Rara hanyalah seorang gadis biasa yang hidupnya berubah sejak diadopsi oleh pasangan kaya, Nadine dan Damar. Di usianya yang masih 15 tahun, ia merasa mendapat kesempatan kedua dalam hidup-tempat tinggal yang nyaman, kasih sayang, dan harapan baru. Tapi semua itu bukan tanpa alasan. Rara diangkat bukan hanya sebagai anak, tapi juga disiapkan untuk satu tujuan: menjadi ibu pengganti bagi anak pasangan itu.
Sebagai bentuk balas budi, Rara menerima takdirnya. Ia ingin membalas kebaikan mereka dengan keikhlasan, tanpa berharap apa-apa. Tapi takdir memiliki caranya sendiri untuk menghancurkan segalanya.
Di malam ulang tahun temannya, sebuah kesalahan tak termaafkan terjadi. Dalam keadaan mabuk dan tak sadar, Rara dan Damar menghabiskan malam bersama-tanpa cinta, tanpa kesengajaan, hanya kekeliruan yang tak bisa dihapus. Beberapa minggu kemudian, saat prosedur inseminasi kembali direncanakan, Damar menghentikannya. Ia tahu... Rara mungkin sudah hamil. Dan yang tumbuh di dalam rahim itu adalah anaknya-bukan dari hasil inseminasi, melainkan dari peristiwa yang disangkal dan ditutupi.
Sementara Nadine, yang begitu bahagia dengan kehadiran janin dalam rahim Rara, tak menyadari bahwa anak itu bukanlah hasil inseminasi seperti yang ia yakini. Sampai akhirnya, perhatian berlebih Damar pada Rara membongkar semuanya.
Kehancuran pun menyusul. Nadine merasa dikhianati, kebenaran -tentang janin yang dikandung Rara, dan tentang hubungan terlarang yang tak pernah Rara inginkan.
Diusir.
Dihina.
Dibuang.
Rara kehilangan segalanya-termasuk harga dirinya. Tapi ia memilih pergi... karena ia tahu, dirinya bukan pelaku... tetapi korban dari cinta beracun yang seharusnya tak pernah tumbuh, karena cinta dari pria seegois Damar bukan sesuatu yang bisa dihindari-itu adalah jerat.
Dan Damar sendiri,terjebak antara dua perempuan yang sama-sama mengisi ruang berbeda dalam hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
Begitu mobil berhenti di pelataran rumah sakit, Nadine langsung membuka pintu tanpa menunggu Damar. Ia menatap rumah sakit dengan wajah cemas, lalu melirik jam tangan elegan di pergelangan kirinya. Damar yang baru saja mengangkat ponsel, buru-buru menahan lengannya.
"Tunggu sebentar, Din. Kita masuk sama-sama, ya. Aku angkat telepon ini dulu sebentar. Dari kantor."
Namun Nadine menggeleng pelan, matanya lurus ke arah pintu masuk.
"Nggak usah, Mas. Kamu angkat aja dulu. Aku duluan aja masuk. Aku cemas sama keadaan Rara."
Tanpa menunggu balasan, Nadine melangkah cepat menuju pintu rumah sakit, meninggalkan Damar yang terpaku sambil menatap layar ponselnya. Damar sempat ragu, ingin menyusul. Tapi suara di ujung telepon membuatnya tak bisa segera memutuskan. Ia menarik napas dalam, menyugesti dirinya sendiri bahwa Nadine adalah wanita kuat, dia pasti tidak akan bertindak gegabah... meskipun jauh di lubuk hatinya, ia lebih takut jika Nadine terlalu banyak bicara pada Rara. Terlalu banyak tahu.
Sementara itu, Nadine berjalan melewati lorong rumah sakit, setiap langkahnya cepat dan mantap. Ketika ia sampai di depan pintu kamar rawat yang diberi tahu Damar sebelumnya, tubuhnya sempat berhenti. Ia berdiri beberapa detik, memandangi pintu putih itu. Lewat kaca kecil di bagian atas, terlihat Rara baru saja keluar dari kamar mandi. Nadine mengatup bibirnya erat. Wajahnya sulit ditebak—ada kilatan emosi yang menyala sebentar di sana: marah, jengah, muak... entah apa yang lebih dominan. Lalu, ia menarik napas dan membuka pintu.
