Bagaimana rasanya di tinggalkan untuk selamanya di hari pernikahan. Hari yang harusnya membuat bahagia, namun itu membuat luka.
Dan gadis cantik itu pun harus menerima cacian dan makian, juga di cap sebagai gadis pembawa sial.
Lalu tiba-tiba, ada seorang laki-laki yang bersedia menikahinya agar membuang kesialan itu. Laki-laki yang tidak dia kenal sama sekali, tiba-tiba menjadi suaminya.
Siapakah Laki-laki itu? Dan bagaimanakah kehidupan rumah tangga mereka? Apakah cinta akan tumbuh di hati mereka?
Simak yuk, hanya di Novel ini
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurmay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Cemburu!
Agra masih menekuk wajahnya kesal karena ajakannya belum juga digubris Kiran. Di ruang tamu Kiran berjalan menghampirinya dengan membawakan semangkuk salad buah yang dia buat sendiri, duduk di satu sofa yang sama Kiran menggeser mangkuk tersebut kedepan Agra.
Tapi bagaikan anak kecil yang merajuk, Agra malah menggeser posisinya dengan bibir yang masih di manyunkan, Kiran tertawa kecil melihatnya, sungguh dia tidak menyangka. Tuan tanah yang satu tahun lalu menikahinya bisa bersikap layaknya manusia normal, karena memang berawal dia tahu, Agra adalah pria yang dingin dan tegas.
''Tidak mau? ya sudah biar Kiran yang menghabiskannya.''
''Ck, apa kamu tidak ingin membujuk Mas?''
Kiran tersedak salad yang baru saja ia makan. 'Hah? apa dia baru saja meminta di bujuk, sungguh?' .
''Mas kenapa? Kiran punya salah ya?''
''Tidak, mana mungkin kamu punya salah,'' jawab Agra yang sudah mengambil alih mangkuk salad dari tangan Kiran.
''Lalu?''
''Mas menginginkannya lagi, sayang.''
Kiran menelan buah anggur itu dengan susah payah, lalu meminum air untuk melancarkan tenggorokannya.
''Tapi mas-''
''Tapi apa?''
''Emmm itu, itu ku masih terasa nyeri,'' lirih Kiran dengan malu-malu.
''Janji! kali ini benar pelan-pelan.'' Agra mengangkat dua jarinya dan membentuk huruf 'V' untuk membuat janjinya yang entah akan di tunaikan atau tidak.
Kiran menghela nafasnya dengan panjang, melihat Agra yang terus merengek seperti itu, membuat dia tidak berdaya untuk menolaknya lagi.
''Baiklah, nanti malam saja. Aku mau keluar dulu ya, Mas.''
''Kemana?''
''Membeli keperluan pribadiku,'' jawab Kiran yang terus asik memakan salad buahnya.
''Biarkan Mala yang pergi, berikan saja daftar belanjanya.''
''Tidak! memangnya Mas tidak ingin menemani ku berbelanja?''
Agra meminum air dengan cepat, dan langsung bangkit dari duduknya. ''Siap nyonya Nadindra, kita pergi sekarang!'' Kiran terkejut dibuatnya, tangan Agra menariknya dengan lembut agar Kiran juga ikut bangun.
''Tunggu Mas! aku belum ambil tas!''
Agra tidak mendengarkan Kiran, ia terus menarik Kiran menuju ruangan yang akan membawa mereka ke garasi untuk mengambil mobil yang disimpan disana bersama mobil-mobil lainnya.
''Mas, Kiran tidak membawa uang,'' ucap Kiran lagi pada saat sudah berada didalam mobil.
''Ini pakailah.'' Agra memberikan dompet beserta isinya pada Kiran yang tercengang tidak mengerti.
''Hah? ini kan punya Mas!'' Kiran mengembalikan lagi dompet itu pada Agra.
''Apapun milikku, itu juga sudah menjadi milikmu.'' Dompet itu seperti bola yang terus saja di oper, dan kini Agra sudah meletakkan dompetnya pada tangan Kiran dan tidak ingin ada penolakan lagi.
Agra melajukan mobilnya, keluar dari garasi melewati halamannya yang luas, dan saat akan sampai di gerbang utama, penjaga disanapun segera membukakannya.
Diperjalanan sesekali mereka saling bertukar pandang dan saling tersenyum. Tangan Agra juga sudah menggenggam tangan Kiran, mengendalikan stir mobil dengan tangan kirinya, bahkan Agra tidak terlihat kesulitan sedikitpun.
Tepat di persimpangan jalan, rambu lalu lintas pun menyala pada warna merah, seluruh kendaraan dari arah yang sama pun berhenti membiarkan pengendara dari arah lain lewat.
Agra sambil bersenandung ringan dan menciumi tangan Kiran yang Kiran sendiri sudah tersipu malu karena perilakunya. Untuk mengurangi rasa gugupnya, Kiran pun membuka kaca mobil, menghirup udara pagi yang sejuk.
''Kiran?''
Kiran mencari asal suara itu yang ternyata berasal dari mobil yang ada di sebelah mobil Agra.
''Sang Roby,'' balas Kiran dengan sopan sembari kepalanya yang mengangguk sebentar.
''Selamat pagi, Tuan,'' sapa Roby pada Agra yang hanya memberikan senyum kecutnya.
''Tidak ada mata kuliah?''
''Tidak sang Roby. Apa anda akan pergi ke kampus?'' Kiran berbalik tanya tanpa tahu ekspresi Agra saat ini sudah menekuk wajahnya sampai membentuk angka sebelas pada dahi antara alisnya.
''Tidak, saya akan mengunjungi orang tua saya.''
Kiran tidak menjawabnya lagi, sampai lampu rambu pun berubah menjadi hijau, tanpa mengatakan apapun, Agra langsung melajukan kembali mobilnya menjauh dari mobil Roby.
Roby yang melihat itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. ''Ternyata sifatnya tidak pernah berubah. Tapi itu memang dirimu.'' Gumam Roby.
''Mas?'' panggil Kiran yang menyadari kalau Agra tengah marah padanya.
''Mas, aku hanya bersikap layaknya mahasiswa bertemu dengan dosennya,'' jelas Kiran.
''Tapi Mas tidak suka, Mas cemburu, sayang. Terlebih lagi itu adalah dia, mengingat kembali pada saat kamu dipeluk saja, Mas kembali muak!''
''Bukan dipeluk, Mas!''
''Iya Mas tahu!''
''Tahu? darimana, apa aku pernah menceritakan yang sebenarnya?''
''Tidak, ah sudah lupakan saja. Jangan bahas dia lagi!''