Aurelia Nayla, gadis pendiam yang terlihat biasa saja di mata teman-teman kampusnya, sebenarnya menyimpan misi berbahaya. Atas perintah sang ayah, ia ditugaskan untuk mendekati Leonardo—dosen muda yang terkenal dingin dan sulit disentuh. Tujuan awalnya hanya satu: membalas dendam atas kematian ibunya.
Tapi semua berubah saat Lia menyadari, kode rahasia yang ia cari tak hanya terkait kematian, tapi juga masa lalu yang jauh lebih kelam dan rumit. Apalagi ketika perasaannya mulai goyah. Antara kebencian dan cinta, antara kebenaran dan kebohongan, Lia terjebak di dunia penuh tipu daya… termasuk dari orang yang selama ini ia percaya.
Akankah Leo dan Lia tetap saling menghancurkan, atau justru saling menyelamatkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permainan api
Lia duduk di tepi ranjang, matanya menatap kosong ke luar jendela yang terhalang oleh jeruji besi. Langit sudah kembali gelap, dan lampu-lampu mulai menyala satu per satu, tapi pikirannya justru semakin gelap.
Ia menggigit bibir. Sudah dua hari sejak ia dikurung di kamar ini oleh Leo, dan tidak ada satu pun jalan keluar. Ia harus melakukan sesuatu. Sekarang.
Dan itu artinya… melakukan hal yang paling tidak ingin ia lakukan. Tapi apapun itu, yang terpenting baginya saat ini hanya satu, yaitu bisa keluar dan terbebas dari Leo.
Langkah kaki terdengar. Leo masuk dengan tubuh tegap, mengenakan kemeja hitam yang menonjolkan sisi dinginnya. Lia berdiri perlahan, lalu berusaha tersenyum.
“Pak Leo...” katanya pelan, seperti sedang menahan rindu.
Leo memandangnya dengan datar. “Ada apa?”
“Aku cuma… pengin ngomong baik-baik. Kita udah saling menyakiti terlalu banyak.”
Leo menyipitkan mata. “Sakit itu bukan pilihan, Lia. Kau yang memilih untuk melawan.”
Lia melangkah mendekat. “Aku salah... Tapi apa kita nggak bisa mulai dari awal?”
Leo tertawa sinis. “Kau pikir aku bisa lupa begitu saja? Setelah semua tipu daya kamu?”
Lia mencoba menyentuh lengannya. “Nggak semua hal yang aku lakukan itu bohong.”
“Lalu yang ini? Manis-manis mendadak? Apa ini bagian dari rencana barumu?” Leo menatapnya tajam.
Lia menggeleng, walau jantungnya berdetak keras. “Aku cuma capek, Pak. Capek terus dikurung, tanpa kejelasan. Aku cuma mau kita lebih dekat.”
Leo menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata pelan, “Teruskan. Aku ingin lihat sampai mana akting kamu.”
Lia menunduk, lalu perlahan mendekat lagi. Ia menyentuh dada Leo dengan ujung jari. “Aku nggak akting.”
“Bohong.”
Lia mengangkat wajahnya. “Kalau memang kamu pikir aku pembohong, kenapa kamu masih izinkan aku menyentuh kamu?”
Leo memejamkan mata sejenak. “Karena saya ingin tahu… sampai mana kamu berani bermain api.”
Lia mendekat, napasnya menggantung. “Kalau aku terbakar, apakah bapak mau ikut terbakar juga?”
Tanpa aba-aba, Leo menarik pinggangnya. Tubuh mereka berdekatan, napas keduanya berat. Lia mendongak menatap mata itu. Dingin, penuh amarah… tapi juga menahan sesuatu yang lain.
“Mau sampai mana kamu, Lia?” bisik Leo.
“Aku nggak tahu…” suara Lia nyaris tak terdengar. “Tapi malam ini… biarkan aku jadi aku yang nggak melawan.”