Rara mendengar suara pintu terbuka. Ia menoleh cepat, berharap Damar datang lagi, dan langsung ingin menolak kehadirannya.
"Mas Damar, aku udah bilang—"
Ucapan itu terputus saat ia melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. Nadine. Rara langsung tertegun.
"Oh... Bu Nadine? Kenapa nggak ngomong dulu kalau mau ke sini?"
Nada bicara Rara terdengar datar, ada sedikit defensif di dalamnya, namun tetap sopan. Wajah Nadine sempat berubah. Emosi yang tadi tersimpan rapi tiba-tiba menguap. Ia mengganti ekspresi dengan wajah khawatir, lalu mendekat cepat ke arah Rara.
"Rara, apa yang terjadi sama kamu? Kenapa bisa begini? Kata dokter kamu pendarahan ringan. Kenapa kamu bisa sampai masuk rumah sakit? Kenapa kamu nggak kasih tahu saya dari awal?"
Tanpa menunggu jawaban, Nadine membimbing Rara untuk duduk kembali di atas ranjang. Tangannya bergerak lincah, mengatur bantal, menarik selimut, merapikan posisi tubuh Rara seperti seorang ibu yang benar-benar perhatian.
"Apa yang sakit? Gimana rasanya sekarang? Kamu bed rest berapa lama? Kata dokter kamu nggak boleh makan sembarangan, kamu tau itu? Kamu sempat jatuh ya? Kamu kenapa nggak bilang sama saya? Kenapa kamu malah ngomongnya ke suami saya?"
Nada suara Nadine terdengar menekan, terutama di bagian akhir.
Rara menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. Matanya menatap Nadine lurus.
"Saya bukan nggak mau bilang ke Ibu... cuma saya benar-benar nggak tahu ini bakal separah itu. Saya pikir cuma capek aja, bantu-bantu di rumah, makanya saya merasa nggak perlu heboh. Tadinya saya mau ke rumah sakit sendiri, nggak bilang siapa-siapa. Tapi Mas Damar tahu saya mau pergi, lalu maksa nganterin. Padahal saya udah pesen gojek, Bu."
Nadine mengangkat alis, matanya menyipit sedikit. Ia menatap Rara dengan ekspresi skeptis.
"Masak sih? Suami saya maksa kamu? Damar itu bukan orang yang memaksa. Kamu nggak usah merepotkan dia, Ra. Di rumah ada sopir, ada pembantu. Kalau kamu butuh apa-apa, ngomong aja. Tapi jangan lagi-lagi minta bantuan dari suami saya."
Nada suaranya lebih tajam. Tegas. Seolah menutup ruang pembelaan.
Rara terdiam. Ia mengerti arah pembicaraan Nadine. Dan ia tahu tak ada gunanya menjelaskan lebih jauh. Lagipula, Nadine pasti lebih percaya Damar.
"Dalam hati Rara bergumam. Toh, siapa juga yang mau merepotkan suaminya sendiri? Bukan aku yang minta. Suaminya sendiri yang terlalu gatal mungkin. Atau mungkin aku terlalu menarik di matanya."
Namun ia hanya mengangguk.
"Iya Bu, saya juga nggak ada niat apa-apa. Nggak pernah terbesit buat merebut suami Ibu."
"Bagus kalau kamu berpikir begitu," sahut Nadine cepat. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya lebih rendah tapi mengandung ancaman tersirat. "Tapi jangan sampai ya Ra. Saya ini bukan orang pemaaf. Kalau saya sampai dikhianati... saya nggak tanggung-tanggung balasnya."
Tepat saat itu, seorang suster masuk membawa baki makanan siang.
"Permisi, ini makan siangnya Mbak Rara," ujar suster.
"Oh iya, taruh di sini ya. Biar saya bantu suapin," kata Nadine sambil mengambil sendok dan duduk di sisi tempat tidur.
Ia menyuapi Rara perlahan, lalu kembali bicara.
