Alika tak pernah membayangkan hidupnya bisa berubah secepat ini. Semua berawal dari satu permintaan sepele saudari tirinya, yang menyuruh Alika pergi ke sebuah hotel.
Karena sebuah kekeliruan, Alika justru masuk ke kamar hotel yang salah dan menghabiskan malam dengan Sagara, sang CEO dingin dan arogan yang selama ini hanya dikenalnya dari jauh.
Apa yang terjadi malam itu seharusnya dilupakan. Tapi takdir berkata lain.
Saat Alika mengetahui dirinya hamil. Ia dihadapkan pada pilihan yang sulit, menyembunyikan semuanya demi harga diri, atau menghadapi kenyataan dengan kepala tegak.
Namun, yang paling mengejutkan, justru adalah keputusan Sagara. Pria yang katanya selama ini tak tersentuh, datang kembali ke dalam hidupnya, menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar tanggung jawab.
Cinta perlahan tumbuh di antara keduanya. Tapi mampukah cinta bertahan saat masa lalu terus menghantui dan realita kehidupan tak berpihak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 26 Rumah Yang Terasa Asing
Setelah proses pernikahan sederhana itu selesai, Sagara segera mengajak Alika kembali ke mobil.
Tanpa sepatah kata pun, ia memberi isyarat pada Lee untuk membawa mereka menuju rumahnya.
Sagara tak ingin berlama-lama di tempat itu. Baginya, semakin cepat semuanya beres, semakin baik.
Di dalam mobil, suasana kembali membeku. Tak ada percakapan. Yang terdengar hanyalah suara mesin dan desahan nafas pelan dari keduanya.
Alika sebenarnya ingin bertanya banyak hal. Tapi entah mengapa, lidahnya terasa kelu. Suasana hening itu seakan menelan keberaniannya.
“Jangan khawatir. Aku akan pastikan semuanya baik-baik saja.” Sagara akhirnya membuka suara.
Sagara menatap lurus ke depan, tanpa menoleh ke arah Alika. Suaranya datar, tetapi ada ketegasan yang sulit disangkal dalam ucapannya.
“Terima kasih,” jawab Alika pelan, hanya mengangguk sambil memeluk perutnya yang belum terlalu tampak.
Alika mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini bukan mimpi. Ia kini seorang istri. Istri dari seorang pria yang nyaris tak dikenalnya.
Meski pernikahan telah dilangsungkan, perasaan canggung dan aneh masih menyelubungi hati Alika.
Ada sesuatu yang terasa menggantung. Seolah-olah ia baru saja membuka pintu ke dalam dunia yang asing—gelap, dan penuh tanda tanya.
“Apakah keputusan ini benar?’ pikirnya. “Atau justru ini awal dari masalah yang lebih besar?”
Mobil perlahan berhenti di depan sebuah rumah besar bercat abu dengan aksen klasik modern. Rumah itu tampak dingin, megah, dan jauh dari kesan hangat.
Alika menatap Sagara lalu memberanikan diri bertanya, “Anda yakin mau membawa saya ke rumah Anda? Bagaimana kalau… kekasih Anda marah?”
Pertanyaan itu menggantung di udara. Sagara tidak menjawab. Tatapannya tetap ke depan, rahangnya mengeras, dan kedua tangannya terkepal di pangkuan. Reaksi diam itu justru membuat Alika semakin gugup.
Lee yang duduk di kursi depan merasa perlu turun tangan. “Tuan Sagara tidak punya pacar atau kekasih, Nona,” ucapnya sopan namun tegas. “Anda bisa tinggal di kediaman Tuan sepuas hati Anda tanpa harus memikirkan orang lain.”
“Lain kali, jangan menanyakan sesuatu yang kamu tidak perlu mengetahuinya, Alika!” Sagara akhirnya angkat suara. Suaranya keras dan penuh tekanan. “Aku tidak suka seseorang mencampuri urusan pribadiku!”
Alika langsung tertunduk. “Maaf...” bisiknya. Ia menyesal telah bertanya hal yang mungkin terlalu pribadi. Tapi, tidakkah itu wajar? Ia kini istrinya. Tidakkah ia berhak tahu?
Sagara langsung berbalik pada Lee. “Lee, minta Vivian bawakan beberapa pakaian yang sesuai ukurannya. Suruh dia kesini sekarang juga.”
“Baik, Tuan.” Lee menunduk dan segera menghubungi pelayan lewat ponselnya.
Sagara turun terlebih dahulu dari mobil, membanting pintu dengan suara keras.
Alika masih diam di dalam, menarik napas panjang, lalu mengumpat dalam hati betapa bodohnya ia telah menyinggung pria itu.
Melihat Alika masih di tempat, Lee menoleh padanya dan berkata pelan, “Anda tidak perlu terlalu memikirkan perkataan Tuan. Dia hanya kelelahan dengan pekerjaan dan juga masalah-masalah yang datang bertubi-tubi belakangan ini.”
“Aku baik-baik saja, Lee. Terima kasih,” ucap Alika dengan senyum tipis, meski jelas tampak ada beban di matanya.
“Saya antar Anda ke kamar. Bersiaplah, mungkin sebentar lagi Tuan Hermawan akan datang mengunjungi Anda.”
Alika membelalak. “Kakek? Kesini? Untuk apa?”
“Tentu saja untuk melihat cucu menantunya. Tuan besar pasti bahagia mendengar kalian sudah resmi menikah.” Lee tersenyum hangat.
Mereka menaiki tangga menuju lantai dua. Setiap langkah membuat jantung Alika berdetak lebih cepat.
Saat tiba di depan sebuah pintu besar berwarna coklat tua, Lee membuka pintu itu dan mempersilakan Alika masuk.
“Ini kamar Anda. Silahkan beristirahat. Jika Anda membutuhkan sesuatu, panggil saya atau kepala pelayan dengan menggunakan lonceng ini.” Lee menunjuk lonceng kecil berwarna emas di atas meja kecil dekat tempat tidur.
“Lonceng?” Alika menatapnya dengan mata berbinar, sedikit kagum.
“Ya. Jadi anda tidak perlu berteriak,” jawab Lee ramah, sebelum undur diri dan menuruni tangga.
Setelah Lee pergi, Alika berdiri sendiri di kamar itu. Ia memandangi sekeliling—sebuah ruangan luas, dengan tempat tidur besar, lemari antik, dan jendela yang langsung menghadap taman belakang.
Indah, tapi terasa dingin dan asing.
Tak jauh dari sana, di lorong gelap yang tak terlihat oleh Alika, seseorang sedang mengawasinya.
Sagara berdiri dengan tatapan kosong, memperhatikan setiap gerak Alika tanpa bicara.
“Menikah dengan perempuan yang tidak pernah aku cintai... adalah mimpi buruk,” gumamnya lirih, lalu berjalan menjauh dari sana, menelan kesepiannya dalam diam yang panjang.