Aura, gadis berusia 26 tahun yang selama hidupnya tidak pernah memahami arti cinta.
Karena permintaan keluarga, Aura menyetujui perjodohan dengan Jeno.
Akan tetapi, malam itu akad tak berlanjut, karena Aura yang tiba-tiba menghilang di malam pengantinnya.
Entah apa yang terjadi, hingga keesokan harinya Aura justru terbangun di sebuah kamar bersama Rayyan yang adalah anak dari ART di kediamannya.
"Aku akan bertanggung jawab," kata Rayyan lugas.
Aura berdecih. "Aku tidak butuh pertanggungjawaban darimu, anggap ini tidak pernah terjadi," pungkasnya.
"Lalu, bagaimana jika kamu hamil?"
Aura membeku, pemikirannya belum sampai kesana.
"Tidak akan hamil jika hanya melakukannya satu kali." Aura membuang muka, tak berani menatap netra Rayyan.
"Aku rasa nilai pelajaran biologimu pasti buruk," cibir Rayyan dengan senyum yang tertahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chyntia R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Mulai terbiasa
"Aku gak mau mendengarnya," kata Aura akhirnya.
Rayyan tak begitu terkejut dengan penolakan Aura mengenai hal yang ingin ia sampaikan, pasalnya ini memang terlalu sen-si-tif yakni mengenai apa yang terjadi pada mereka berdua dalam keadaan yang dipengaruhi obat pada malam itu.
Rayyan sudah tau semuanya sebab ia sudah mendapatkan rekaman pengakuan Hanin dari Pak Dery mengenai kronologi kejadian malam itu. Hanin telah mencampurkan obat tidur sekaligus obat kuat kedalam minuman Rayyan. Sedangkan pada Aura, gadis itu memberikannya teh yang sudah dicampurkan serbuk pe-rang-sang.
"Baiklah jika itu keputusan kamu." Rayyan tidak mau memaksa Aura. "... tapi, boleh aku tau apa alasan kamu gak mau mengetahuinya? Atau, sebenarnya kamu juga udah ingat mengenai kejadian malam itu?" tebaknya sesaat kemudian.
Aura tak berani menatap pada Rayyan, membuat pria itu dapat menyimpulkan sesuatu yaitu sebenarnya Aura pun sudah mengingat semuanya, hanya saja ia malu dan selalu menepis kuat segala kepingan kejadian mengenai yang sempat terjadi diantara mereka malam itu.
"Aku mau kembali ke kamar," kata Aura yang kembali menghindar.
Rayyan diam saja, sampai pada akhirnya ia berhasil membuat Aura menghentikan langkah karena ujarannya yang terdengar menohok.
"Kamu gak mau denger karena kamu udah tau kan, kalau malam itu kamu lah yang mendatangi kamar yang aku tempati di paviliun belakang?"
Tubuh Aura membeku, diam seperti patung dengan mata yang dipejamkan erat-erat.
"Sebenarnya kamu udah ingat semuanya sejak lama, kan, Ra?"
Aura menggeleng dari posisinya, mencoba menyangkal hal yang sudah jelas-jelas bisa Rayyan tebak.
Rayyan memang butuh cukup waktu untuk mengingat semuanya karena pada waktu itu ia tidak sepenuhnya sadar. Sementara Aura, sebenarnya gadis itu cukup sadar hanya saja ia juga dalam pengaruh obat yang kian mendorongnya untuk melakukan lebih, sehingga Aura tidak bisa menolak keinginan yang muncul dari tubuhnya sendiri.
"Aku gak mendatangi kamar kamu, Ray!" Aura berkata tegas.
"Lalu? Aku mengingat jika kamu yang pertama kali menyentuh aku, Ra!"
"Cukup! Aku gak mau denger apapun lagi."
"Oke, kita tutup pembahasan mengenai hal ini."
Rayyan mengalah, memang seharusnya ia tak membahas mengenai hal ini lagi jika itu hanya akan memancing kemarahan Aura lagi. Akan tetapi, Rayyan ingin memastikan sesuatu yaitu apa sebenarnya Aura sudah ingat kejadiannya atau justru tidak sama sekali. Dan hari ini, Rayyan sudah mendapat jawabannya jika Aura jelas-jelas tau apa yang terjadi pada malam itu.
