Jessy, 30th seorang wanita jenius ber-IQ tinggi, hidup dalam kemewahan meski jarang keluar rumah. Lima tahun lalu, ia menikah dengan Bram, pria sederhana yang awalnya terlihat baik, namun selalu membenarkan keluarganya. Selama lima tahun, Jessy mengabdi tanpa dihargai, terutama karena belum dikaruniai anak.
Hingga suatu hari, Bram membawa pulang seorang wanita, mengaku sebagai sepupu jauh. Namun, kenyataannya, wanita itu adalah gundiknya, dan keluarganya mengetahui semuanya. Pengkhianatan itu berujung tragis—Jessy kecelakaan hingga tewas.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua. Ia terbangun beberapa bulan sebelum kematiannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selama Suami Di Sisi nya
Begitu Jessy membuka pintu rumah, suara tajam langsung menyambutnya.
"Kemana saja kau? Sudah jam berapa ini?! Aku sudah lapar, dan makan siang belum juga dimasak!" suara Ella menggema di ruang tamu.
Jessy menelan ludah, menundukkan kepalanya sambil melepas sepatu. "Maaf, Ma, tadi keasyikan ngobrol dengan Chika. Aku akan segera masak."
Ella mendengus kesal. "Selalu saja alasan! Kau pikir rumah ini tempat kau keluar masuk sesuka hati?! Aku ini sudah tua, tak bisa menahan lapar terlalu lama!"
Jessy mengangguk patuh. "Ma, aku langsung ke dapur sekarang," ujarnya lembut, mencoba menahan perasaan yang mulai berkecamuk.
Tanpa menunggu jawaban, ia langsung berjalan menuju dapur dan mulai menyiapkan makan siang dengan cepat. Tangannya bergerak lincah, tapi pikirannya masih tertinggal di rumah Chika. Kata-kata sahabatnya kembali terngiang di benaknya. Kenapa kamu selalu menoleransi semuanya? Kamu itu bukan pembantu!
Namun, apa yang bisa ia lakukan? Untuk saat ini, ia hanya bisa bertahan.
Setelah 30 menit memasak, Jessy akhirnya selesai menyiapkan makan siang. Ia membawa piring-piring berisi lauk ke meja makan, di mana Ella sudah duduk menunggu dengan wajah masam.
Tanpa berkata apa-apa, Jessy meletakkan makanan di hadapan ibu mertuanya, lalu menarik kursi hendak duduk. Namun, belum sempat ia benar-benar duduk, suara tajam kembali menghentikannya.
"Kau ini bagaimana sih, Jessy? Baru dari luar, terus masak, sekarang mau makan dalam keadaan bau bawang seperti itu? Jijik sekali! Sana mandi dulu!" suara Ella penuh ketidaksabaran.
Jessy terdiam sesaat, meremas rok yang ia kenakan. Kenapa selalu ada saja yang salah di matanya?
Tanpa membantah, ia berdiri kembali dan mengangguk. "Baik, Ma," jawabnya pelan, lalu beranjak menuju kamar mandi.
Saat air mulai mengalir membasahi tubuhnya, Jessy menutup matanya sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir rasa sesak yang tiba-tiba menyergap dadanya.
Begitu Jessy sampai di kamar mandi, tangannya gemetar saat menutup pintu. Tanpa menunggu lebih lama, ia menyalakan keran, membiarkan air mengalir deras, menenggelamkan suara isak tangis yang selama ini ia tahan.
Air mata yang sejak tadi dipendam akhirnya jatuh tanpa bisa dibendung lagi. Dadanya naik turun, napasnya tersengal di tengah rasa sakit yang terus menghimpit.
Kenapa... Kenapa aku harus hidup seperti ini?
Tangannya menekan dadanya yang terasa sesak. Ia menggigit bibirnya, mencoba meredam suara tangisnya, tapi sia-sia. Air mata semakin deras, bercampur dengan air yang mengalir di wajahnya.
"Kenapa aku selalu salah di matanya...?" suaranya lirih, bergetar, seolah tercekik oleh kesedihan yang semakin menumpuk.
Ia menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Mata sembab, wajah pucat, bibir bergetar—ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri.
"Dulu aku punya mimpi... Aku punya kebebasan... Aku punya harga diri... Sekarang? Aku bahkan tidak bisa makan dengan tenang di rumahku sendiri..."
Kakinya melemas, tubuhnya jatuh terduduk di lantai kamar mandi yang dingin. Ia mendekap tubuhnya sendiri, berusaha mencari kehangatan di tengah perasaan hampa yang semakin menelan dirinya.
"Aku lelah..." ucapnya hampir tanpa suara. "Aku ingin berhenti... Aku ingin pergi..."
Air masih terus mengalir dari keran, menciptakan suara gemuruh yang samar-samar menutupi tangisannya. Tapi di dalam hatinya, suara kesedihan dan keputusasaan itu justru semakin lantang.
