apa.

Leon kecil melihat semuanya. Ia ingin berteriak, ingin menolong ibunya, ingin membunuh ayahnya. Tapi ia terlalu kecil, terlalu takut. Rasa bersalah itu menggerogoti jiwanya selama bertahun-tahun. Ia bersumpah, tidak akan pernah ada lagi yang bisa mengambil sesuatu darinya. Tidak akan pernah lagi ia merasa tak berdaya.

Dan kemudian datanglah Lana. Dengan mata yang penuh harapan namun juga kerapuhan yang familiar. Dengan jiwanya yang kuat namun juga rentan. Lana adalah Maria-nya, namun juga berbeda. Ia adalah Maria yang bisa ia selamatkan, yang bisa ia kendalikan, yang tidak akan pernah meninggalkannya seperti ibunya.

Ia mengira, dengan mengikat Lana, menguasainya, ia akan merasa aman. Tapi ia salah. Semakin ia mengikat Lana, semakin Lana mencoba melepaskan diri. Dan semakin ia merasa ketakutan lama itu kembali. Ketakutan akan kehilangan.

Pengakuan Lana tadi, bahwa ia tahu tentang ibunya, telah meruntuhkan dinding pertahanan terakhir Leon. Ia merasa telanjang, terekspos, dan sangat rentan. Rasa sakit yang telah ia kubur dalam-dalam selama puluhan tahun kini menyeruak ke permukaan.

Ia meraih remote control dan menyalakan layar monitor besar di dinding. Rekaman CCTV dari apartemen Arvino muncul. Lana dan Arvino duduk berdekatan, berbicara pelan, sesekali Arvino menyentuh lengan Lana. Gambar itu membuat hati Leon perih. Arvino memberikannya sesuatu yang tidak pernah bisa ia berikan: kedamaian.

"Aku harus bertemu dengannya," gumam Leon. "Aku harus mengatakan semuanya."

Tidak hanya soal ibunya. Tapi juga soal ketakutannya. Soal perasaannya yang sebenarnya. Ia tahu ini berisiko. Lana mungkin akan lari. Tapi ia tidak bisa lagi hidup dalam kebohongan.

Leon bangkit dari kursinya. Ia harus menemukan Lana.

Pagi hari berikutnya, Lana terbangun dengan kepala pening, tapi hati yang lebih tenang. Ia telah membuat keputusan. Ia akan mencari tahu lebih banyak tentang Leon, bukan untuk membenarkan tindakannya, tapi untuk memahami pria itu dan melepaskan diri dari jeratnya dengan cara yang benar. Ia tidak akan lari, tapi ia juga tidak akan mengorbankan dirinya.

Saat ia keluar dari kamar, Arvino sudah menyiapkan sarapan. Aroma roti panggang dan kopi memenuhi apartemen.

"Bagaimana tidurmu?" tanya Arvino lembut.

"Lumayan," jawab Lana, memaksakan senyum. "Arvino, aku ingin mencoba sesuatu. Aku ingin menghadapi Leon. Aku ingin dia menceritakan semuanya dari sisinya."

Arvino menghentikan gerakannya. Ia menatap Lana dengan sorot khawatir. "Lana, apa kamu yakin? Itu berbahaya."

"Aku harus tahu, Arvino. Aku tidak bisa hidup terus-menerus dalam kebingungan ini. Dan aku tidak akan membiarkannya mengendalikan hidupku lagi." Lana menarik napas dalam-dalam. "Tapi aku butuh bantuanmu."

Arvino mengangguk. "Apapun untukmu."

Lana menghubungi Leon. Ia memintanya bertemu di tempat netral, di sebuah taman kota yang ramai. Leon setuju tanpa banyak pertanyaan, namun suaranya terdengar tegang.

Saat Lana tiba, Leon sudah duduk di bangku taman, mengenakan kemeja kasual yang tidak biasa ia kenakan. Wajahnya tampak lelah, dengan lingkaran hitam di bawah mata. Ia terlihat lebih manusiawi, lebih rentan, dari yang pernah Lana lihat.

"Aku tahu kau datang menemuiku karena penasaran," kata Leon tanpa basa-basi, menatap Lana dengan intensitas yang sama, namun kali ini terasa berbeda. Lebih dari sekadar klaim, ada kerinduan yang samar.

"Aku tahu tentang ibumu, Leon," kata Lana, memilih untuk langsung ke inti. "Aku tahu apa yang terjadi. Aku tahu bagaimana ayahmu membunuhnya, dan bagaimana kamu menyaksikannya."

Leon tersentak. Ekspresinya mengeras, seperti dinding yang tiba-tiba dibangun kembali. Tapi Lana bisa melihat mata Leon berkaca-kaca, kilatan rasa sakit yang tak terlukiskan.

"Jangan pernah... jangan pernah sebut nama itu," bisik Leon, suaranya tercekat.

