HALIM
Di dunia yang dikuasai oleh kegelapan, Raja Iblis dan sepuluh jenderalnya telah lama menjadi ancaman bagi umat manusia. Banyak pahlawan telah mencoba menantang mereka, tetapi tidak ada yang pernah kembali untuk menceritakan kisahnya.
Namun, Halim bukanlah pahlawan biasa. Ia adalah seorang jenius dengan pemikiran kritis yang tajam, kreativitas tanpa batas, dan… kebiasaan ceroboh yang sering kali membuatnya berada dalam masalah. Dengan tekad baja, ia memulai perjalanan berbahaya untuk menantang sang Raja Iblis dan kesepuluh jenderalnya, berbekal kecerdikan serta sistem sihir yang hanya sedikit orang yang bisa pahami.
Di sepanjang petualangannya, Halim akan bertemu dengan berbagai ras, menghadapi rintangan aneh yang menguji logikanya, dan terlibat dalam situasi absurd yang membuatnya bertanya-tanya apakah ia benar-benar sedang menjalankan misi penyelamatan dunia atau justru menjadi bagian dari kekacauan itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ILBERGA214, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 33: Langkah Berat Menuju Tujuan Baru
Pagi menyapa dengan cahaya matahari yang menerobos di sela-sela pepohonan. Udara segar menyelimuti hutan, membawa aroma embun yang masih tersisa. Di dekat sebuah sungai kecil, Halim dan Rian duduk beristirahat setelah malam panjang yang melelahkan.
"Ah... akhirnya bisa tidur dengan tenang." Rian meregangkan tubuh, matanya masih sedikit mengantuk.
Halim, yang duduk di atas batu sambil membersihkan pedangnya, hanya mengangguk. "Jangan kebiasaan malas. Kita masih harus lanjut jalan."
Rian mendengus pelan. "Kak, kita baru aja selamat dari beruang iblis. Boleh kali istirahat lebih lama."
"Tidak ada jaminan nggak ada monster lain di sekitar sini," jawab Halim santai. "Kalau kita terlalu lama di tempat yang sama, bakal jadi target empuk."
Ucapan itu langsung membuat Rian menegakkan badan, rasa malasnya seolah lenyap dalam sekejap. "Baik, baik! Aku siap berangkat!"
Halim terkekeh. "Bagus."
Setelah memastikan barang-barang mereka lengkap, Halim dan Rian melanjutkan perjalanan. Langkah kaki mereka menyusuri jalan setapak yang semakin terlihat jelas, menandakan bahwa mereka mulai mendekati wilayah peradaban.
"Kalau nggak salah, desa terdekat ada di ujung hutan ini," ujar Halim sambil memperhatikan peta yang sudah lusuh.
"Desa apa namanya?"
"Desa Orlen."
"Bagus deh, aku udah nggak sabar makan yang enak!" Rian tersenyum lebar, membayangkan hidangan lezat di penginapan.
Namun, seperti biasa, perjalanan Halim dan Rian tidak pernah berjalan mulus.
Dari kejauhan, terdengar suara gaduh. Teriakan-teriakan bercampur dengan suara benda yang terjatuh. Halim mempercepat langkah, diikuti Rian yang mulai terlihat cemas.
"Jangan-jangan... ada serangan monster lagi?"
"Tidak. Suaranya terlalu berantakan untuk itu," jawab Halim. "Sepertinya ada keributan di desa."
Saat mereka tiba di gerbang desa, pemandangan yang menyambut cukup mengejutkan. Di tengah jalan utama, seorang pria kekar dengan wajah garang sedang mengejar seorang banci bergaun merah terang yang berlari panik sambil berteriak histeris.
"Aku cuma bercanda, Bang! Jangan serius gitu dong!"
"Dasar banci sialan! Balikin kalung istriku!"
Penduduk desa hanya berdiri di pinggir jalan, menonton kejadian itu dengan ekspresi campuran antara bingung dan terhibur.
Halim dan Rian saling pandang.
"Umm... kita nggak salah desa, kan?" Rian bertanya ragu.
"Sayangnya nggak," jawab Halim dengan nada datar.
