Sebuah jebakan kotor dari mantan kekasih memaksa Jenara, wanita karier yang mandiri dan gila kerja, untuk melepas keperawanannya dalam pelukan Gilbert, seorang pria yang baru dikenalnya. Insiden semalam itu mengguncang hidup keduanya.
Dilema besar muncul ketika Jenara mendapati dirinya hamil. Kabar ini seharusnya menjadi kebahagiaan bagi Gilbert, namun ia menyimpan rahasia kelam. Sejak remaja, ia didiagnosis mengidap Oligosperma setelah berjuang melawan demam tinggi. Diagnosis itu membuatnya yakin bahwa ia tidak mungkin bisa memiliki keturunan.
Meskipun Gilbert meragukan kehamilan itu, ia merasa bertanggung jawab dan menikahi Jenara demi nama baik. Apalagi Gilbert lah yang mengambil keperawanan Jenara di malam itu. Dalam pernikahan tanpa cinta yang dilandasi keraguan dan paksaan, Gilbert harus menghadapi kebenaran pahit, apakah ini benar-benar darah dagingnya atau Jenara menumbalkan dirinya demi menutupi kehamilan diluar nikah. Apalagi Gilbert menjalani pernikahan yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lima
“Gilbert, kau terlihat seperti baru saja bangkit dari kubur,” sindir Althaf, suaranya dipenuhi nada mengejek yang lembut. “Kau menghilang tanpa kabar setelah aku mengirimmu untuk urusan supplier dan tiba-tiba kau kembali dengan wajah kusut. Kau tahu, kau terlihat persis seperti lelaki yang baru kehilangan… yah, kau tahu, keperjakaannya.”
Deg!
Pulpen perak di tangan Gilbert hampir saja terjatuh. Jantungnya berdebar kencang, memompa darah dingin ke seluruh tubuhnya. Meskipun hanya sebuah sindiran ringan yang mungkin Althaf lontarkan karena kebiasaan mengejeknya, tebakan Althaf benar-benar tepat sasaran.
Gilbert segera menarik napas, berusaha bersikap normal. Ia tidak boleh goyah. Sedikit saja kegugupan akan membongkar rahasia memalukan itu. Jika Althaf sampai tahu bahwa dirinya, Gilbert pria yang dijuluki Ice King karena sifatnya yang dingin dan kaku terhadap wanita—telah ‘diperkosa’ oleh seorang wanita asing dan ditinggalkan dengan cek, harga dirinya akan semakin hancur. Citra dirinya sebagai pria yang selalu memegang kendali akan sirna. Althaf dan, yang lebih parah, Alena istri Althaf pasti akan mengolok-oloknya seumur hidup.
“Apa yang kau bicarakan, Al?” jawab Gilbert, suaranya berusaha terdengar datar, meskipun ada sedikit nada tegang yang tak bisa ia sembunyikan. “Tolong! Aku sedang sibuk. Aku hanya kurang tidur. Urusan supplier baru itu lebih rumit dari yang kau bayangkan.”
Althaf tidak bodoh. Ia mengenal Gilbert lebih dari siapa pun, tetapi ia memutuskan untuk tidak mendesak. Urusan bisnis lebih penting.
Althaf melempar beberapa lembar dokumen tebal ke meja Gilbert.
“Baiklah, Tuan COO. Aku datang bukan untuk mengganggu ritual melamunmu,” kata Althaf. “Ini adalah informasi yang kau minta tiga hari lalu, tepat setelah kau kembali dengan kondisi acak-acakan itu. Data lengkap tentang Jenara Sanjaya dan PT Digdaya Guna.”
Gilbert menghentikan putaran pulpennya. Matanya segera tertuju pada tumpukan dokumen itu. Ini adalah hasil penyelidikan cepat yang ia minta dari Althaf, segera setelah ia tiba di kantor, sebelum ia sempat memikirkan lima miliar itu.
“Aku ingin kau membacanya. Aku penasaran, ada urusan apa kau dengan CEO Digdaya Guna? Kau tidak berencana pindah kerja ke perusahaan lain kah?” tanya Althaf, nada suaranya kini kembali serius, mengisyaratkan bahwa ia mulai mencium bau masalah yang serius.
