Hafsah bersimpuh di depan makam suaminya, dalam keadaan berbadan dua.
Karena kesalahan fatal dimasalalunya, kini Hafsah harus hidup menderita, dan berakhir diusir oleh orangtuanya.
Sepucuk surat peninggalan suaminya-Raga, berpesan untuk diberikan kepada sahabatnya-Bastian. Hafsah bertekad untuk mencari keberadaan sahabatnya itu.
5 tahun pencarian yang nihil, akhirnya Hafsah bertemu juga dengan Bastian. Namun, pertemuan itu mengungkap sebuah rahasia besar, yang akhirnya membuat Hafsah semakin benci setengah mati kepada Bastian.
"Bunda ... Yuna ingin sekali digendong Ayah!" Ucapan polos Ayuna mampu menggunjang jiwa Hafsah. Ia dihadapkan pada kebingungan, dan sebuah pilihan sulit.
Mampukah Hafsah mengendalikan rasa benci itu, demi sang putri? Dan, apa yang sebenarnya terjadi?
SAQUEL~1 Atap Terbagi 2 Surga~
Cuma disini nama pemeran wanitanya author ganti. Cerita Bastian sempat ngegantung kemaren. Kita simak disini ya🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 32
Nyonya Dina yang pada saat ini langsung masuk kedalam ruangan suaminya, sontak saja dibuat bingung dengan kemarahan sang suami kepada putranya.
"Mamah ... Kenapa nggak bilang Papah kalau mau datang?" tegur tuan Gading yang kini sudah merubah raut wajahnya. Pria parubaya itu beranjak dari tempatnya, dan langsung menghampiri sang istri.
Nyonya Dina menatap bergantian kearah suami dan juga putranya dengan kening mengernyit. Dia lalu menatap kembali suaminya, meminta penjelasan tentang diamnya sang putra.
"Kamu apakan putraku, Pah?" setelah itu nyonya Dina mendekat kearah Bastian. Namun sebelum itu, Bastian sudah lebih dulu menyembunyikan buku itu didalam saku jasnya. "Bas ... Kamu nggak papa, Sayang? Katakan sama Mamah, kamu diapain sama Papah kamu? Nanti biar Mamah marahin kembali," tekan nyonya Dina, sambil melirik sinis kearah sang suami.
"Nggak, Mah! Nggak ada apa-apa kok. Papah cuma marah, karena tadi Bastian telat datang meting! Ya sudah, kalau begitu Bastian kembali keruangan Bastian dulu! Daa, Mah!"
Dengan sedikit menunduk, Bastian langsung saja melenggang keluar. Pikirannya berkecamuk, bingung apa yang harus dia lakukan saat ini. Dia hanya takut, jika Papahnya memberitahu sang Mamah saja. Bastian masih belum siap, jika keluarga besarnya tahu tentang keberadaan Ayunna.
Begitu sampai diruangnya, Bastian langsung saja menjatuhkan tubuhnya diatas sofa, dengan kembali membuka diary Hafsah.
Dia masih penasaran, bagaiman diary tersebut bisa sampai ditangan Papahnya. Siapa yang sudah mengambil diary itu.
"Darimana Papah mendapatkan diary ini? Lalu, apa Hafsah tahu jika bukunya telah hilang?" gumam Bastian semabari membuka kembali buku itu.
Tok.. Tok..
Pintu ruangan itu terketuk dari luar, hingga mampu membuat lamunan Bastian buyar.
"Masuk!" perintahnya.
Rupanya Dimas. Asisten muda itu lantas segera masuk, dan berhenti didekat sofa bosnya.
"Bagaimana, Dimas? Apa ayuna sudah dirumah?"
"Sudah tuan! Semuanya beres!" jawab Dimas mengangkat jempolnya.
Bastian lalu bangkit. Sejujurnya dia tidak mau membagi rahasia besar itu kepada siapapun. Namun, demi kebaikan bersama, dia harus memberi tahu sang Asisten, tentang siapa Ayunna yang sebenarnya.
"Dimas, ada yang ingin saya bicarakan! Kamu duduklah!" ucap Bastian, sembari mendudukan kembali tubuhnya.
Dimas sedikit memicing, karena tidak biasanya Tuannya itu bersikap cemas, seolah baru saja terjadi masalah besar.
"Ada apa, Tuan!"
"Jaga rahasia besar saya, karena kamu orang yang saya percaya! Ayuna ... Bocah kecil itu adalah anak kandungku!" tekan Bastian dengah wajah seriusnya.
Dimas membolakan mata, terkejut bukan main. Jadi benar! Apa yang dia curigai rupanya benar! Ayuna adalah putri kandung Bosnya.