Rayyan menatap pada punggung Aura yang perlahan menjauh. Rayyan tidak bermaksud menyalahkan Aura, pun dengan sikap wanita itu yang tak mau mengakui kejadian yang sebenarnya, Rayyan tau Aura pasti malu untuk mengutarakannya sebab malam itu Aura yang lebih mendominasi permainan mereka, begitulah yang Rayyan ingat.
"Ah, mengingatnya kepalaku jadi sakit!" Rayyan menggerutu kemudian ikut masuk ke dalam kamarnya sendiri.
Sementara disana, Aura tak bisa tidur memikirkan segala ucapan Rayyan. Kenyataan jika Rayyan sudah mulai mengingat kejadian pada malam itu seperti menjadi momok tersendiri bagi Aura. Kenapa? Tentu saja karena ia malu. Ia ingat jika malam itu ia yang memaksa Rayyan untuk menyentuhnya. Tadinya Aura memang tak begitu mengingat kejadiannya, tapi lambat laun potongan kejadian malam itu selalu melintas dikepalanya seiring dengan usahanya untuk menepis semuanya.
Untuk detail yang terjadi, Aura memang tak terlalu mengingat sebab pengaruh obat itu hanya membuatnya mengingat sekilas-sekilas bayangan tentang apa yang dia perbuat pada Rayyan.
Sial. Karena Rayyan yang membahas hal ini, Aura jadi kembali membayangkan hal yang terjadi pada malam itu. Dimana ia mengingat suara rintihannya sendiri yang terasa amat menikmati.
"Kenapa sih dia harus ingat kejadian malam itu?"
Aura mengusap wajahnya sendiri. Ini pula sebabnya ia tak bisa menyalahkan Rayyan sepenuhnya, ia marah pada Rayyan karena kodratnya sebagai seorang gadis yang harus menjadi korban dan kehilangan kegadisan. Padahal sebenarnya, ia yang menggoda Rayyan pada malam itu.
"Aku tidak boleh mengingat hal itu lagi dimana aku seperti pe-la-cur yang menggodanya."
Aura tak habis pikir, akibat pengaruh obat yang diberikan Hanin padanya malam itu malah membuatnya seperti wanita yang haus belaian hingga mencari seseorang yang bisa menuntaskan keinginan yang muncul dari dalam dirinya.
...***...
Seperti pagi sebelumnya, rupanya Rayyan benar-benar menepati janjinya untuk kembali memasakkan Aura. Kali ini ia membuat roti bakar selai cokelat sebagai menu sarapan wanita itu.
"Makasih."
Aura hanya bisa mengucapkan hal itu, ia terlalu malu untuk menatap Rayyan sebab pembahasan yang kemarin sempat membuat keduanya sedikit ribut.
"Hmm... makanlah," kata Rayyan yang tampak berdiri di balik pantry seperti tengah membuat sesuatu yang lain.
Beberapa saat kemudian, Rayyan datang dengan segelas susu hangat.
"Minum susu juga, ya."
Aura mengangguk, tapi ia sedikit terperangah saat Rayyan menyentuh pucuk kepalanya dengan lembut. Aura menatap Rayyan dan ternyata pria itu refleks menghentikan pergerakannya yang ingin mengelus rambut Aura sebab tatapan tajam dari wanita itu.
"Sorry," kata Rayyan akhirnya.
Aura tak merespon, ia malah menikmati roti bakarnya dengan sangat lahap. Tapi ada satu yang membuat Aura cukup heran. Darimana Rayyan tau ia suka makan roti bakar dengan selai cokelat yang seperti ini?
Roti cokelat biasa memang wajar dimakan siapapun, tapi Aura memiliki selera berbeda yaitu roti bakar yang dipanggang cukup lama agar pinggirannya mengering dan yang dibuat Rayyan persis seperti keinginannya.
"Enak?" tanya pria itu.
Aura mengangguk. "Kenapa kamu buat roti bakarnya kering begini?" tanyanya.
"Bukannya kamu suka yang kering dan agak gosong begitu?" Rayyan malah balik bertanya.
"Mama yang bilang sama kamu?"