Setelah tangisnya reda, Jessy berdiri dan mengusap wajahnya yang masih basah dengan telapak tangan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya melepas pakaian yang sudah basah karena air mata dan mandi.
Air hangat yang mengalir dari pancuran sedikit membantu meredakan ketegangan di tubuhnya, tapi tidak dengan hatinya. Hatinya masih terasa sesak. Namun, ia tidak punya pilihan lain selain menahannya. Seperti biasa.
Setelah selesai mandi, ia mengenakan pakaian santai sederhana. Hanya kaos longgar dan celana kain yang sudah lama. Ia memang jarang membeli pakaian baru. Baginya, uang dari Bram lebih baik ditabung daripada digunakan untuk sesuatu yang tidak terlalu penting seperti baju.
Dengan langkah lelah, ia berjalan menuju meja makan, berharap bisa mengisi perutnya yang sudah sejak tadi kosong. Namun, saat ia baru hendak menarik kursi, suara tajam menghentikannya.
"Kak Jessy, kamu ngapain di sini?" suara itu berasal dari adik iparnya, Molly, yang duduk di meja makan bersama seorang temannya.
Jessy menatap mereka sejenak. "Aku mau makan," jawabnya pelan, berusaha tetap sopan.
Namun, Molly malah mendengus sinis. "Makan di sini? Jangan bikin selera makan kami hilang, deh."
Jessy tertegun, tapi ia tidak langsung menanggapi. Perutnya sudah terlalu lapar, dan ia hanya ingin makan dengan tenang.
Teman Molly, seorang gadis muda berambut panjang dan berpakaian modis, ikut berbicara. "Siapa sih dia? Berani banget mau makan di sini?" tanyanya dengan nada mengejek.
Molly tertawa kecil. "Dia itu kakak iparku."
Mata temannya membesar sebelum akhirnya ia ikut tertawa keras. "Serius? Kakak iparmu? Astaga, kenapa kakakmu punya istri seperti ini? Dekil banget!"
Jessy merasakan hatinya mencelos mendengar hinaan itu. Tangannya mengepal di bawah meja, tapi ia tetap diam. Ia tidak akan membiarkan mereka melihat dirinya lemah.
Selama ini, ia sudah terbiasa diperlakukan seperti ini. Sejak ayah mertuanya meninggal setahun setelah pernikahannya dengan Bram, rumah ini berubah menjadi tempat yang dingin dan penuh tekanan. Ibu mertuanya semakin galak, adik iparnya semakin semena-mena, dan posisinya di rumah ini semakin tidak dianggap.
Terlebih lagi, ia dan Bram belum dikaruniai seorang anak. Itu membuatnya semakin dipandang rendah oleh keluarga suaminya.
Namun, meski semua orang memperlakukannya seperti ini, Jessy tetap bertahan.
Selama Bram masih menyayanginya, ia akan bertahan.
Selama Bram masih ada di sisinya, ia percaya semuanya hanya masalah waktu. Suatu hari, mereka pasti akan menerimanya kembali.
Bukankah begitu...?
"Kak Jessy, kenapa masih di sini? Sana pergi!" bentak Molly, adik iparnya yang melihat Jessy bengong sendiri di depannya.
Jessy menunduk, menahan sakit di hatinya. Ia mengepalkan tangan di balik tubuhnya, mencoba menelan hinaan itu seperti yang selalu ia lakukan.
Namun, saat matanya melirik ke meja makan, ia tersentak.
Piring-piring sudah kosong. Makanan yang tadi ia masak dengan susah payah telah habis.
Tidak tersisa untuknya.
Napasnya tercekat, tapi ia tidak ingin memperlihatkan kelemahannya di depan mereka. Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik dan melangkah pergi.
Sesampainya di kamar, ia menutup pintu dan bersandar di belakangnya, menarik napas panjang untuk meredam emosinya.
Tangannya meraih ponsel di atas meja. Ia mengetik pesan untuk suaminya.
"Mas, kalau pulang nanti, bisa bawakan aku makan?"
Jessy menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk.
"Baik, sayang."
Itu saja balasan Bram. Singkat, tanpa pertanyaan lebih lanjut, tanpa menanyakan apakah ia baik-baik saja atau kenapa ia belum makan.
Jessy tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip kepasrahan daripada kebahagiaan.
Setidaknya Bram masih peduli… meskipun hanya sebatas membawakan makanan.
Ia meletakkan ponselnya di samping bantal dan menarik napas dalam-dalam. Perutnya yang kosong mulai perih, tapi ia sudah terbiasa dengan rasa lapar. Yang lebih menyakitkan adalah perasaan diabaikan di rumah ini.
Dengan lelah, ia merebahkan diri di kasur, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.
klau dah di cerai baru menyesal Bram,,,,,,
tetap semangat terus