Di dermaga Pantai Marina, cinta abadi Aira dan Raka menjadi warisan keluarga yang tak ternilai. Namun, ketika Ocean Lux Resorts mengancam mengubah dermaga itu menjadi resort mewah, Laut dan generasi baru, Ombak, Gelombang, Pasang, berjuang mati-matian. Kotak misterius Aira dan Raka mengungkap peta rahasia dan nama “Dian,” sosok dari masa lalu yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan. Di tengah badai, tembakan, dan pengkhianatan, mereka berlomba melawan waktu untuk menyelamatkan dermaga cinta leluhur mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Vicky Nihalani Bisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH - 2 : Pesan di Pagi Hari
Pagi itu, sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela apartemen kecil Aira di Semarang. Cahaya lembut itu menyapu wajahnya yang masih terlelap, membuatnya mengernyit sebelum akhirnya membuka mata perlahan.
Aira menggeliat di tempat tidur, merasakan tubuhnya sedikit pegal setelah begadang semalaman. Tadi malam, setelah pertemuan tak terduga dengan Raka di kafe, dia berhasil menulis hampir dua bab penuh untuk novel barunya, sesuatu yang tidak pernah terjadi selama berbulan-bulan terakhir.
Aroma kopi yang baru diseduh dari dapur kecilnya menggoda hidungnya. Aira bangkit, mengenakan kardigan tipis di atas kaus tidurnya, lalu berjalan ke dapur. Saat sedang menuang kopi ke cangkir favoritnya yang bergambar bunga matahari, ponselnya bergetar di atas meja.
Aira melirik layar, dan jantungnya langsung berdegup kencang. Sebuah pesan masuk dari nomor yang belum dikenal.
“Selamat pagi, Aira. Ini Raka. Maaf kalau mengganggu, aku cuma mau bilang terima kasih lagi untuk novelnya kemarin. Aku benar-benar suka. Kalau boleh, aku mau baca karya kamu yang lain. Ada rekomendasi?”Aira menatap pesan itu dengan mata membelalak, tidak percaya bahwa Raka benar-benar menghubunginya.
Dia buru-buru meletakkan cangkir kopi, tangannya sedikit gemetar saat membalas pesan.
“Selamat pagi, Raka! Senang kamu suka. Hmm… coba baca Senja di Pelupuk Mata. Itu salah satu yang paling aku suka. Link-nya aku kirim ya.” Dia mengetik dengan cepat, mengirimkan tautan novelnya di platform online, lalu menahan napas menunggu balasan.
Tidak sampai semenit, pesan baru muncul.
“Terima kasih! Aku akan baca hari ini. Oh ya, aku ada di dekat tempatmu. Mau ketemu lagi? Aku mau tanya-tanya soal dunia kepenulisan. Siapa tahu aku bisa bantu dengan desain cover untuk novelmu.”Aira hampir menjatuhkan ponselnya.
“Dia serius mau ketemu lagi?” gumamnya, wajahnya memanas. Dia menatap cermin kecil di dinding, melihat bayangannya yang masih berantakan dengan rambut kusut dan wajah tanpa riasan.
“Ya Tuhan, aku harus siap-siap sekarang juga!” Dia buru-buru membalas
“Boleh! Aku di daerah Simpang Lima. Ketemu di kafe yang sama jam 10, gimana?”
“Deal. Sampai nanti,” balas Raka singkat.
Aira langsung berlari ke kamar mandi, mandi secepat kilat, dan memilih pakaian yang sederhana tapi manis, kemeja putih dengan celana kulot krem, ditambah cardigan tipis berwarna pastel.
Dia menyisir rambut panjangnya, membiarkannya tergerai alami, dan mengoleskan sedikit lipstik untuk memberi warna pada wajahnya.
“Ini bukan kencan, Aira. Dia cuma mau ngobrol soal novel,” katanya pada diri sendiri di depan cermin, tapi dia tidak bisa menyembunyikan senyum kecil yang muncul di bibirnya.
Pukul 09.45, Aira sudah tiba di Kopi Kenangan. Dia memilih meja yang sama seperti kemarin, di dekat jendela, dan memesan latte kesukaannya. Sambil menunggu, dia membuka laptop, berpura-pura membaca ulang bab yang dia tulis semalam, padahal pikirannya melayang ke mana-mana.
Setiap kali pintu kafe berbunyi cling, dia langsung menoleh, berharap itu Raka.Tepat pukul 10, Raka masuk. Kali ini, dia tidak basah kuyup seperti kemarin.
Dia mengenakan kemeja flanel biru tua dengan lengan digulung hingga siku, dipadukan dengan celana jeans sederhana. Rambutnya yang sedikit bergelombang tampak lebih rapi, dan senyumnya langsung membuat suasana kafe terasa lebih hangat.
