Nayara dipaksa menghadapi Pengkhianatan menyakitkan dari suaminya, Ardan (Direktur Konstruksi), hanya untuk menyadari bahwa pengusiran itu adalah upaya putus asa Ardan untuk melindunginya dari konspirasi berbasis Hutang Karma masa lalu.
.
.
Didorong rasa cinta yang besar terhadap Ardan , Nayara berpacu melawan waktu memperebutkan 'Kunci Master' ke The Grid, sistem infrastruktur yang dikendalikan secara Biometrik oleh kesadaran seorang anak.
.
.
Setelah menyelamatkan Ardan dari transformasi digital, Nayara menemukan ancaman yang sebenarnya kini merasuki orang terdekatnya, menandakan bahwa perang melawan The Grid baru saja dimulai.
______________
Tolong dibantu untuk like , komen dan follow akun aku ya, bantuan kalian sangat berharga untuk aku🫶
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dgweny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Luka Yang Tak Terlihat
Haiii Guys sebelum baca tolong di bantu klik like nya ya sama bolehhh komen nya dan follow nya jangan lupa hihihi. Bantuan kalian sangat berarti buat aku🫶
Happy reading 🌷🌷🌷
...****************...
Matahari pagi masuk pelan lewat sela tirai.
Nayara belum tidur sama sekali.
Malam tadi terasa panjang, dan setiap kali ia memejamkan mata, suara Ardan dan nama Mira terdengar lagi di kepalanya.
Pagi ini, Ardan bergegas lebih awal.
Ia berpakaian rapi, menyemprotkan parfum yang biasanya hanya ia pakai untuk pertemuan penting.
Nayara hanya menatap dari meja makan, diam, menyendokkan bubur ke mangkuknya sendiri.
“Pagi,” sapa Ardan singkat sambil menyesap kopi.
Nayara hanya mengangguk, suaranya tersekat di tenggorokan.
Ardan tidak menyadari mata istrinya yang sembab.bIa terlalu sibuk mengecek ponselnya. Sekali dua kali, layarnya menyala—dan meski Nayara tak bisa melihat jelas, ia tahu pesan itu bukan dari rekan kerja biasa.
Nada suaminya berubah tiap kali notifikasi masuk, seolah jantungnya ikut berdetak di dalam layar.
“Jangan lupa makan siang ya , dan.” kata Nayara akhirnya, lembut tapi datar.
Ardan mengangkat wajah sebentar dan tersenyum tipis, lalu menatap jam tangannya. “Ya, aku harus berangkat dulu. Ada rapat di luar kantor.”
Ia mengecup kening Nayara sekilas, tapi ciuman itu terasa seperti kebiasaan, bukan kasih sayang.
Pintu tertutup.
Rumah kembali sunyi.
Nayara duduk lama di kursinya.
Tangannya meremas sendok tanpa sadar.
Pikirannya berputar, lalu berhenti pada satu kata: Mira.
Nama itu terasa asing sekaligus… familiar.
Dan perlahan, satu demi satu potongan masa lalu muncul kembali.
Flashback — Lima Belas Tahun Lalu
Lorong sekolah SMA itu selalu ramai setiap pagi. Tapi di satu sudut dekat loker, ada sekelompok siswi yang menjadi pusat perhatian semua orang.
Mereka cantik, populer, dan selalu tahu bagaimana membuat orang lain merasa kecil.
Di tengah lingkaran itu, ada seorang gadis berambut panjang yang tersenyum manis tapi dingin — Mira Lestari.
“Eh, itu Nayara, kan?” katanya suatu pagi, menunjuk seorang gadis yang lewat sambil menunduk membawa buku tebal di pelukannya.
“Nayara Prasetyo. Anak beasiswa yang katanya pinter banget,” sahut salah satu temannya sambil terkekeh.
Mira menatap Nayara dari ujung kepala sampai kaki, lalu tersenyum miring.