'Rupanya benar dugaanku! Pantas saja wajahnya mirip sekali dengan Tuan pas kecil!'
"Tuan bagaimana bisa? Bukannya Hafsah sudah memiliki suami? Lalu ... Bagaimana, ah ... Saya tidak mengerti, Tuan! Apa orang tua Anda tahu masalah ini?"
"Papah tahu melalui buku diary ini! Ini buku diary milik Hafsah! Tapi yang saya bingungkan ... Darimana Papah mendapat buku diary itu!" papar Bastian masih terlihat bingung. Dia mengangkat buku diary tadi, lalu kembali menyimpannya didalam jas.
"Tuan, kalau saran saya ... Anda harus mengatakan yang sebenarnya kepada Tuan besar dan Nyonya! Entah bagaimana tanggapan mereka, setidaknya Tuan sudah memperjuangkan Ayunna. Cepat atau lambat, pasti semua akan terungkap!"
Bastian tak bergeming atas ucapan Asistennya kini. Dia menunduk, kalut, tanpa dapat berpikir jernih. Egonya masih terlalu tinggi, takut jika keberadaan Ayunna akan menjadi ancaman bagi karir perusahaannya.
Drrt.. Drrt..
Ponsel Dimas bergetar. Asisten Bastian yang bernama Novi, kini baru saja menghubunginya.
"Ada apa, Nov?"
"Maaf pak Dimas mengganggu waktunya! Tolong sampaikan pada Tuan Bastian, jika beliau saat ini sedang ditunggu seorang wanita yang bernnama Jesica!" terang Novi yang kini berhenti diarea lobi.
"Baik, nanti saya sampaikan!"
Setelah itu panggilan terputus. Dimas sendiri tidak tahu siapa wanita yang bernama Jesica itu.
"Tuan, ada sedang ditunggu seseorang di Lobi! Kata Novi, namanya Jesica!"
"Apa? Jesica?" terkejutnya. Setelah itu Bastian langsung bangkit dan melenggang keluar menuju lantai dasar.
Entah siapa wanita itu, hingga membuat Bastian merada terancam akan kehadirannya. Langkah jenjang Bastian membawanya melangkah, hingga dia tiba disamping sofa tempat tunggu.
Eghem!!!
Wanita cantik itu seketika menoleh. Wajah cantik yang dilapisi make up sederhana itu, kini langsung bangkit dari duduknya, begitu mendengar suara orang yang sudah lama dia rindukan.
"Bastian ... Aku sangat merindukanmu!" seru Jesica dengan langsung menghambur ke tubuh Bastian.
Bastian membolakan mata terkejut melihat aksi heroik wanita didepanya kini. Dia mencoba melepaskan pelukan Jesica, karena banyak karyawan yang tengah berlalu lalang, sambil menatap curiga kearahnya.
"Jesica! Beri jarak! Ingat, aku sedang bekerja!" tekan Bastian melirik sekelilingnya.
"Biarkan! Aku datang jauh-jauh, karena sangat rindu sama kamu, Sayang!" pekik Jesica degan sorot mata memohon.
Bastian yang suda merasa pusing, langsung saja menarik lengan Jesica untuk dibawa menuju ruangannya. Dia masih tidak menyangka, mengapa mantan kekasihnya itu tiba-tiba datang tanpa mengabarinya terlebih dulu.
Jesica Fransiska~Mantan kekasih Bastian sewaktu dia mejenjang pendidikan saat di London dulu. Hubungan mereka sudah terjalin hampir 3 tahun lamanya. Jesica yang pada saat itu selalu memberi perhatian lebih pada Bastian, membuat Bastian terenyuh dengan ketulusan temannya itu. Jesica menemani Bastian disaat pria tampan itu merasa kalut akan masalah pribadinya, sewaktu dia meninggalkan Indonesia
Namum karena merasa kurang cocok, dan Bastian juga harus kembali, jadi dia memutuskan untuk mengakhiri hubunganya dengan sang kekasih. Jesica sempat menolak, karena dia merasa terabaikan pada saat itu. Hingga wanita cantik berpipi lesung itu nekad untuk menyusul mantan kekasihnya.
Setelah sampai didalam ruangan, Bastian langsung saja menghempas tangan Jesica dengan kencang. Sorot matanya jelas menolak akan kehadiran mantan kekasihnya itu.
"Hubungan kita sudah berakhir 1 tahun lalu, Jesica! Untuk apa lagi kamu menemuiku?" Bastian masih melayangkan tatapan tajam, hingga deru nafasnya tersengal hebat.