Rayyan tersenyum. "Aku belum sempat menanyakan banyak hal tentang kamu sama Mama," akuinya.
"Jadi, darimana kamu tau aku suka yang begini?"
Rayyan hanya mengendikkan bahu tak acuh. Haruskah ia mengatakan jika hampir semua kesukaan Aura ia ketahui?
Rayyan ikut menikmati sarapannya, saat Aura kembali bersuara.
"Nanti biar aku yang siapin makan siang," ujar wanita itu membuat Rayyan spechless.
"Bukannya kamu---"
"Aku emang gak pintar masak. Aku cuma gak mau hutang budi sama kamu karena selalu buatin aku makan, jadi sesekali biar aku yang masak."
Rayyan tersenyum mendengar penuturan wanitanya. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepala. Dimasakkan oleh istri sendiri rasanya pasti lebih enak, begitulah batin Rayyan bersorak bahagia.
Siang harinya Aura benar-benar menyiapkan makan siang untuk mereka berdua. Menu sederhana yang membuat Rayyan merasa benar-benar mempunyai istri meski Aura masih selalu menyangkal kenyataan itu.
"Makanan kamu enak."
"Aku gak minta pendapat kamu. Makan ya makan aja." Seperti yang sudah-sudah, Aura menyahut jutek, bedanya ia sudah tak seketus dulu, yang kini, nada suaranya hanya terkesan cuek dan masa bodoh.
Rayyan benar-benar menikmati masakan Aura dengan hati gembira. Meski Aura mengaku tak bisa masak, tapi makanan itu adalah makanan terenak yang pernah Rayyan cicipi. Mungkin karena ia melahapnya dengan rasa sukacita dan penuh cinta.
Waktu berjalan dengan cepat, setiap hari mereka seperti mempunyai kebiasaan yang terjadwal. Rayyan menyiapkan sarapan dan Aura memasak makan siang. Untuk makan malam keduanya, terkadang Rayyan yang kembali masak atau memesan melalui aplikasi online.
Jujur saja, Aura mulai terbiasa dengan kehadiran Rayyan didekatnya. Begitupun dengan yang Rayyan rasakan. Meski bisa dikatakan belum ada kemajuan yang berarti diantara mereka mengenai perasaan, tapi kedekatan mereka yang itu-itu saja dan terkesan membosankan tersebut selalu membuat Rayyan amat bersyukur.
Aura sendiri mulai merasa jika Rayyan selalu tau mengenai dirinya tanpa ia minta. Pria itu memahami seleranya, tau kesukaannya dan segalanya tentang dia. Sejujurnya, Aura mulai terusik dengan perasannya sendiri.
Apakah Rayyan yang pernah Aura kategorikan sebagai salah satu masalah baginya kini benar-benar telah menjelma menjadi masalah untuk hatinya?
...***...
Pagi ini, Aura mengernyit saat mendapati Rayyan sudah dalam balutan pakaian yang sangat rapi. Pria itu juga tampak terburu-buru sekali. Aura ingin menanyakan mau apa dan kemana Rayyan hari ini, tapi ia urung dan gengsi untuk melakukannya.
"Baru aja aku mau bangunin kamu." Rayyan menangkap kehadiran Aura di penglihatannya. Wanita itu tampak bergeming sehingga Rayyan kembali bersuara. "... ada yang mau aku urus selama beberapa hari ke depan, jadi ... aku bakal ninggalin kamu disini."
Mulut Aura sudah terbuka untuk memprotes tindakan Rayyan. Harusnya pria itu mendiskusikannya dulu padanya, kan? Apalagi ini kepergian sampai beberapa waktu. Bukankah seharusnya Rayyan memberitahunya sejak kemarin-kemarin? Bukan memberitahunya didetik-detik hendak pergi seperti ini?
"Ah, iya, tapi aku udah buatkan sarapan untuk kamu dan nanti ada maid yang datang buat bantuin dan temenin kamu disini."
Aura menatap Rayyan dengan tatapan tajam yang sulit Rayyan artikan maksudnya.
Rayyan bingung mendapat tatapan seperti itu dari Aura. Apakah Aura marah padanya?
...Bersambung ......
Vote nya mana? Lanjut gak ini?? 😅😅