"Oh iya Ra, kandunganmu ini udah berapa bulan ya sekarang? Tiga bulan sesuai program, ya?"
Rara sempat ragu menjawab. Tadi saat pemeriksaan, dokter menyebut usia kandungan sudah masuk empat bulan lebih. Tapi ia tidak ingin memicu kecurigaan Nadine.
"Iya Bu, jalan empat bulan."
Nadine tersenyum tipis, lalu menyendokkan lagi nasi ke mulut Rara.
"Aku udah mikirin ini sebelumnya, Ra. Karena kandunganmu masih tiga bulan, aku rasa... lebih baik kita pisah rumah aja."
Rara menatap Nadine bingung.
"Maksud Ibu gimana?"
Nadine melanjutkan dengan nada serius.
"Selama ini kita tinggal bertiga di rumah, kan? Aku jarang di rumah, Damar juga. Jadi kamu dan suamiku sering berdua aja di rumah. Aku pikir... itu nggak sehat. Bukan aku nuduh kamu, ya. Aku cuma ingin kita jaga jarak biar tetap profesional. Jadi aku udah siapin rumah buat kamu. Fasilitasnya lengkap. Lokasinya nggak jauh, cuma beda dua komplek dari rumah kita sekarang."
Rara masih mematung, lalu menjawab pelan.
"Kalau belum dapat rumahnya... nggak apa-apa, Bu. Saya cari sendiri aja, saya nggak mau merepotkan."
"Udah, nggak usah. Rumahnya sudah ada. Kamu tinggal nempatin. Tinggal di sana sampai kamu lahirin bayi ini. Setelah bayi itu lahir, kamu kasih ke saya. Perjanjian kita selesai. Rumah itu bisa kamu pakai, dan biaya perawatanmu nanti juga saya tanggung. Bahkan kalau kamu mau, saya akan bantu kamu dapat pekerjaan."
Rara mengangguk. Tidak ada keberatan dari wajahnya. Bahkan rasa lega menyelimutinya. Jauh dari Damar... mungkin itu hal terbaik saat ini.
"Iya Bu, saya juga merasa lebih tenang. Terima kasih. Saya siap tinggal di rumah itu."
Senyum muncul di wajah Nadine. Ia menyuapi Rara suapan terakhir, lalu menatap perempuan muda itu dengan rasa puas.
Dalam hati, Nadine membatin, Akhirnya. Rumah tanggaku akan kembali utuh. Sama seperti dulu sebelum ada Rara. Damar akan kembali jadi milikku sepenuhnya.
Berikut adalah detail dialog yang diminta dengan tanpa menggunakan tanda titik dua:
...➰➰➰➰...
Damar masuk ke dalam ruang rawat inap Rara setelah percakapan antara Nadine dan Rara selesai. Damar berdiri di pintu, lalu berbicara dengan suara yang tenang namun penuh kesan.
"Sudah selesai ngobrolnya?"
Nadine mengangguk dengan wajah yang agak lelah namun masih menjaga ketenangannya.
"Iya, sudah Mas. Kami gimana, harus ke kantor atau gimana?" tanya Nadine.
Damar berpikir sejenak, mengerutkan alisnya, kemudian menjawab dengan nada datar.
"Enggak dulu. Asisten bisa menangani, kamu bisa di sini dulu," jawab Damar sambil menoleh ke arah Rara yang masih terbaring lemah di ranjang.
Tiba-tiba, ponsel Nadine berdering, membuatnya sedikit terkejut. Dia melihat nama yang tertera di layar, itu Bima.
"Maaf Mas, aku angkat telpon dulu ya," kata Nadine sambil mengalihkan pandangan ke Damar, kemudian melangkah ke luar ruangan.
Nadine pergi meninggalkan ruang rawat inap, menghindar dari pertanyaan yang kemungkinan akan muncul. Sebelum keluar, dia menoleh ke Rara dan memberi pesan singkat.
"Jaga diri baik-baik ya, jangan sampai kenapa-kenapa. Nanti aku balik lagi," ucap Nadine dengan nada yang lembut, namun matanya menunjukkan rasa khawatir yang dalam.