Namun, sebelum mereka bisa memutuskan untuk beranjak, si banci tiba-tiba melihat ke arah mereka. Mata berbinar-binar muncul di wajahnya, seolah menemukan penyelamat di tengah kekacauan.
"Abang ganteng! Selamatkan aku!"
Dalam sekejap, si banci berlari ke arah Halim, kedua tangannya terulur seolah meminta pelukan.
"Eh, eh, tunggu dulu—"
Terlambat.
Halim langsung berlari menyelamatkan diri, meninggalkan Rian yang hanya berdiri dengan wajah pucat. Tapi si banci ternyata tak menyerah. Dengan lari yang penuh semangat, dia terus mengejar Halim di antara deretan rumah-rumah desa.
"Jangan kabur, Bang! Kita jodoh!"
"Jodoh dari mana?! Pergi sana!"
Warga desa yang menonton langsung terbahak-bahak melihat kejar-kejaran yang absurd itu. Bahkan ada yang mulai bertaruh siapa yang bakal menangkap siapa terlebih dulu.
Sementara itu, Rian yang berusaha menghindar dari kekacauan malah dikejutkan oleh seorang nenek tua yang tiba-tiba mencengkeram lengannya.
"Kamu! Anak muda! Kau mirip suamiku waktu muda!"
"Eh?! Apa-apaan ini?!"
Nenek itu menarik Rian mendekat, pipinya mencubit dengan kekuatan yang tak terduga.
"Aduh, Nek! Lepasin!"
"Wajahmu mirip sekali! Kau harus menemani nenek minum teh sore ini!"
"Nggak! Aku bukan cucu nenek!"
Dengan usaha keras, Rian berhasil meloloskan diri, meskipun meninggalkan jejak tangan keriput di pipinya. Sementara itu, Halim yang masih sibuk menghindari si banci akhirnya berlari ke arah Rian.
"Rian! Bantu aku!"
"Aku juga butuh bantuan, Kak!"
Tanpa pikir panjang, keduanya berlari keluar dari desa dengan banci dan nenek tua mengejar di belakang. Suara tawa warga desa menggema di udara, membuat momen itu semakin kocak.
Setelah beberapa menit berlari, Halim dan Rian akhirnya berhasil bersembunyi di balik semak-semak di pinggiran desa. Nafas mereka tersengal, keringat bercucuran.
"Kak... aku trauma," ujar Rian sambil terisak. "Aku nggak akan pernah lupa wajah nenek itu."
"Aku juga." Halim menyandarkan tubuhnya ke pohon. "Dan aku nggak akan pernah lupa... suara si banci itu."
Mereka berdua terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak. Meski absurd, pengalaman itu meninggalkan kenangan yang sulit dilupakan.
"Yah, setidaknya kita tahu desa ini penuh kejutan," ucap Halim sambil tersenyum tipis.
"Tapi, Kak... gimana kalau mereka masih nyari kita?"
"Tenang. Kita tunggu sebentar. Setelah itu, kita coba masuk lagi. Tapi kali ini, nggak ada kejar-kejaran."
Rian mengangguk lemah. "Semoga saja."
"Ngomong-ngomong soal misi yang baru kita terima kemarin dari kepala guild... Aku sepertinya berubah pikiran" Halim melamun sesaat.
"Berubah? Maksud kaka kita tidak jadi menyelidiki sumber kekuatan gelap itu?" Ucap Rian.
"Bukan sepenuhnya tidak jadi, tapi mungkin kekuatan gelap itu terus mengawasi kita..." Balas Halim
sekarang semakin banyak yang mengedit dengan chat GPT tanpa revisi membuat tulisan kurang hidup. saya tahu karena saya juga pakai 2 jam sehari untuk belajar menulis. Saya sangat afal dengan pola tulisan AI yang sering pakai majas-majas 'seolah' di akhir kalimat secara berlebihan dengan struktur khas yang rapih.
ya saya harap bisa diedit agar lebih natural.
Udah baca eps 1 ini, ceritanya lumayan menarik. Kapan² gue kesini lagi ya kalau ada waktu, Semangat.