Bukan pernikahan kontrak! Satu atap selama 3 tahun hidup bagai orang asing.
Ya, Aluna sepi dan hampa, mencoba melepaskan pernikahan itu. Tapi, ketika sidang cerai, tiba-tiba Erick kecelakaan dan mengalami amnesia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon erma _roviko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terjebak 2015
Setelah perawat selesai menyesuaikan infus dan monitor, Aluna kembali duduk di samping Erick. Keheningan di ruang ICU terasa dingin dan tajam. Ia menatap wajah suaminya.
Wajah itu damai, bebas dari kekakuan pangeran es yang ia kenal.
Namun, kedamaian itu didapat dengan harga yang mengerikan, ingatan dan memorinya telah terhapus.
Pintu geser terbuka. Tuan Hartono dan Karina Wijaya masuk. Mereka bergerak dengan urgensi yang bukan berasal dari cinta, melainkan dari perhitungan bisnis yang kejam.
Mereka tidak melihat anak atau saudara yang sakit, melainkan aset perusahaan yang rusak.
“Apa yang dia katakan? Apakah dia menyebutkan kata sandi apa pun?” Tuan Hartono bertanya, suaranya pelan tapi bergetar karena frustasi. Matanya tajam, memindai Aluna, sama sekali tidak peduli pada air mata yang masih mengering di pipinya.
Aluna menatapnya, bibirnya tercekat.
“Kata sandi? Ayah, dia baru saja mengalami cedera kepala parah.”
Karina mendesak, mengabaikan protes Aluna. “Jangan berbelit-belit, Aluna. Apakah dia ingat proyek-proyek yang sedang berjalan? Proyek titan di Singapura? Dia harus segera menandatangani transfer dana sebelum pasar buka! Ini masalah puluhan miliar!”
Dunia mereka berputar di sekitar saham, kontrak, dan reputasi.
Amnesia bagi mereka hanyalah kerusakan logistik yang berpotensi menyebabkan kerugian besar.
Kehidupan manusia hanyalah angka dalam laporan triwulanan.
“Dia... dia tidak ingat apa-apa,” jawab Aluna, suaranya serak. “Dia mengira ini tahun dua ribu lima belas.”
Tuan Hartono terdiam. Ekspresinya melunak, tetapi bukan karena simpati, melainkan ekspresi seorang manajer yang menganalisis data yang mengejutkan.
“Dua ribu lima belas?” Ia mengulang, nadanya tidak percaya. “Itu berarti dia melupakan pernikahan ini. Melupakan semua perusahaan yang kita beli sejak dua ribu tujuh belas. Melupakan merger dengan Grup Mandala.”
“Dia melupakan pangeran es,” bisik Aluna, tetapi kata-katanya tenggelam.
“Dia melupakan aku yang sekarang. Dia mengira aku melewatkan wisudanya, Ayah.”
“Lupakan wisuda!” potong Karina tajam. “Jika dia tidak mengingat pernikahan, dia akan mengira dia masih bujangan. Bagaimana kita menjelaskan bahwa dia memiliki istri yang memegang tiga puluh persen saham perwalian? Ini akan jadi berita utama yang mengerikan!”
Saat ketegangan memuncak, pintu ruang konsultasi terbuka dan Dokter Bayu muncul. Ia melihat pertengkaran senyap antara Aluna dan mertuanya.
Dia mengisyaratkan Aluna untuk mengikutinya, sebuah perintah untuk meninggalkan Hartono dan Karina dalam perhitungan biaya dan kerugian citra mereka.
Ruang konsultasi itu kecil, steril, dan ironisnya, dingin, meskipun dipenuhi oleh kehangatan yang dibutuhkan Aluna. Dokter Bayu duduk di seberang Aluna.
“Apa yang terjadi pada suami saya, Dokter? Apa ini berarti dia tidak akan pernah ingat?” tanya Aluna, menggenggam tangannya erat-erat hingga buku-buku jarinya memutih.
Dokter Bayu mengangguk perlahan, ekspresinya serius. “Nyonya Aluna, ini adalah kasus Retrograde Amnesia yang cukup parah. Cedera kepala yang dialaminya sangat signifikan. Kami yakin ingatannya akan kembali, setidaknya sebagian, tetapi ini membutuhkan waktu.”
Aluna menarik nafas. “Tapi mengapa dua ribu lima belas? Mengapa bukan lima tahun lalu, atau dua tahun lalu?”
“Itulah bagian yang paling menarik, dan mungkin yang paling menyakitkan, bagi Anda.”
Dokter Bayu melanjutkan. “Ingatan yang hilang adalah ingatan yang paling baru dan, yang terpenting, paling sarat emosi negatif.”
Ia menjelaskan dengan hati-hati.
“Dia melupakan masa-masa transisi kritis, terutama tiga tahun terakhir pernikahan Anda. Otaknya, secara harfiah, memotong periode yang penuh tekanan, mungkin masa-masa paling sulit dalam hidupnya. Ini adalah mekanisme pertahanan psikologis yang brutal.”
Aluna merasakan air mata kembali. Diagnosis itu bukan sekadar catatan medis, tapi penjelasan psikologis yang brutal atas perpisahan mereka.