"Aku tidak pernah menganggap hubungan kita berakhir, Bastian! Aku masih tidak terima dengan keputusanmu waktu lalu. Putus dilakukan oleh dua pihak ... Sementara kita, aku tidak pernah menyetujui keputusanmu itu! Bastian, please ...."
Jesica mencoba mendekat, menampakan wajah semelas mungkin, hingga tas jinjingnya terjatuh dibawah kakinya.
"Aku tidak perlu menunggu keputusanmu, Jesica! Memangnya kamu siapa, ha? Sekarang, lebih baik kamu pergi dari kantorku, dan jangan pernah lagi menginjakan kakimu kesini!" sentak Bastian yang sudah mulai terbawa emosi.
Jesica langsung terdiam. Kedua kakinya terpaku ditempat, kala pertama kalinya mendengar bentakan dari sang mantan kekasih. Jesica mulai meneteskan air matanya, menunduk dengan wajah semelas mungkin.
Dan, inilah yang paling Bastian benci. Salah satu kelemahannya menghadapi Jesica, disaat melihat mantan kekasihnya itu menangis pilu.
'Aku yakin, kamu pasti tidak tega melihatku menangis Bastian!' Jesica mengerjabkan matanya, bersorak gembira dalam hatinya.
Apa yang dikatakannya memang benar adanya. Bastian mulai mengubah mimik wajahnya. Raut yang semula memerah, kini berangsur padam dan kembali normal.
"Jes, ayolah ... Jangan pernah menangis dihadapanku! Kamu tahu, aku paling ngga tega lihat kamu menangis!" kini Bastian sudah berhasil mendekat kearah Jesica, sembari mengusap air mata sang mantan kekasih.
Jesica masih terisak. Dia mulai mengangkat pandanganya, saat wajahnya diusap lembut oleh Bastian. "Bas ... Kamu dulu sudah berjanji mau menikahiku! Kamu berjanji akan menjadikan aku istrimu! Kamu selalu bercerita tentang masa-masa yang akan datang bersamaku. Tapi sekarang ... Kamu pergi begitu saja membawa separuh jiwaku. Kamu jahat, Bas!"
Buliran bening itu kembali berjatuhan semakin deras. Jesica memukul dada Bastian, meluapkan semua kekecewaannya selama ini. Namun hanya satu yang menjadi penghalang bagi mereka, yakni Agama.
"Jes, lupakan semua janjiku! Kita nggak akan pernah bisa bersatu! Dinding penghalang kita terlalu tinggi. Ingat itu, Jes!" sergah Bastian. Dia mencoba menyadarkan mantan kekasihnya itu, sambil menggoyangkan kedua bahu jesica.
Namun kali ini, Jesica mengunci tatapan mata Bastian. Wajahnya tampak serius, walaupun sudah basah oleh airmatanya.
"Aku siap mengikuti agamamu, jika kamu menikahimu, Bastian! Perjuangan apa lagi yanh kamu tanyakan, untuk menunjukan sebesar apa cintaku padamu!" tekan Jesica.
'Tapi bukan itu masalah utamanya, Jes! Aku sudah memiliki seorang anak dengan wanita lain!' jerit batin Bastian.
Merasa kasihan, Bastian langsung saja membawa Jesica kedalam peluaknya. Hanya dengan cara itu, dia dapat menenangkan mantan kekasihnya.
** **
Waktu sudah menunjukan pukul 15.00 sore.
Hafsah baru saja keluar bersama Dista, sambil bercengkrama ringan. Karena tidak membawa motor, Hafsah berdiam didepan kantor, menunggu jemputan, seusai yang diucapkan Bastian tadi pagi.
"Sah, mana Bastian? Ini sudah pukul 3 lebih," seru Dista, setelah dia mematikan mesin motornya.
Hafsah spontan melihat arlojo ditangannya. Dan memang, sebentar lagi akan pukul setengah 4. Sementara Bastian, dia belum juga menampakan batang hidungnya.
"Apa aku ngojek aja ya, Dis? Kasian Simbok kelamaan ngurus Ayunna."
"Kita tunggu sampai jam 4 dulu! Semisal nggak kesini, berarti memang dia nggak jadi jemput kamu? Dan, untuk masalah pulang, nanti biar aku anterin kamu saja-"
"Nggak Dis! Jauh banget, apalagi kamu bawa motor sendiri. Nggak usah, biar aku pake ojek aja." Tolak Hafsah.
Namun hingga pukul 16.00 Bastian sama sekali tidak datang. Dengan terpaksa, Hafsah lebih memilih naik ojek untuk pulangnya.