“SANDRAWI!”
Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.
Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.
Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia Apa?
Sejurus kemudian, tangan Renaya terkepal erat. Punggung yang semula bersandar lelah kini menegak, matanya menghitam oleh amarah yang membuncah. Wajahnya memerah, rahangnya menegang, pemandangan yang cukup untuk membuat Kinasih tersentak dan bungkam. Meski begitu, tak sedikit pun ada penyesalan di wajah Kinasih setelah melontarkan kata-kata busuknya.
“Kalau Mbak udah nggak peduli sama Sandrawi… nggak usah ikut campur lagi.” Ucapan Renaya lirih tapi berat, menyimpan peringatan yang tak butuh nada tinggi untuk terdengar mengancam.
“Jangan ikut campur sama apa pun yang bakal aku lakuin,” lanjutnya, tajam.
Kinasih membalas dengan cibiran. “Memangnya kamu bisa apa?”
Renaya menatapnya tanpa berkedip, tatapannya tak goyah sedikit pun. “Mbak pikir selama ini aku bertahan hidup karena siapa?” tanyanya, sebelum menjawab sendiri tanpa memberi ruang jeda, “Karena diriku sendiri!”
Suaranya menancap tajam, menusuk langsung ke dada Kinasih.
“Jangan pernah merasa Mbak punya pengaruh besar dalam hidupku,” lirih Renaya dengan dingin. “Mbak nggak pernah ngasih apa-apa buat aku… bahkan untuk sekadar peduli saja Mbak nggak pernah mampu.”
Kinasih menggigit bibir, matanya menajam. “Kamu yang pergi selama ini! Jauh dari keluarga… terus Mbak bisa apa kalau kamu sendiri yang pergi dan nggak mau berhubungan sama keluarga ini?”
“Sekarang pun sama… aku nggak butuh Mbak. Aku bisa melakukan semuanya sendiri!” ucap Renaya tegas, nada suaranya tak menyisakan celah perdebatan.
Kinasih terdiam, rahangnya mengeras menahan emosi. Ada rasa geram mengendap di dadanya, tapi ia memilih menyudahinya. Langkah kakinya mulai menjauh, namun baru beberapa langkah ia berbalik sedikit, bibirnya bergumam tanpa berniat menyembunyikan.
“Nggak kakak, nggak adik… kelakuan sama saja. Sok suci, padahal dalamnya busuk semua. Apa cuma aku satu-satunya yang waras di keluarga ini?”
Gumaman itu menyambar telinga Renaya seperti petir menggelegar. Tangannya terulur, menahan pundak Kinasih, menghentikan langkah sang kakak.
“Mbak pikir… Mbak baik?” lirih Renaya dengan nada getir.
Kinasih hanya menatapnya, dagunya terangkat tinggi dengan kesombongan yang tak terbantahkan.
Renaya mengejek dengan senyum miring. “Ngebela orang selingkuh itu baik? Mbak pikir hidup Mbak bersih?”
Ia sengaja mengulur kata, memancing lebih dalam, sebab malam ini matanya telah menyaksikan sesuatu yang mungkin Kinasih tak pernah tahu: kelakuan Bagantara di belakang istrinya sendiri.
Kinasih diam. Dan Renaya tahu, diam itu adalah celah.
“Suami Mbak ke mana?” pertanyaan itu menghantam telinga Kinasih, membuat dahi perempuan itu spontan mengernyit. Ingatannya kembali pada subuh yang baru saja ia lewati, saat bangun dalam keheningan dan mendapati sisi ranjangnya kosong.
Ia sempat berkeliling rumah, mengira Bagantara mungkin sekadar berada di ruang tengah. Tapi justru yang ditemui malah adik perempuannya yang baru pulang dini hari dan adu argumen tak terhindarkan.
Melihat perubahan raut wajah Kinasih, Renaya menyeringai tipis, menyelipkan ejekan lewat tatapannya.
“Mbak nggak curiga? Suaminya keluyuran tengah malam tanpa kabar?”
Kinasih mendengus, mencoba menepiskan semua keraguan. “Laki-laki wajar keluar malam.”
Renaya mengangguk, pura-pura memahami. “Tapi… katanya nggak pergi ke mana-mana?”
Pertanyaan itu menekan sisi rapuh Kinasih. Bibirnya terbuka, namun suara tercekat. Ia menyadari Bagantara memang tak mengucap sepatah kata pun soal rencana keluar rumah malam itu. Renaya menyaksikan langsung bagaimana mulut Kinasih membeku.
“Itu bukan urusan kamu, kan?” sanggah Kinasih akhirnya, suara mulai bergetar.
“Bukan urusanku, tapi barangkali… Mbak kepikiran...”
Suara berat memotong kata-kata Renaya.
“Kalian ngapain jam segini malah ngobrol?”
Bagantara muncul, melangkah ringan seolah tak terjadi apa-apa, namun matanya menyapu wajah dua perempuan yang saling berhadapan tajam. Sedikit tertegun, ia mempercepat langkah ke arah mereka. Ketegangan jelas tercium oleh hidungnya.
