"Lepaskan aku, dasar pemaksa!" Nayla.
"Seharusnya kau senang karena menikah dengan pria tampan, kaya dan mapan sepertiku!" Reinhard.
Nayla, gadis polos dari desa yang terpaksa menikah dengan seorang mafia kejam, psikopat dan menyebalkan demi membayar hutang kedua orangtuanya.
Namun siapa sangka di balik sikap kejam Reinhard, pria itu menyembunyikan banyak luka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Sudah beberapa hari ini Nayla mengalami mual dan muntah. Tubuhnya terlihat kurus dan wajahnya juga pucat. Apapun yang Nayla makan selalu ia memuntahkan kembali.
Tentu saja hal itu membuat Rein semakin khawatir dengan keadaan sang istri. Apalagi, nayla selalu menyuruhnya menjauh saat mereka berdua sedang berdekatan.
"Apa tidak sebaiknya kalau kita pergi ke dokter?" tanya Rein melihat istrinya yang baru saja keluar dari kamar mandi dan duduk di sisi ranjang.
"Tidak mau. Aku lebih baik--" Nayla melirik Rein dengan tatapan penuh kebencian, lalu menutup hidungnya. "Jauh-jauh dariku, Rein!"
"Aku ingin memeluk istriku. Apa salah?!" Rein mendekati Nayla dan hendak memeluknya.
"Kau bau! Aku juga tidak suka melihat wajahmu. Saat sedang bersamamu seperti ini rasanya aku mual dan--" perut Nayla kembali bergejolak. Namun berhasil ia tahan. Ia juga heran, sebenarnya apa yang sedang terjadi pada dirinya.
Beberapa hari yang lalu, ia begitu sangat merindukan suaminya. Kemudian Rein kembali, rasa rindu tersebut berubah menjadi rasa benci. Seakan apa yang Nayla ucapkan berlawanan dengan apa yang ada dalam hatinya.
"Apa? Bau?!" Rein mengendus tubuhnya sendiri.
"Aku bahkan baru selesai mandi, bagaimana bisa kau mengatakan kalau aku bau! Dan satu lagi, aku merindukanmu," ucapnya malu-malu, lalu sedikit menundukkan wajahnya.
Ini adalah kali pertama pria itu berkata jujur pada sang istri. Rein harus membuang segala gengsinya demi melepaskan rasa rindu karena satu tidak bertemu.
"Pokoknya tidak ada rindu-rinduan! Aku malas melihat wajahmu, Rein!" Nayla menatap tajam Rein. Tatapan mengerikan seperti seekor elang yang siap menerkam mangsanya.
"Kenapa tatapannya jadi mengerikan begini. Aku merasa sedang melihat diriku sendiri sekarang," gumam Rein namun hanya dalam hati seraya menelan saliva nya dengan susah payah.
"Cepat keluar?!" usir Nayla.
"Sayang, kau tega mengusirku? Aku ingin di peluk dan di kecup. Rasanya kepala bawahku sakit." Rein merengek seperti anak kecil yang ngambek tidak di belikan permen.
Tetap saja apa yang Ren lakukan tidak membuat Nayla luluh sama sekali.
"Apa kau tuli?! Cepat keluar! Aku muak melihat wajahmu yang menmph---" Nayla kembali berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semuanya. Sungguh rasanya benar-benar tidak enak.
"Sebenarnya apa yang terjadi padanya. Apa dia masuk angin seminggu ini tidak aku peluk?" tanya Rein pada dirinya sendiri. Ia memutuskan untuk keluar daripada Nayla semakin marah dan murka padanya.
*****
"Padahal niatku pulang, untuk bermanja-manja dengannya. Tapi aku malah di usir seperti seorang pencuri. Menggelikan sekali!" gerutunya kesal.
Seseorang yang kejam dan keras kepala seperti dirinya harus mengalah pada wanita. Benar-benar seperti bukan dirinya. Mungkinkah Rein sudah mulai terkena demam bucin?
"Tuan, apa yang anda lakukan malam-malam begini? Diluar dingin, anda bisa masuk angin," tanya Mark yang memberanikan diri duduk di samping Rein.
"Matamu rabun, hah?! Aku sedang duduk dan menekuk wajahku, bodoh!" kesal Rein. Asistennya tersebut semakin membuatnya tidak bisa mengontrol emosi.
"Memangnya wajah bisa ditekuk, tuan?" Mark kembali bertanya. "Tuan lawaknya tidak lucu,'" ejek Mark yang langsung tertawa terbahak.
Rein berdehem. Seketika tawa Mark langsung hilang entah kemana. Ia menunduk dan tidak berani menatap wajah Rein. Apalagi, tuan nya itu sedang dalam mode iblis.
"Tuan benar-benar tidak asik!" Mark memilik beranjak dari tempat duduknya dan menghindar.
"Mau kemana kau, hah?! Aku belum menyuruhmu untuk pergi!" sentak Rein berusaha menahan Mark, tentu saja untuk menemaninya. Tapi, karena gengsi ia terlihat seperti sedang membentak.
"Tentu saja pergi tidur. Apa anda tidak lihat sekarang jam berapa?" Mark menunjuk benda yang melingkar di pergelangan tangannya. "Hampir pukul tiga pagi Tuan. Saya tidak mau mati kedinginan disini dan--,"
"Mark..."
"Ya, ada apa lagi, Tuan?" Mark menghentikan langkahnya dan berbalik.
"Bisakah kau mencium ku?" ucapnya lirih. Sungguh, ia benar-benar tidak suka di posisi ini. Sangat menyebalkan!
"What?! Apa saya tidak salah dengar?!" Mark menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal. Sejujurnya dia adalah pria normal, tapi jika tuan nya yang meminta, mau tidak mau Mark harus melakukannya.