Berawal dari ketidaksengajaan lalu berujung pada pernikahan yang tidak direncanakan. Nadia yang mencoba bertahan hidup dengan menggantungkan harapannya pada pernikahan yang hanya dijadikan sebagai hubungan sebatas ranjang saja, tak mengira hidupnya akan berubah setelah ia memberi Yudha seorang anak yang diidam-idamkan.
“Jangan pernah berharap lebih dari pernikahan ini. Aku menikahimu bukan karena cinta, tapi karena kita sama-sama saling membutuhkan, Nadia,” kata Yudha.
“Tapi bagaimana jika suatu hari nanti kamu yang lebih dulu jatuh cinta padaku?”
“Tidak akan mungkin itu terjadi.”
Lantas bagaimanakah kelanjutan hubungan pernikahan Nadia dan Yudha yang hanya berdasarkan pada kebutuhan ranjang semata? Akankah cinta bersemi diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Curahan Hati Yudha
Curahan Hati Yudha
“Yud, Maura ada sama kamu? Dari tadi Mama telepon-telepon tidak tersambung. Mama itu mau mengajak Maura ke toko obat herbal. Kata teman Mama, di sana ada obat herbal yang bagus untuk menyuburkan kandungan. Jadi rencananya sore ini Mama mau mengajak Maura. Mama pikir dia ada sama kamu.” Ucapan Elvi saat menghubungi Yudha beberapa menit lalu.
Yudha duduk termenung di meja kerjanya dengan pikiran melayang-layang dan hati yang resah. Pagi tadi saat ia berangkat kerja, Maura masih terlelap di tempat tidurnya. Kata asistennya, hari ini Maura tidak ada jadwal pemotretan.
Beberapa kali Yudha mencoba menghubungi ponsel Maura. Tapi ponsel Maura masih belum aktif. Yudha pun hanya bisa meniupkan napasnya resah, memikirkan ke mana istrinya pergi. Mungkinkan Maura pergi lagi ke tempat spa untuk menenangkan diri?
Matahari sudah terbenam di ufuk barat, rembulan malam pun sudah menampakkan sinarnya saat Yudha menghubungi Rizal, meminta bertemu di sebuah tempat yang sudah jarang sekali mereka kunjungi. Permintaannya itu pun disambut baik oleh Rizal.
Tidak seperti janji temu sebelumnya, kali ini Rizal memenuhi janjinya. Pria itu datang tepat waktu menemui Yudha di sebuah bar yang tidak jauh dari pusat kota. Sebuah bar yang dahulu sering mereka kunjungi semasa kuliah.
“Sorry, Yud. Kemarin aku tidak sempat datang menemuimu. Di rumah sakit banyak pasien yang harus aku tangani,” kata Rizal sebagai kalimat pembuka obrolan mereka.
Yudha menghela napas sejenak usai meneguk minuman lalu menaruhnya di meja. Kemudian mengedarkan pandangannya sejenak ke setiap sudut bar itu. Sedetik kemudian seulas senyum tersungging di bibirnya.
“Kamu masih ingat tempat ini kan?” tanya Yudha, tersenyum memandangi sahabatnya.
“Ya, tentu saja aku masih ingat.” Jelas Rizal masih ingat dengan tempat ini. Sebab di tempat inilah dulu Yudha mengungkapkan semua perasaan yang dia pendam tentang Maura. Di tempat ini jugalah Rizal terpaksa harus mengalah dan memilih menyembunyikan hubungannya dengan Maura.
Maura merupakan primadona di kampus tempat mereka belajar dulu. Banyak pria yang jatuh hati pada Maura. Yudha adalah salah satu diantaranya. Karena Maura saat itu dekat dengan Rizal, sehingga Yudha mengungkapkan perasaan yang ia simpan untuk Maura, berharap Rizal bisa membantu mendekatkan dirinya dengan Maura.