Leo memang tau kalau Lia hanya sedang bersandiwara, tapi dirinya seorang pria normal yang tentu langsung tergoda saat perempuan yang sudah menjadi pengisi hatinya berprilaku semanja itu terhadap dirinya.
Leo mengecup kening Lia, lalu turun ke pipi.
Lia menggigil. Ciuman itu makin lama makin dalam. Jemari Leo mulai menjalar di sisi tubuhnya. Lia menahan napas tubuhnya hampir kehilangan kendali.
"Ini melewati batas, tidak sampai sejauh ini." gumam Lia dalam hati.
Tubuh Leo mulai memanas, isi kepalanya sudah dipenuhi kabut gairah. Leo kembali menyentuh bibir ranum itu. Tangannya tidak hanya diam, kini bergerak hendak membuka kancing gaun Lia.
“Tunggu!”
Leo menatapnya tajam. “Kenapa?”
“Aku… aku ke kamar mandi dulu, ya…”
Tanpa menjawab Leo mendesah pelan dan melepaskannya.
Lia bergegas masuk ke kamar mandi. Saat pintu tertutup dan terkunci, ia langsung bersandar ke dinding, tubuhnya gemetar hebat.
Ini gila. kamu begitu ceroboh Lia."
---
POV Leo
Ponsel Leo berdering.
“Tuan, anda harus datang sekarang. Ibu Tuan… dia histeris lagi. Lebih parah dari sebelumnya.”
Tanpa banyak kata, Leo langsung bergegas keluar. Ia bahkan tak menunggu Lia keluar dari kamar mandi.
---
Di rumah perawatan, Leo mendapati dua perawat menunggu dengan wajah cemas.
“Nyonya terus menyebut nama seseorang, dan kami harus panggil dokter untuk beri obat penenang,” kata salah satu perawat.
Leo langsung masuk ke kamar. Ibunya duduk di lantai, menggenggam boneka kecil, wajahnya penuh air mata.
“Ibu?” Leo mendekat.
Isabella menatapnya dengan senyum miring. “Dario… Kamu datang lagi... Hahaha... kamu masih berani muncul...”
Leo tertegun. Lagi-lagi nama itu kembali dia dengar, dan sekarang keluar dari mulut ibunya. “Bu… Ini Leo. Anak Ibu. Leo.”
Isabella memiringkan kepala. “Leo? Anakku? Bukan… bukan… Kamu bukan dia...”
“Bu, ini aku...”
Isabella menatapnya, lalu mencakar-cakar lengannya sendiri. “Dia marah. Dia tahu aku bohong. Dia tahu aku... aku milik orang lain sebelum miliknya... Dia kurung aku! Dia hancurkan aku!”
Leo meraih bahunya. “Siapa, Bu? Siapa yang hancurkan Ibu?”
“Alessandro... Suamiku... Ayahmu...” suara Isabella menjadi lirih, kemudian berubah jadi jeritan, “Tapi Dario! Dario yang pertama kali memiliki aku! Dia yang janji nggak ninggalin aku! Tapi dia kabur... pengecut!!”
Leo terdiam tapi sorot matanya begitu tajam. Leo benar-benar sudah muak dengan nama itu.
Isabella menggenggam wajah Leo. “Jangan jadi seperti ayahmu, Leo... Jangan... dia monster... Dia siksa aku... dia... dia bikin aku gila...”
Leo menahan air mata. “Aku akan cari tahu semua, Bu. Aku janji. Aku akan lindungi Ibu.”
Isabella menangis, lalu terisak seperti anak kecil. Perawat masuk, memberikan obat penenang. Sebelum tertidur, Isabella berkata dengan suara parau:
“Dario... tolong… jangan biarkan dia menyiksa aku lagi…”
Leo duduk di tepi tempat tidur, jari-jarinya mengepal. "Dario, kamu sudah membuat keluargaku hancur. Aku pastikan kamu mendapatkan pembalasan yang lebih."
**
To be continued...