“Pagi, Aira,” sapanya sambil menarik kursi di depan Aira.
“Pagi, Raka,” balas Aira, berusaha terdengar santai meskipun jantungnya berdegup kencang.
“Kamu tepat waktu banget.”Raka tertawa kecil.
“Kebiasaan. Aku paling benci telat.” Dia memesan kopi hitam tanpa gula, lalu menatap Aira dengan mata yang penuh rasa ingin tahu.
“Jadi, ceritain dong, gimana rasanya jadi penulis novel online? Aku penasaran." Aira tersenyum, merasa sedikit lebih rileks.
“Awalnya sih seru. Aku suka bikin cerita, apalagi kalau pembaca suka dan kasih komentar positif. Tapi lama-lama… tekanannya besar. Harus update tiap minggu, kadang tiap hari, kalau enggak pembaca bisa kabur. Belum lagi kalau writer’s block datang. Kayak sebelum ketemu kamu kemarin, aku buntu total.”Raka mengangguk, mendengarkan dengan serius.
“Aku bisa bayangin. Tapi menurutku, kamu punya bakat besar. Cara kamu bikin emosi karakternya terasa nyata itu… jarang aku temuin di novel online. Aku serius, Aira.”Wajah Aira memanas lagi.
“Makasih. Tapi aku masih belajar. Kadang aku merasa ceritaku terlalu biasa, enggak cukup spesial untuk menarik perhatian.”
“Itu salah,” potong Raka cepat.
“Ceritamu punya jiwa. Mungkin kamu cuma butuh sedikit sentuhan visual biar lebih menonjol. Misalnya… cover yang bagus.” Dia tersenyum nakal, lalu mengeluarkan tablet dari tasnya.
“Aku bikin sesuatu semalam, setelah baca novel mu. Mau lihat?”Aira mengangguk, penasaran. Raka membuka tabletnya, memperlihatkan sebuah desain cover digital. Gambar itu menampilkan siluet sepasang kekasih di bawah langit senja, dengan warna oranye dan ungu yang lembut. Di tengah gambar, judul Langit di Ujung Jalan tertulis dengan font yang elegan, dan nama Aira sebagai penulis diletakkan di bawahnya.
Aira menatap desain itu dengan mata berbinar. “Raka… ini cantik banget,” katanya, tidak bisa menyembunyikan kekagumannya.
“Senang kamu suka,” jawab Raka, terdengar lega.
“Aku pikir, ceritamu butuh cover yang bisa mencerminkan emosinya. Kalau kamu mau, aku bisa bantu bikin cover untuk novel-novelmu yang lain.”Aira menatap Raka, merasa ada kehangatan yang aneh di dadanya.
“Kamu serius? Tapi… aku enggak tahu apakah aku bisa bayar sesuai standar desainmu.”Raka menggeleng.
“Anggap aja ini salam perkenalan aku dengan kamu. Aku suka ceritamu, dan aku mau bantu. Lagipula, siapa tahu ini bisa jadi awal kolaborasi kita.” Dia tersenyum, dan Aira merasa senyuman itu seperti sinar matahari pagi yang menyelinap ke dalam hatinya.
Obrolan mereka berlanjut, dari dunia kepenulisan hingga hobi masing-masing. Aira baru tahu bahwa Raka ternyata suka fotografi, dan dia sering menghabiskan akhir pekan untuk berburu momen-momen indah di kota yang juga tak kalah indah ini, yaitu Semarang.
“Kapan-kapan aku ajak kamu ke spot favoritku. Pemandangannya bagus, cocok untuk kamu mencari inspirasi menulis,” kata Raka, nadanya santai tapi penuh harapan.
Aira tersenyum, mengangguk.
“Aku tunggu.” Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam dirinya, tapi satu hal yang pasti, pertemuan ini, dan kehadiran Raka, mulai mengisi kekosongan yang selama ini dia rasakan.
Saat mereka berpisah di depan kafe, langit Semarang sudah mulai mendung lagi. Raka melambaikan tangan, dan Aira membalas dengan senyuman. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa ini bukan pertemuan terakhir mereka. Ada sesuatu yang baru saja dimulai, sesuatu yang manis, hangat, dan penuh harapan.
padahal niatnya ya itu author bikin cerita yang bisa nyentuh, memaknai setiap paragraf, enggak sekedar cerita dan bikin plot... kamu tahu, aku bikin jalan cerita 3 hari itu menghabiskan 15 bab 🤣🤣
mampir bentar dulu yaa... lanjut nanti sekalian nunggu up 👍
jgn lupa mampir juga di 'aku akan mencintaimu suamiku' 😉