Gilbert mengabaikan pertanyaan itu. Ia segera meraih dokumen itu, membuka halaman pertama.
JENARA SANJAYA – Chief Executive Officer (CEO), PT Digdaya Guna.
Usia: 34 tahun.
Latar Belakang: Lulusan terbaik Harvard Business School. Mewarisi perusahaan properti raksasa ayahnya dan melipatgandakan kekayaannya dalam lima tahun.
Status: Lajang. Dikenal sangat tertutup, workaholic, dan berdarah dingin dalam bisnis.
Gilbert membaca setiap detail dengan cermat. Ia terkejut. Meskipun ia menduga Jenara bukan orang biasa, ia tidak menyangka wanita itu adalah CEO dari Digdaya Guna—perusahaan yang kekayaan dan asetnya hampir setara dengan gabungan tiga perusahaan sejenis di Jakarta. Jenara adalah wanita yang sejajar, atau bahkan lebih tinggi, darinya di hirarki bisnis.
Fakta ini tidak membuat Gilbert merasa lebih baik. Sebaliknya, ia merasa semakin terhina.
Wanita sekaya dan sekuat dia... memperlakukanku seperti barang sewaan murahan? Seolah-olah uang lima miliar itu adalah uang receh yang bisa dia lempar untuk menutupi kesalahannya.
“Dia bukan orang biasa,” gumam Gilbert, lebih kepada dirinya sendiri.
Althaf menyipitkan mata. “Jelas bukan. PT Digdaya Guna adalah raksasa properti. Apa hubunganmu dengannya, Gil?”
Gilbert dengan cepat menutup dokumen itu, bersikap seolah itu hanyalah kepentingan bisnis biasa.
“Tidak ada hubungan apa-apa. Kebetulan aku sempat berpapasan dengannya. Aku hanya memastikan apakah ada kemungkinan bisnis di masa depan. Tidak lebih dari itu. Kenapa? Kau curiga?”
Althaf mengangkat bahu. “Tentu saja aku curiga. Aku CEO, dan kau COO-ku. Kau menghilang, kembali seperti mayat hidup, dan tiba-tiba meminta due diligence pribadi terhadap salah satu CEO wanita paling kuat di Asia. Itu mencurigakan.”
Althaf kemudian mengubah topik, menyentuh inti masalah yang sebenarnya. “Baiklah, lupakan wanita cantik tapi berbahaya itu. Aku butuh laporanmu tentang supplier baru kita. CV Asta mengancam akan menolak untuk mengakhiri kontrak perjanjian bahan baku produk unggulan kita yang sudah habis jangka waktunya. Aku butuh laporanmu segera untuk aku jadikan amunisi negosiasi.”
“Ya, ya, aku tahu!” jawab Gilbert, sedikit terlalu cepat. Ia merasa terdesak. Urusan supplier itu berantakan karena ia tidak menyelesaikan tugasnya. “Aku akan selesaikan hari ini juga. Tidak perlu khawatir. Aku akan menangani CV Asta.”
Althaf menghela napas, menyadari bahwa Gilbert sedang dalam mode defensif.
“Jangan hanya ‘iya, iya,’ Gil. Aku butuh fokusmu. Jangan biarkan masalah pribadi atau masalah wanita merusak perusahaan ini,” sindir Althaf lagi, dengan penekanan yang jelas.
“Sudah cukup, Tuan Althaf yang terhormat!” Gilbert mendongak, tatapannya tajam dan dingin. “Aku akan menyelesaikannya. Sekarang, tolong tinggalkan aku sendiri. Aku harus bekerja.”
Althaf mengangguk, kali ini tanpa perlawanan. Ia tahu Gilbert butuh ruang. “Baiklah."
Althaf keluar dari ruangan itu.
Setelah pintu tertutup dan suara langkah Althaf menjauh, Gilbert segera menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia memejamkan mata, memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut hebat. Kepala yang sakit itu adalah harga yang harus ia bayar setiap kali ia mencoba melupakan kejadian di hotel.
Ia membuka lagi dokumen tentang Jenara. Ia melihat fotonya, senyum tipis yang dingin, elegan, dan penuh perhitungan. Jenara yang ia lihat di foto ini adalah Jenara yang sama yang menulis cek lima miliar. Jenara yang menganggap dirinya sebagai seorang pria bayaran atau lebih tepatnya gigolo.
