Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.
Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 - Tamu Yang Merubah Hidup Tari
Rumah tua itu berdiri tenang di tengah deru kendaraan yang tak pernah henti melintas di Jalan Buah Batu, Bandung. Bangunannya masih asli sejak zaman kolonial, berdinding tembok tebal berlapis cat putih gading yang sudah mengelupas di beberapa sudut. Atap gentengnya yang kemerahan sedikit bergelombang, namun masih kokoh. Jendela-jendela kayu berdaun lebar terbuka lebar setiap pagi, menyambut angin kota yang lembab dengan aroma khas dedaunan dan tanah basah.
Halaman depan rumah tak begitu luas, tapi cukup untuk menampung deretan pot dan vas bunga yang dipajang dengan apik. Tepat di samping rumah induk, sebuah paviliun kecil direnovasi menjadi toko bunga mungil yang diberi nama Toko Bunga Dara. Pintu kayu berukir dengan lonceng kecil di atasnya akan berbunyi nyaring setiap kali seseorang masuk.
Tari Sukma Dara sedang sibuk menyusun rangkaian bunga mawar putih dan baby’s breath di meja panjang dekat jendela paviliun. Cahaya matahari pagi menembus kaca, menyinari wajahnya yang halus seperti porselen. Tubuhnya mungil, tak lebih dari 155 sentimeter, membuat apron hijaunya terlihat kebesaran. Rambut hitamnya diikat simpel ke belakang, menyisakan poni tipis yang membingkai wajah bulat manisnya. Para tukang bunga laki-laki di kios pasar dekat toko menyebutnya mirip Davinna Karamoy versi lebih mungil tentu saja.
“Teh Tari, ini teh pesenan atas nama Bagas harus di kirim ke Jalan Karawitan jam sembilan.” suara Santi, pegawai toko yang sudah dua tahun bekerja dengannya, terdengar dari ruang belakang.
Tari menoleh sambil tersenyum. “Oh, iya, San. Makasih udah ngingetin mau kamu yang kirim sekalian?” Bahasa Aku dan Kamu sangat normal di Bandung, tidak seperti di Jakarta yang terdengar kaku.
Santi muncul sambil menenteng kotak kardus berisi bunga segar. “Iya Teh, sakalian mau ke pasar itu nyari mawar putih tea. Ari supplier biasa si Aa Edo gak kesini lagi Teh?”
Tari mendesah pelan. “Iya Aa Edo nya lagi ngambek.”
“Halah padahal kalau liat Teteh mah kesini dia sumringah. Mana tega ngambek.” Santi tersenyum, wajahnya yang sedikit berminyak memancarkan ketulusan.
“Udah gak usah ribut bisi jadi gosip.” Bisik Tari lirih, setengah bercanda, setengah serius.
Santi nyengir. “Siap Teteh.”
Tari tersenyum.
Setelah Santi pergi, Tari kembali ke meja kerja. Ia memandang rangkaian bunga di depannya—bunga mawar putih yang masih basah, seakan membawa kesejukan pagi bersamanya. Di balik ketenangan itu, pikirannya terus bergulat dengan banyak hal. Toko bunga ini memang tampak sibuk dan cantik, tapi keuntungannya kecil. Banyak biaya tak terduga, dan beberapa tagihan masih tertunda. Namun Tari mencintai pekerjaannya. Ia merasa bunga-bunga itu berbicara padanya. Menenangkannya.
Jam dinding tua berdenting pelan saat pukul menunjukkan angka sembilan. Tari menyeka tangan dengan lap, bersiap menyambut pelanggan pertama hari itu.
Namun yang datang bukanlah pelanggan biasa.
Sebuah mobil Alphard hitam berhenti perlahan di depan toko. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan seorang perempuan berusia sekitar 60 tahunan turun, mengenakan gaun panjang berwarna krem dan blazer hitam. Penampilannya anggun dan tegas. Di belakangnya, menyusul hampir sepuluh orang berpakaian formal, beberapa tampak membawa tablet, ponsel, dan map besar.
Tari mengernyitkan dahi. Belum pernah ada tamu semewah ini datang ke tokonya.