Rizal memang membantu, namun dengan mengorbankan perasaannya. Demi balas budi, Rizal kemudian mengakhiri hubungannya dengan secara sepihak tanpa memberitahu alasannya pada Maura. Rizal beralasan bahwa hubungan mereka tidak akan mungkin bertahan karena orangtua Maura tidak pernah memberi restu. Sehingga Rizal memilih menyerah dan mundur teratur.
“Kamu tahu, aku sangat mencintai Maura,” kata Yudha dengan raut wajah yang sulit terbaca. Namun jika diperhatikan dengan seksama, seperti ada kesedihan yang tersembunyi dibalik wajah itu.
“Sejak dulu. Sejak dulu aku sudah tahu, Yud. Sudah berulangkali juga kamu mengatakan itu padaku.”
“Tapi kenapa aku merasa Maura tidak mencintaiku?”
Rizal tak menanggapi. Darahnya berdesir mendengar itu. Hal yang pernah ia khawatirkan selama ini pun akhirnya terjadi.
“Kenapa aku merasa Maura hanya terpaksa menerimaku?” adu Yudha, mengungkapkan isi hati yang ia pendam selama ini tentang Maura.
Selama ini Yudha merasa hanya mencintai sendiri. Entah mengapa ia merasa balasan cinta yang ia terima dari Maura itu tidak tulus.
Rizal masih tak menanggapi. Ia kehilangan kata-kata, hanya bisa menelan ludah mendengar curahan hati sahabatnya itu.
“Apa Maura mencintai orang lain, Zal?”
Rizal tersentak kaget. Mendadak ia salah tingkah saat mata Yudha menatapnya lekat. Mendadak sekujur tubuhnya pun menjadi panas dingin. Padahal tatapan Yudha itu biasa-biasa saja, tetapi entah mengapa terasa tajam baginya.
Baru beberapa jam lalu Maura berada di tempat tidurnya, berbagi kehangatan dengannya. Perasaan Rizal pun menjadi tak enak. Diam-diam ia sudah mengkhianati sahabatnya itu.
Rizal menyesal, tidak seharusnya ia melakukan itu. Tetapi apalah daya, ia terlanjur terbuai dengan godaan Maura. Apalagi, mereka masih sama-sama saling mencintai.
“Kenapa kamu berpikir seperti itu, Yud? Bukankah selama ini Maura setia sama kamu?” tanya Rizal.
“Entahlah, Zal. Sikap yang Maura tunjukkan belakangan ini seolah menggambarkan kalau dia mencintai orang lain. Belakangan ini juga dia selalu menolak berhubungan denganku.”
Rizal semakin salah tingkah. Seketika ia di dera rasa bersalah. Tak sanggup melihat wajah Yudha, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Ketika Rizal menoleh menghindar bertatap mata dengan Yudha, disaat yang bersamaan pula Yudha melihat tanda merah di leher Rizal saat Yudha hendak menuang bir ke dalam gelasnya yang sudah kosong.
“Kamu alergi, Zal?” tanya Yudha. Padahal setahunya, Rizal tidak punya riwayat alergi apapun. Tetapi jika diperhatikan lagi, tanda merah di leher sahabatnya itu tidak terlihat seperti alergi. Tanda itu malah terlihat seperti tanda ...
Rizal semakin salah tingkah. Serba salah harus menjawab apa.
“Ooh ... i-ini ... ini hanya gatal-gatal biasa.” Saking gugup, Rizal sampai terbata menjawabnya.
“Digigit serangga atau digigit perempuan?” kelakar Yudha seraya tersenyum kecil. Kemudian kembali menenggak bir yang sudah ia tuang ke dalam gelas.
Rizal yang salah tingkah pun hanya bisa tertawa sumbang. Gurauan sahabatnya itu serasa seperti peluru yang melumpuhkan seluruh urat syarafnya. Bahkan untuk beranjak dari tempat duduk sekedar untuk ke toilet saja ia tak bisa.