Bahkan tanpa kata-kata, Bagantara tahu rumah ini baru saja diaduk oleh pertengkaran panas. Terlebih, ia paham betul: Kinasih dan Renaya memang sering seperti air dan minyak. Tapi malam ini, tatapan Renaya terasa lebih menusuk dari biasanya.
Renaya tak menunduk. Ia justru menegakkan kepala, sorot matanya tajam menusuk pria yang kini berdiri di hadapannya.
“Dari mana aja, Mas?” tanyanya dingin, suara selidik mengiris di udara. Bagantara sontak siaga.
Sebelum memberikan jawaban, Bagantara terlebih dahulu melirik ke arah Kinasih. Ia ingin membaca gelagat sang istri, mencoba menakar seberapa dalam dampak dari pertanyaan Renaya barusan. Apakah pertanyaan itu sekadar basa-basi atau mengandung ancaman terselubung.
Namun, mendapati sorot mata Kinasih yang tajam menusuk ke arahnya, Bagantara mulai merasakan desakan aneh di dada. Ia bisa menebak, sebelum kedatangannya, dua perempuan itu sudah saling menyulut ketegangan dengan topik yang tak menyenangkan.
Kerongkongan Bagantara bergerak menelan ludah, seolah kata-kata tersangkut di sana.
Di sisi lain, Renaya justru menikmatinya. Ia menemukan kesenangan dalam melihat Bagantara kebingungan mencari celah untuk menjawab. Seulas senyum tipis terbit dari bibirnya.
“Aku nyari Renaya,” akhirnya Bagantara bersuara.
Senyum di wajah Renaya sontak menghilang, berubah menjadi garis datar.
“Nyari Renaya?” ulang Kinasih, ekspresinya jelas terbingung.
Bagantara mengangguk singkat, sesekali melempar pandangan waspada ke arah Renaya yang mulai menatapnya dengan pandangan tajam.
“Iya… akhir-akhir ini aku sering lihat dia keluar malam, pulang larut tanpa kejelasan,” ujar Bagantara, nadanya dibuat setenang mungkin, seolah ia hanya kakak ipar yang peduli.
“Jadi, aku coba nyari dia. Aku khawatir… apalagi setelah kejadian Sandrawi,” lanjutnya dengan suara lebih lirih.
Renaya merapatkan rahangnya. Guratan kekesalan jelas terukir di wajahnya. “Memangnya itu urusan Mas?” tanyanya ketus.
“Kita ini keluarga, Renaya. Aku cuma peduli. Setelah apa yang menimpa Sandrawi, aku nggak mau tragedi serupa terulang di keluarga ini,” tutur Bagantara, seolah berupaya tampil bijaksana.
“Makanya aku resah waktu tahu kamu sering keluar malam. Aku khawatir kamu kenapa-kenapa. Nggak ada jaminan semua orang bakal aman di luar sana, apalagi kamu perempuan… gampang rapuh kapan saja.”
Renaya membeku. Kata-kata Bagantara mengalir lancar, seakan telah dipersiapkan sejak lama. Ia ingin membalas, namun lidahnya terasa kelu. Ia hanya menganga tanpa suara, membuat kemenangan kecil bagi Bagantara yang mulai terlihat menghela napas lega.
“Derita Sandrawi bisa jadi pelajaran. Cukup sudah kehilangan satu anggota keluarga. Aku nggak mau lihat ada lagi yang menyusul. Ibu… Ibu sudah cukup sakit kehilangan Sandrawi.”
Nada suara Bagantara terdengar sendu, membuat Kinasih tergetar.
Kinasih menarik napas panjang, matanya berkaca-kaca. Ia merasa bangga. “Kamu baik banget, Mas… terima kasih udah peduli sama keluargaku,” katanya lembut.
Bagantara tersenyum hangat, tangannya terulur mengelus kepala Kinasih, gerakannya seolah penuh cinta. Namun, pemandangan itu justru memuakkan bagi Renaya.
“Selain sayang sama kamu, aku juga peduli dengan keluarga kamu, Sayang. Aku tahu kepergian Sandrawi sangat berat buat kamu. Dan aku nggak mau kamu menanggung kesedihan itu lagi,” ucap Bagantara sok lembut.
Renaya mengepalkan tangan. Rasa muak mendesak dari dalam perutnya. Tak tahan lagi, ia melangkah maju, menarik pundak Bagantara agar berhadapan dengannya.
“Berhenti, Mas. Dengar omonganmu barusan bikin aku pengen muntah!” hardiknya tanpa basa-basi.
Tangan Kinasih langsung menghentak bahu Renaya. “Begini caramu berterima kasih ke Mas Bagantara? Dia rela ngorbanin waktunya buat ngurusin kamu!”
Kinasih melanjutkan dengan nada penuh kegeraman, “Sudah untung kami masih peduli sama kamu, Renaya. Bukannya tahu diri, malah ngelunjak!”