Perempuan itu berjalan mendekat, matanya tajam, seolah mengukur tiap sudut toko dan… wajah Tari.
“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” Tari menyapa sopan, berdiri di balik meja kasir.
Perempuan itu tidak langsung menjawab. Ia melangkah masuk pelan, memandangi bunga-bunga di sekelilingnya, lalu menatap lurus ke wajah Tari. “Kamu… tinggal di sini, sendirian?”
“Eh… iya, saya tinggal di rumah sebelah. Ini toko saya.” jawab Tari, sedikit canggung.
“Namamu… Tari Sukma Dara?”
Tari mengangguk pelan, dadanya mulai berdebar. “Iya, betul.”
Perempuan itu memberi kode pada seorang wanita berusia 40 tahunan yang mengikutinya dari belakang, Ia lalu mengeluarkan sesuatu dari tas tangan kulitnya. Sebuah foto lusuh, agak pudar.
Ia menyerahkannya pada Tari.
Tari menatap foto itu. Seorang perempuan muda, mengenakan kebaya, tersenyum sambil menggendong bayi kecil berambut lebat. Dan… wajah perempuan itu—sangat mirip dengan wajahnya sendiri.
“Eh… ini…” Tari menelan ludah, bingung. “Ini… sepertinya Ibu saya… tapi saya hanya pernah lihat dari foto yang disimpan Ayah. Ini…”
“Iya. Itu ibumu. Dan dia… anak saya.”
Semua terasa seperti berhenti sejenak.
“Apa?” suara Tari nyaris tak terdengar. “Ibu… Anda bilang… dia anak Anda?”
Perempuan itu mengangguk pelan. “Nama saya Tirtamarta Kartanegara. Saya pemilik perusahaan kosmetik Kartanegara Beauty. Saya… nenekmu, Tari.”
Tari terdiam. Dunia seakan berputar. Nafasnya tercekat.
“Tidak… tidak mungkin. Ibu saya meninggal waktu saya masih bayi. Saya dibesarkan oleh ayah saya. Saya… saya tidak pernah tahu siapa keluarga Ibu saya.”
Tirtamarta menarik kursi dan duduk tanpa diminta. “Itu kesalahan saya. Saya kehilangan ibumu karena keegoisan saya. Dia pergi, kawin lari dengan ayahmu, dan tidak pernah kembali. Saya mengira dia sudah mati. Tapi sekarang saya tahu… dia meninggalkanmu.”
Para rombongan yang berdiri di belakang mulai bergerak pelan, menaruh map dan dokumen. Beberapa tampak menyusun barang-barang di meja sebelah.
“Saya tidak mengerti,” bisik Tari. “Kenapa sekarang?”
Tirtamarta menatapnya lekat-lekat. “Karena kamu satu-satunya keluarga yang saya punya. Dan saya butuh seseorang untuk meneruskan kerja keras saya.”
Pagi yang tenang itu berubah menjadi pusaran angin tak terduga. Tari merasa seolah hidupnya dilemparkan ke dalam dunia yang sama sekali asing.
Ia menolak saat itu juga. “Maaf, Bu… saya tidak bisa ikut Ibu ke Jakarta. Saya tidak mengenal Ibu. Saya bahkan tidak tahu apakah ini benar atau tidak.”
Tirtamarta tak memaksa. Ia bangkit dari kursinya, lalu menaruh kartu nama di meja. “Saya akan menunggu jawabanmu. Tapi ingat… kesempatan ini tidak datang dua kali.”
Tirtamarta menatapnya sebentar tanpa jeda lalu menghela nafas, “Kamu begitu mirip Ibumu. Semoga kamu tak akan mengecewakanku seperti Ibumu Tari.”
Rombongan itu pergi, mereka membungkuk pada Tari. Hal yang tak pernah Tari dapatkan sebelumnya namun langkah Tirtamarta berhenti ditengah halaman.
Ia menatap seorang pria yang berdiri di luar pintu mobil, menatap ke arah toko dengan wajah datar.
