" Iya, sekalipun kamu menikah dengan wanita lain, kamu juga bisa menjalin hubungan denganku. Kamu menikah dengan wanita lain, bukan halangan bagiku “ Tegas Selly.
Padahal, Deva hendak di jodohkan dengan seorang wanita bernama Nindy, pilihan Ibunya. Akan tetapi, Deva benar - benar sudah cinta mati dengan Selly dan menjalin hubungan gelap dengannya. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan antara ketiganya ? Akankah Deva akan selamanya menjalin hubungan gelap dengan Selly ? atau dia akan lebih memilih Nindy ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vitra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terselubung
Setelah mengetahui bahwa Kevin juga dikhianati oleh Selly, Martha hanya bisa tertawa kecil. Tak pernah terlintas di benaknya bahwa lelaki yang selama ini ia pikir kuat, ternyata diselingkuhi oleh wanita simpanannya sendiri.
"Kalau dipikir-pikir, hubungan mereka ini lucu juga. Seperti roti sandwich yang kebanyakan isi, sampai bikin enek," gumam Martha, menatap layar televisi dengan pandangan kosong.
Martha semakin heran. Dengan paras secantik itu, mengapa Selly tidak memanfaatkan kelebihannya untuk membangun karier? Bukannya mencari pria beristri? Di luar sana, pasti banyak lelaki lajang yang rela mengantre demi menjadi kekasihnya. Namun Martha sadar, Selly memilih jalan ini bukan karena cinta, melainkan karena luka di hatinya, yang berubah menjadi obsesi untuk merebut kebahagiaan orang lain.
Martha menarik napas panjang, lalu menggigit sepotong kue di meja kecil di sebelah sofa.
"Apakah ini memang hukum tabur tuai? Aku baru saja memulainya, tapi balasannya sudah terlihat di depan mata," ucap Martha lirih sambil mengunyah pelan.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki menaiki tangga. Martha menoleh. Sesuai dugaannya, Kevin baru saja pulang, tepat tengah malam. Dengan sikap acuh, Kevin berjalan melewatinya tanpa menoleh, seolah tak menyadari keberadaan Martha.
Martha memanggilnya.
"Heii, sayang. Baru pulang, ya?" serunya, penuh nada sindiran.
Kevin berhenti, menoleh sekilas ke arah Martha.
"Seperti yang kamu lihat. Sudah, aku lelah. Besok pagi aku ada pertemuan," jawab Kevin ketus.
Martha berdiri dan mendekatinya. Ia menahan diri untuk tetap tersenyum.
"Hei, setidaknya jangan terlalu dingin. Aku cuma mau menyapa," katanya.
Namun Kevin hanya menatapnya sebentar, lalu kembali melanjutkan langkahnya, menahan amarah yang hampir meluap.
Begitu tiba di kamar, Kevin langsung melepas bajunya, mengganti pakaian tidur, lalu merebahkan diri di atas ranjang besar mereka. Ia melirik bantal dan guling di sampingnya yang terasa sepi.
"Kapan Martha akan keluar kota lagi?" gumamnya penuh kerinduan. "Aku sudah sangat merindukan Selly tidur di sampingku."
Begitulah biasanya. Saat Martha pergi untuk urusan pekerjaan, Kevin akan membawa Selly ke rumah ini, tanpa sedikit pun rasa bersalah, bahkan di hadapan para pekerja rumah tangga. Hingga kini, baik orang tua Kevin maupun keluarga Martha belum mengetahui perselingkuhan ini. Semua karyawan rumah sudah mengetahuinya, tetapi memilih bungkam demi mempertahankan pekerjaan mereka.
Itulah sebabnya Martha memilih jalan lain: menghubungi media.
Martha paham, berbicara langsung kepada keluarganya atau keluarga Kevin tidak akan mengubah apa pun. Ia tidak percaya mereka akan berpihak padanya, bahkan sekalipun bukti sudah ada di depan mata.
"Pasti tadi Kevin merasa ingin menamparku. Aku puas saat melihatnya menahan amarahnya. Karena itu yang aku rasakan selama ini," ucap Martha, merasa puas.
Martha mencoba memejamkan kedua matanya. Ia ingin mengistirahatkan diri dari lelahnya menghadapi situasi sulit ini. Ia juga harus bersiap menghadapi hari esok.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hari ini, Deva mengadakan meeting internal bersama timnya untuk membahas proyek iklan dari brand fashion Lunair. Entah sudah berapa proyek yang harus Deva tangani belakangan ini.
Salah satu anggota tim kreatif sedang mempresentasikan beberapa kandidat model. Deva memperhatikan dengan saksama layar monitor di hadapannya. Sudah beberapa nama dipresentasikan satu per satu.
Hingga akhirnya, di slide terakhir, Deva terkejut.
Terpampang jelas profil Selly lengkap dengan portofolionya.
Beberapa tahun silam, Selly memang pernah menjadi model untuk salah satu brand yang menggunakan jasa digital marketing tempat Deva bekerja. Dulu, Deva biasa saja saat melihat wajah Selly di layar. Tapi kini, rasanya berbeda.