“Pintar sih, tapi lihat deh… bajunya. Kayak baju peninggalan tante-tante.”
Tawa kecil meledak di sekelilingnya.
Nayara berhenti sesaat, matanya menatap sekilas ke arah mereka, lalu kembali berjalan tanpa menjawab.
Tapi Mira belum selesai.
Ia melangkah mendekat, suaranya manis tapi mengandung racun.
“Nayara,” panggilnya.
Gadis itu berhenti, memutar tubuh pelan.
“Ya?”
“Kamu nggak malu, ya, suka sama Ardan?” Mira berkata dengan senyum santai, tapi tatapannya tajam.
Nayara mematung.
Wajahnya memanas.
“Aku… nggak—”
“Semua orang tahu, kok,” potong Mira cepat. “Kamu selalu lihat dia dari jauh, kan? Tapi tolong deh, Ardan itu bukan tipe yang mau sama cewek kayak kamu.”
Tawa kecil terdengar lagi.
Nayara menunduk, menggigit bibirnya, lalu berlari pergi tanpa menoleh.
Di belakangnya, Mira hanya tersenyum puas.
“Lihat? Gampang banget buat bikin dia nangis,” ujarnya ringan.
Dan sejak hari itu, nama Nayara selalu jadi bahan olok-olok kecil di antara geng Mira.
Kembali ke masa kini
Napas Nayara tercekat saat kenangan itu muncul begitu jelas.
Ia menatap kosong ke meja dapur, jari-jarinya bergetar.
Jadi ini orangnya… perempuan itu.
Perempuan yang dulu membuatnya merasa tak pantas, dan sekarang muncul lagi—kali ini di sisi suaminya.
Tubuhnya terasa dingin.
Ia berjalan ke ruang kerja Ardan, membuka laptop suaminya yang masih menyala.
Dari folder kerja, ia menemukan sebuah proposal baru dengan nama “Mira Adelia – Public Relation Consultant”.
Jadi benar. Mereka bekerja bersama.
Nayara menutup laptop perlahan.
Dadanya sesak, tapi kali ini ia tidak menangis. Tidak seperti dulu, saat di sekolah ia hanya bisa menunduk dan diam.
Kini ia menatap bayangan dirinya di layar yang mati.
Wajah yang dulu polos kini penuh lelah, tapi matanya tetap sama — lembut, tapi kuat.
Kalau dulu aku diam, sekarang aku harus tahu sampai sejauh mana mereka berdua.
Aku nggak akan biarkan sejarah terulang.
Ia menatap ke arah jendela, di mana cahaya pagi mulai menyinari tanaman hias yang ia rawat di teras.
Hatinya pelan-pelan mulai menyiapkan diri untuk kebenaran yang mungkin jauh lebih menyakitkan dari yang ia kira.
Sore harinya, Ardan pulang lebih malam dari biasanya.
Ia menyapa seperti biasa, menanyakan makan malam, lalu masuk kamar mandi.
Nayara menatap punggungnya saat pria itu berjalan.
Di tatapannya, tidak ada lagi hanya cinta. Ada curiga, ada luka, dan ada keteguhan baru yang lahir dari kehancuran kecil malam sebelumnya.
Ketika suara air mengalir dari kamar mandi, Nayara mengambil ponsel Ardan yang tergeletak di meja.
Layar menyala—muncul satu pesan baru.
Mira : “Terima kasih untuk hari ini. Kamu selalu tahu cara buat aku merasa nyaman, Dan.” 💬
Tangan Nayara bergetar, tapi wajahnya tetap datar. Ia menatap layar itu lama, lalu meletakkannya kembali perlahan.
Di dalam hati, hanya satu kalimat yang terlintas:
Kamu mungkin nggak sadar, Dan. Tapi aku tahu… luka ini bukan baru muncul. Ini cuma luka lama yang kamu buka lagi.
Bersambung...