Bayangan kejadian itu kembali menyerbu. Bukan hanya bayangan penyesalan dan amarah, tetapi juga bayangan kemolekan tubuh Jenara. Rambut panjangnya yang tergerai di bantal, kulitnya yang halus, cara dia merintih, dan cara dia mendesah, semua tersimpan dalam memori otaknya. Hasrat yang dipicu oleh obat itu kini berubah menjadi dorongan alamiah yang membingungkan.
“Sial!” Gilbert mengutuk pelan.
Ia harus menghadapi Jenara. Tidak bisa tidak. Ia harus mengembalikan cek itu dan menuntut permintaan maaf, pengakuan, dan pertanggungjawaban. Ia harus membuktikan bahwa dirinya bukan pria bayaran.
Gilbert meraih ponselnya. Ia membuka kalender. Tugas kantor mendesak, tetapi misi pribadinya lebih penting.
Pertama, selesaikan CV Asta. Kedua, cari Jenara Sanjaya.
...********...
Sementara Gilbert bergumul dengan kehancuran martabatnya, Jenara menyalurkan semua energi amarah dan penyesalan ke dalam pekerjaan. Tiga hari terakhir adalah neraka yang sibuk. Ia mengabaikan rasa sakit di tubuhnya dan memaksakan diri untuk fokus 100% pada ekspansi bisnis.
Ia telah memanggil seluruh manajer di bawah PT Digdaya Guna, menuntut laporan yang sempurna, dan mengawasi langsung proses pembukaan tiga kantor cabang baru di luar pulau Jawa. Kesibukan ini adalah pelarian yang sempurna. Dengan begitu, ia tidak punya waktu untuk memikirkan wajah damai pria asing di pagi itu, atau cek lima miliar yang ia tinggalkan.
Jenara duduk di ruang rapat pribadinya, dihadapkan pada layar besar yang menunjukkan draft desain interior cabang baru.
Alexa, Sekretaris andalannya, masuk dengan membawa secangkir teh panas dan beberapa berkas.
“Bu, semua laporan sudah saya verifikasi. Cabang Surabaya dan Medan sudah siap diluncurkan. Cabang Makassar hanya tinggal menunggu persetujuan akhir dari Walikota,” lapor Alexa, suaranya efisien dan profesional.
“Bagus,” jawab Jenara, tanpa menoleh. “Bagaimana dengan urusan Nicolas?”
Alexa tersenyum tipis, senyum yang dingin dan memuaskan. “Sudah beres, Bu. Tanpa jejak. Seluruh aset pribadinya dibekukan, dan ada sedikit masalah di laporan pajaknya lima tahun lalu yang baru muncul ke permukaan. Dia akan sibuk menghadapi hukum selama beberapa tahun ke depan. Tidak ada yang akan mengaitkan masalah ini dengan PT Digdaya Guna atau Ibu.”
Jenara mengangguk puas. Satu masalah selesai. Tinggal satu lagi.
“Dan urusan perjalanan luar negeri?” tanya Jenara. Ia berencana meninggalkan Jakarta selama seminggu penuh.
“Sudah saya urus semuanya, Bu. Tiket ke London untuk pertemuan dengan Bentley group lalu dilanjutkan ke Paris untuk pameran arsitektur. Semua sudah siap. Kita berangkat lusa pagi. Seminggu penuh, tanpa gangguan,” lapor Alexa.
Jenara akhirnya menoleh, menatap Alexa dengan pandangan yang lebih lembut dari biasanya.
“Bagus, Alexa. Kau memang yang terbaik,” puji Jenara. “Siapkan saja dirimu. Perjalanan ini akan melelahkan.”
Meninggalkan Jakarta. Meninggalkan Indonesia. Itu adalah cara Jenara untuk memastikan dirinya tidak akan bertemu dengan Gilbert. Ia percaya, uang itu telah membeli keheningan. Ia ingin melupakan malam gila itu secepat mungkin, tanpa menyadari bahwa Gilbert kini telah mendapatkan datanya dan tidak ada niat sedikit pun untuk menggunakan uang lima miliar itu.
kesian anaknya kalo kenapa2 😭
btw jen, dia suamimu loo, bapak dari si bayi 😌