Deva mematung, matanya tak lepas dari layar.
"Pak... Pak Deva..." panggil salah satu tim kreatif, membuyarkan lamunannya.
Deva tersentak kecil.
"Ah, iya? Ada apa?" jawabnya, mencoba menguasai diri.
"Itu, menurut Pak Deva, siapa model yang sekiranya paling cocok?"
Deva menghela napas perlahan, berusaha menutupi kegelisahannya.
"Hmm... bukannya Selly sudah cukup lama tidak aktif di dunia modeling?"
Salah satu tim kreatif menjawab, "Benar, Pak. Selly memang sempat vakum. Tapi saya punya alasan kenapa memilih Selly sebagai kandidat. Dia mudah diajak bekerja sama, cepat menangkap arahan saat pemotretan."
Tim kreatif lainnya menambahkan, "Bukan hanya itu, Pak. Umpan balik dari brand sebelumnya juga sangat positif. Selly profesional dan hasilnya memuaskan."
Deva menopangkan dagunya sambil menggoyangkan kaki pelan. Ia terdiam, pikirannya sibuk mencari celah. Sisi profesionalnya menguap seketika, tergantikan oleh kegelisahan yang mengendap.
Ia harus menemukan alasan apa pun itu agar Selly tidak menjadi model proyek ini. Ia tidak sanggup membayangkan kecanggungannya nanti di depan rekan-rekan kerja.
"Selly kan sudah lama vakum. Apakah ini tidak akan mempengaruhi performanya sebagai model?" tanya Deva, mencoba terdengar wajar. Padahal dalam hati, ia sudah mulai merasa sesak.
"Menurut saya tidak, Pak," jawab salah satu tim kreatif dengan yakin. "Selly sudah berpengalaman sejak SMA. Dan kalau kita lihat, brand-brand sebelumnya juga sangat puas dengan performanya."
Argumen itu sulit dibantah. Deva mencoba mencari celah lain, namun pikirannya terasa buntu. Ia tahu betul Selly memang lihai. Ia sendiri pernah menyaksikan bagaimana Selly bekerja di balik kamera: penuh pesona, profesional, dan nyaris tanpa cela.
Ia menarik napas dalam-dalam. Tak ada lagi alasan logis yang bisa ia lontarkan.
"Kalau yang lain? Apakah ada pendapat tambahan?" Deva berusaha mempertahankan sikap netral.
Pandangan matanya menyapu satu per satu wajah tim kreatif di ruangan itu, berharap ada yang mengusulkan nama lain.
Namun harapannya pupus. Semua anggota tim kompak menyetujui Selly menjadi kandidat utama untuk proyek ini.
Usai rapat, Deva segera meraih botol air mineral di depannya dan meneguk isinya dalam sekali jalan.
Kegelisahan masih membelenggu pikirannya.
Ia bahkan belum bisa membayangkan bagaimana harus bersikap nanti bukan hanya di hadapan Selly, tapi juga Ardi, yang mungkin akan sering terlibat dalam proses ini.
Beban di pundak Deva terasa makin berat.
Badai kecil itu, kini sudah di depan mata.
Saat Deva sedang membayangkan suasana yang harus dihadapinya, tiba-tiba pintu terbuka, dan Ardi masuk ke dalam ruangan. Tanpa menyadari, layar monitor belum dimatikan. Seketika Ardi terhenti di tempatnya saat melihat wajah Selly terpampang jelas di layar.
"Wah...asyik nih, ada yang proyekan sama pacar," goda Ardi dengan senyum nakal, tanpa memperhatikan ekspresi Deva yang tiba-tiba berubah kaku.
"Sssttt... jangan keras-keras," Deva berusaha menahan suara, memberi peringatan dengan nada yang agak cemas.
Ardi langsung menutup mulutnya, seakan baru sadar betapa konyolnya ia tadi. Untungnya, ruangan itu hanya diisi oleh Deva dan dirinya, memberi mereka sedikit ruang untuk menyembunyikan kecanggungan yang mulai terasa.
Ardi menatap layar monitor dengan ragu, seolah sedang memikirkan sesuatu. Sama seperti Deva, ia merasakan kecanggungan yang tak terelakkan begitu mengetahui Selly akan menjadi model dalam proyek iklan mereka. Namun, perasaan Ardi jauh lebih rumit. Kecanggungan itu lebih kepada kenangan yang terlintas — kenangan tentang momen di restoran, saat dia melihat Selly bermesraan dengan pria lain.
Deva pun merasakan hal yang sama, walaupun berbeda sumbernya. Keduanya hanya bisa menutupi kecanggungan itu dengan senyuman palsu dan obrolan yang terdengar datar.
Namun, baik Deva maupun Ardi tahu: di balik kata-kata mereka, ada sesuatu yang tak terucap. Sesuatu yang mengganggu mereka lebih dari yang mereka akui.