“Bagi tuan Erick,” kata Dokter Bayu, nadanya melunak. “Dia masih seorang pemuda yang baru lulus, sangat mencintai tunangannya, dan penuh ambisi, sebelum ia harus memakai topeng yang terlalu berat untuk dia pikul. Otaknya menolak untuk mengingat identitas dan kondisi yang telah merusaknya.”
Erick yang dingin adalah Erick yang sakit, pikiran itu menghantam Aluna dengan kekuatan tsunami. Ia menghabiskan tiga tahun terakhir membenci perubahannya, dan kini ia tahu, perubahan itu adalah penyakit yang ia lawan.
“Lalu, apa yang harus saya lakukan, Dokter?"” Aluna berbisik, suaranya nyaris hilang. “Apakah saya harus memaksanya mengingat, demi bisnisnya?”
Dokter Bayu menggeleng.
Dokter Bayu condong ke depan, matanya tajam dan tegas, mengubah ruang konsultasi yang tenang itu menjadi ruang komando.
“Ini adalah bagian yang paling penting, Nyonya Aluna. Kesembuhan tuan Erick, bahkan kesembuhan fisiknya, sangat bergantung pada stabilitas emosionalnya. Dan saat ini, stabilitas emosionalnya ada di tahun dua ribu lima belas. Ada satu aturan emas yang tidak boleh Anda langgar.”
Ia menekan setiap kata. “Jangan pernah mencoba mengembalikan ingatannya secara paksa. Jangan membicarakan tentang pernikahan Anda, pekerjaan barunya, atau konflik apapun yang terjadi setelah dua ribu lima belas. Jika Anda menunjukkan foto pernikahan, atau dokumen perceraian Anda, Anda akan membahayakan pemulihan neurologisnya.”
Aluna menelan ludah. “Maksud Anda... saya harus berbohong kepadanya?”
“Anda harus memainkan peran itu. Anda harus menjadi Luna yang ia ingat kekasih mudanya, bukan istri yang menuntut cerai. Ingat, ia kembali ke masa yang ia anggap bahagia dan aman. Setiap kali Anda mencoba memaksanya mengingat masa-masa penuh tekanan, Anda berisiko memicu kerusakan psikologis yang lebih jauh.”
Dokter Bayu berdiri, mengakhiri sesi.
“Kita harus memberinya lingkungan yang aman dan penuh kasih sayang, seperti yang ia percayai telah ia tinggalkan. Ini bukan tentang kebohongan, Nyonya Aluna, ini tentang terapi penyelamat jiwa.”
Aluna bangkit, merasakan beban berat takdir menimpanya. Ia baru saja menandatangani surat cerai untuk melepaskan peran itu, dan kini dokter memintanya untuk memainkan peran yang jauh lebih tua, lebih mendalam, dan yang paling menyakitkan lebih palsu.
Ia harus kembali ke masa di mana ia masih mencintai Erick tanpa syarat, padahal ia baru saja memutuskan untuk membencinya.
Ia kembali ke hadapan tuan Hartono dan Karina, yang menunggunya dengan tidak sabar di koridor. Ekspresi mereka menuntut, siap untuk menginterogasi.
“Bagaimana, Aluna? Apa keputusannya?” tanya Tuan Hartono.
Aluna menatap mereka. Ia merasakan kekuatan baru, bukan kekuatan amarah, tetapi kekuatan dari pengetahuan dan tanggung jawab murni yang ia emban. Ia tidak lagi peduli pada uang, bisnis, atau reputasi mereka.
“Dokter bilang keadaannya stabil, tetapi ia menderita amnesia parah. Ia tidak ingat tahun-tahun terakhir,” kata Aluna, suaranya kembali tegas, tanpa getaran. “Dan kita tidak boleh memaksanya mengingat. Itu perintah medis.”
Karina mendengus. “Ini tidak masuk akal! Siapa yang akan mengelola tanda tangan, krisis di bursa saham? Kami tidak bisa menunda ini hanya karena dia sedang berkhayal tentang masa kuliah!”
Aluna menatap Karina lurus-lurus, matanya dingin seperti mata mertuanya sendiri.
“Itu urusan kalian. Perusahaan adalah milik kalian. Tapi Erick…” Ia menarik nafas. “Sekarang, dia adalah tanggung jawab saya. Saya adalah istrinya, dan saya akan berada di sini untuknya.”
Ia melanjutkan, nadanya final. “Kau tidak perlu khawatir tentang citra perusahaan. Mulai sekarang, kau hanya perlu khawatir tentang kondisi Erick. Jauhkan semua dokumen bisnis, semua yang terjadi setelah dua ribu lima belas, darinya. Jika tidak, saya akan melarang kalian semua masuk ke ruang ini.”
Melihat gertakan Aluna yang didukung oleh otoritas medis, Hartono dan Karina mundur.
Wajah Tuan Hartono berubah merah, tetapi ia tahu bahwa mengabaikan peringatan dokter tentang cedera kepala akan menghancurkan citra publik mereka lebih parah daripada kebangkrutan.
Aluna segera pergi ke sudut koridor, mengeluarkan ponselnya. Ia harus membereskan kekacauan yang baru saja ia tinggalkan.
Ia membuka pesan untuk pengacaranya, Hendrawan.
‘[Gugatan ditunda. Status Kritis. Amnesia. Aku harus menjaganya. Jangan hubungi saya dulu.]’