Dia pria muda, mungkin sekitar tiga puluh tahun, dengan rambut hitam yang disisir rapi ke belakang. Ia mengenakan kaus hitam halterneck tipis yang menempel di tubuhnya yang ramping, dan jaket corduray cokelat yang membuatnya terlihat seperti seseorang dari majalah mode, tapi tidak berusaha menarik perhatian. Matanya tajam, nyaris dingin. Seperti seseorang yang terbiasa memperhatikan dalam diam, lalu membuat penilaian sendiri.
“Gilang, masuklah sebentar,” suara Tirtamarta terdengar dari tengah halaman.
Tanpa bicara, Gilang melangkah pelan ke arah Tirtamarta. Ia tak tergesa, langkahnya tenang namun pasti. Lalu berjalan bersama Tirtamarta kembali ke arah Tari.
Ketika lonceng kecil di pintu toko berbunyi kembali, Tari yang masih berdiri di ruang tengah langsung menoleh.
Pria itu masuk tanpa berkata apa-apa. Matanya menyapu seluruh ruangan, lalu berhenti pada wajah Tari. Ada jeda sesaat. Wajah Gilang tetap datar, tapi matanya sedikit menyipit, seolah menganalisis.
“Gilang akan menyiapkan segala kebutuhanmu kalau kamu memutuskan ikut ke Jakarta,” kata Tirtamarta dari ambang pintu, lalu ikut masuk.
Tari menoleh ke arah wanita itu, lalu kembali menatap pria di depannya.
Gilang mengangguk singkat. “Saya hanya akan melakukan apa yang Ibu perintahkan.”
Suara Gilang datar, tenang, tapi tegas. Tidak terdengar sombong, tapi juga tidak hangat. Tari mengangguk kaku, merasa dirinya sedang dinilai seperti tanaman yang hendak dilelang di pelelangan besar.
Tirtamarta menarik napas panjang. “Gilang Adiyaksa, anak angkat saya. Bersama saya sejak usia sepuluh tahun. Saya menyekolahkannya, membawanya ke Amerika, dan sekarang dia membantu saya menjalankan perusahaan. Jadi secara hukum dia adalah Pamanmu."
Tari hanya mendengarkan. Semua informasi itu melintas seperti peluru. Ia masih belum bisa memproses semuanya. Jadi pewaris, punya nenek sekarang punya paman.
“Ibumu adalah anak kandung saya satu-satunya. Intan Sukma. Ah dia sangat keras kepala. Dan akhirnya dia kabur dan saya biarkan.”
Suara Tirtamarta sedikit bergetar. “Itu adalah penyesalan terbesar saya.”
Tari menunduk, bingung harus berkata apa.
“Saya baru tahu dia meninggal setelah melahirkanmu. Dan sekarang, saya ingin memperbaiki kesalahan saya… lewat kamu.”
Gilang menatap Tari sejenak. Sorot matanya tak mudah ditebak. Lalu ia berbalik dan kembali ke pintu. Ia berdiri di samping mobil sambil berbicara dengan seseorang lewat earphone kecil di telinganya. Profesional. Tenang. Tidak mengganggu.
Tari diam-diam memperhatikan. Ada sesuatu dari pria itu yang membuatnya sulit mengalihkan pandangan. Ia tidak berotot seperti pria-pria dalam iklan parfum atau pakaian olahraga. Tubuhnya justru terlihat kurus, bahkan dadanya sempit seperti belum cukup makan. Tapi ada aura kuat dalam dirinya—bukan dari fisik, melainkan dari keteguhan dan ketenangan yang tampak pada cara dia berdiri dan berbicara.
Tirtamarta meraih tangan Tari, membuatnya terkejut.
“Saya tahu ini semua terlalu cepat. Tapi kamu cucuku. Dan saya tidak ingin kamu hidup seperti ini selamanya—terjebak di toko kecil, berjuang sendirian.”
Tari menatap wanita itu. Ada kesedihan di balik mata tegasnya.
“Saya tidak akan memaksa. Tapi pikirkanlah,” tambahnya, sebelum ia dan Gilang kembali masuk ke mobil.
Kali ini, mobil itu benar-benar melaju menjauh, meninggalkan Tari berdiri sendiri di depan toko bunganya yang kembali sepi.
Dan tamu pertama di Toko Bunga Dara pagi akan menjadi permulaan kisah yang akan mengguncang hidupnya.