"Kenapa, Leon? Kenapa kamu tidak bisa menghadapinya?" Lana bertanya, nadanya lembut tapi tegas. "Kenapa kamu membiarkan luka itu menguasaimu sampai kamu menghancurkan hidup orang lain?"

Leon bangkit berdiri. Tangannya gemetar. "Kamu tidak tahu apa-apa, Lana! Kamu tidak pernah tahu bagaimana rasanya melihat orang yang paling kamu cintai pergi di depan matamu sendiri. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya tidak berdaya, tidak bisa melakukan apa-apa!"

Air mata mengalir di pipi Leon. Untuk pertama kalinya, Lana melihat Leonhart Revanza, pria baja itu, menangis. Tanpa menahan diri. Tanpa peduli pada pandangan orang lain.

Lana mendekatinya. Hatinya perih melihat kerapuhan Leon. Ia mengangkat tangannya, ingin menyentuh bahu Leon, menenangkannya. Namun ia ragu. Apakah ia pantas? Apakah ia sanggup?

"Aku... aku hanya ingin melindungimu, Lana," ucap Leon, suaranya serak. "Aku tidak ingin kamu menjadi Maria. Aku tidak ingin kamu menderita. Aku tidak ingin ada orang lain yang bisa mengambilmu dariku."

"Melindungiku? Dengan mengurungku? Dengan memilikiku? Dengan memperlakukanku seperti barang?" tanya Lana, air matanya juga mengalir. "Itu bukan perlindungan, Leon. Itu adalah penjara."

Leon menundukkan kepala. Bahunya bergetar. "Aku... aku minta maaf, Lana. Aku tidak tahu bagaimana caranya."

Lana akhirnya menyentuh bahunya. Leon tersentak, lalu perlahan menoleh, menatap Lana dengan mata penuh air mata.

"Aku bisa membantumu, Leon," bisik Lana. "Tapi kamu harus membiarkan aku. Kamu harus melepaskan aku. Kamu harus melepaskan semua kendali ini."

Leon menatapnya, ada keraguan di matanya, perjuangan batin yang jelas terlihat. Melepaskan kendali adalah hal yang paling ditakutinya. Tapi ia juga tahu, ia tidak bisa terus hidup seperti ini.

"Aku... aku tidak tahu bagaimana caranya, Lana," katanya, nadanya putus asa.

"Kita akan mencari tahu bersama," kata Lana. "Tapi kamu harus janji, kamu akan mencari bantuan profesional. Kamu akan mulai menyembuhkan dirimu sendiri."

Leon mengangguk pelan, air matanya masih mengalir. Ia meraih tangan Lana, menggenggamnya erat, tapi kali ini, genggaman itu terasa berbeda. Bukan lagi genggaman posesif, melainkan genggaman seseorang yang mencari pegangan.

"Aku... aku akan mencoba," katanya. "Demi kamu, Lana."

Lana tahu ini bukan akhir dari segalanya. Ini hanyalah awal. Awal dari perjalanan penyembuhan yang panjang dan sulit bagi Leon. Dan awal dari pertaruhan baru bagi Lana. Pertaruhan yang jauh lebih besar dari sekadar cinta. Ini adalah pertaruhan atas jiwa.

Leon akhirnya setuju untuk menemui seorang terapis atas saran Lana, sebuah langkah yang sangat mengejutkan bagi siapa pun yang mengenalnya. Lana tidak mendampinginya, ia tahu ini adalah pertarungan pribadi Leon. Namun, ia tetap memberikannya dukungan dari jauh.

Sementara itu, Lana kembali bekerja di Leonhart Group. Hubungannya dengan Leon masih canggung, namun ada perubahan halus yang terasa. Tatapan Leon padanya tidak lagi penuh klaim, tapi lebih pada kerinduan dan penyesalan. Ia juga mengurangi intervensi dalam hidup Lana, membiarkannya bernapas.

Arvino masih menjadi teman baik Lana. Ia selalu ada saat Lana membutuhkan telinga untuk mendengarkan atau bahu untuk bersandar. Ia tidak pernah menuntut, hanya menawarkan dukungan tanpa syarat. Lana menghargai itu. Ia tahu, Arvino adalah pelabuhan yang aman, sebuah pilihan yang selalu ada.

Suatu malam, Lana menerima pesan dari Leon.

Leon: Aku baru saja kembali dari sesi pertamaku. Sulit. Tapi aku akan terus mencoba. Terima kasih, Lana.

Hati Lana menghangat. Ada secercah harapan. Ini mungkin adalah langkah kecil, tapi ini adalah langkah pertama menuju penyembuhan.

1
Risa Koizumi
Bikin terhanyut. 🌟
GOD NIKA: Terima kasih🙏🥰🥰
total 1 replies
Mít ướt
Jatuh hati.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!