“Kamu punya pacar sekarang? Wow, kenapa tidak bilang padaku?” ujar Yudha mengalihkan kesedihannya sejenak demi mendengar kabar baik yang sudah lama ia nantikan dari sahabatnya itu.
“Pacar? Kamu ngaco, Yud. Mana ada perempuan yang mau denganku.”
“Mana mungkin tidak ada, Zal. Kamu itu seorang dokter, tampan pula. Tidak mungkin tidak ada yang mau sama kamu. Maura sepertinya harus tahu kalau kamu punya pacar sekarang.”
“Tidak ada, Yud. Aku tidak punya pacar. Ini hanya gatal-gatal biasa kok.”
Yudha hanya tersenyum tipis. Tatapannya pada Rizal terlihat berbeda dari biasanya. Seolah tatapan itu mengandung makna yang tak tertebak.
“Aku ingin melihat seperti apa reaksi Maura saat dia tahu kamu sudah punya pacar. Dulu kamu yang paling dekat dengannya,” kata Yudha, kemudian menenggak segelas besar bir sampai habis tak bersisa.
****
Maura baru saja selesai mandi dan berpakaian malam itu sepulangnya dari apartemen. Badannya terasa lengket dan bau keringat, sehingga mengharuskan ia mandi walaupun hari sudah malam. Ia hendak naik ke tempat tidur saat tiba-tiba pintu kamarnya di buka dengan kasar oleh seseorang.
Maura tersentak kaget, urung naik ke tempat tidur dan langsung menghampiri Yudha yang berdiri di ambang pintu itu dengan keadaan yang kacau.
“Sayang, kamu dari mana?” tanya Maura. Padahal ia sendiri sudah tahu kalau suaminya itu baru saja bertemu dengan Rizal. Karena saat suaminya itu menelepon Rizal, ia sedang bersama Rizal, saling memeluk di atas tempat tidur.
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Kamu dari mana saja, Maura? Bukankah hari ini jadwalmu kosong? Kamu pergi menemui siapa tadi? Hah?” Nada suara Yudha meninggi, sembari menatap nyalang Maura. Satu langkah majunya merupakan satu langkah mundur Maura.
“Aku tadi diajak Mama ke hajatan temannya. Terus setelah itu aku ... aku ...”
“Bersama seseorang?”
“Aku bersama Stella, pergi nonton, sayang. Kenapa kamu jadi curigaan seperti ini sih?”
“Kamu pikir aku bodoh, Ra? Aku sudah menghubungi Stella. Dan kamu tidak ada bersama dia.”
Maura salah tingkah, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Tadinya aku memang bersama Stella. Tapi setelah itu Stella pulang lebih dulu karena urusan yang mendadak. Jadi aku lanjut nonton sendirian,” kilahnya.
“Benarkah?”
Maura mengangguk cepat. Yudha pun meniupkan napasnya lega. Kemudian ia mendekat, lebih merapatkan diri pada Maura.
“Aku menginginkanmu malam ini, Maura. Tolong layani aku,” pinta Rizal sembari mendekatkan wajahnya hendak mengecup bibir ranum Maura.
Namun lagi-lagi hanya penolakan yang ia terima.
“Kamu mabuk, sayang?” Maura menjauhkan wajah seraya menutup hidungnya. Bau alkohol yang tercium dari mulut Yudha itu membuatnya tidak nyaman.
“Apa Rizal juga mabuk? Kalian minum di mana tadi?” tanya Maura tanpa sadar, mendadak teringat Rizal yang tidak terbiasa minum minuman keras.
Maura masih ingat sekali kelemahan Rizal yang satu itu. Jika Rizal mabuk, pria itu bisa pingsan sampai berhari-hari.
“Kamu tahu dari mana aku bersama Rizal tadi?”
-To Be Continued-
cepat dong yud ceraikan si maura