Setelah keluar, Nadine segera mengangkat telepon dari Bima yang sudah menunggu di ujung sana.
"Hallo, Bima?" Nadine menyapa dengan suara sedikit terengah, mencoba menyembunyikan kerisauannya.
Bima di sisi lain terdengar santai namun penuh perhatian. "Kamu dimana? Kok ribut banget, kamu di butik ya? Besok kamu di butik atau di rumah?"
Nadine tersenyum sejenak, meskipun perasaan di dalam hatinya sedikit bergejolak. "Oh, ini aku di rumah sakit. Ada yang sakit?"
"Siapa yang sakit, kamu sakit?" Bima menjawab, masih bercanda.
Nadine tertawa pelan, namun terdengar sedikit cemas. "Bukan aku, tapi Rara. Cewek Undik yang kamu kenal itu. Dia pendarahan, jadi aku bawa dia ke rumah sakit. Kondisinya agak lemah," jawab Nadine, mencoba tetap terdengar normal.
"Oh, jadi Rara? Kenapa dia bisa pendarahan? Kan katanya kandungannya stabil?" Bima bertanya, agak khawatir.
"Begitulah, kondisinya nggak terlalu baik, Bima. Aku cuma mau temenin dia sementara waktu," jawab Nadine.
Bima diam sejenak, lalu mengubah nada suaranya menjadi lebih serius. "Nadine, kamu yakin itu anak hasil inseminasi dari kalian berdua? Atau... mungkin anak Damar?"
Nadine langsung terdiam mendengar pertanyaan itu. Kata-kata Bima seperti petir yang menghentakkan pikirannya. Seketika itu, perasaan curiga yang sebelumnya hanya samar mulai menguat.
"Kenapa kamu bilang begitu?" Nadine bertanya dengan suara yang sedikit bergetar, meskipun berusaha keras untuk tetap tenang.
Bima melanjutkan, tidak menyadari ketegangan yang semakin membungkus Nadine. "Aku cuma nanya aja, Nadine. Kan Damar sering bilang kalau dia sangat khawatir soal hasil inseminasi itu. Jadi, kalau aku boleh bilang, mungkin dia punya alasan tersendiri, kamu tahu?"
Nadine tidak langsung menjawab. Di dalam hatinya, ada gejolak yang semakin membesar. Dia mencoba untuk tetap berpikir positif, tapi kata-kata Bima menanamkan keraguan yang sulit dia singkirkan.
"Aduh, Bima, enggak mungkinlah. Damar bukan orang seperti itu. Rara juga baik kok, aku sering ngobrol sama dia. Dia juga ngerti banget soal orang ketiga dan segala macam. Kami bertiga... kami baik-baik aja," Nadine mencoba meyakinkan dirinya sendiri, meskipun suaranya sedikit tersendat.
Bima tidak menyerah, bahkan semakin menguatkan dugaan yang muncul di pikirannya. "Nadine, kalau kamu mau tahu lebih lanjut, kamu bisa datang ke poli kandungan yang kamu periksa waktu itu. Tanyakan langsung ke dokternya, mungkin dia bisa kasih penjelasan lebih detail. Aku bisa temenin, kok."
Nadine berpikir sejenak, kemudian menggelengkan kepala meskipun Bima tidak bisa melihatnya. "Ah, enggak usah deh, Bima. Aku bisa sendiri. Aku sekalian mau tanya soal kondisi kandungannya Rara juga. Baiklah, kalau begitu, nanti aku tanya langsung aja," jawab Nadine, berusaha terdengar yakin.
"Ya sudah, kalau gitu. Tapi hati-hati ya, Nadine. Kalau ada yang aneh, kabari aku," Bima menambahkan dengan nada sedikit khawatir.
"Terima kasih, Bima," Nadine menjawab singkat, kemudian memutuskan telepon.
Setelah meletakkan ponselnya, Nadine tidak langsung kembali ke ruang rawat inap. Rasa curiga dan marah mulai berkecamuk dalam dirinya. Dia memutuskan untuk pergi ke poli kandungan rumah sakit itu, untuk mencari tahu kebenaran tentang kehamilan Rara.