Mencintai pria dewasa yang umurnya jauh lebih matang sama sekali tidak terbesit pada diri Rania. Apalagi memikirkannya, semua tidak ada dalam daftar list kriterianya. Namun, semua berubah haluan saat pertemuan demi pertemuan yang cukup menyebalkan menjadikannya candu dan saling mengharapkan.
Rania Isyana mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang sedang menjalani jenjang profesi, terjebak cinta yang rumit dengan dokter pembimbingnya. Rayyan Akfarazel Wirawan.
Perjalanan mereka dimulai dari insiden yang tidak sengaja menimpa mobil mereka berdua, dan berujung tinggal bersama. Hingga suatu hari sebuah kejadian melampaui batas keduanya. Membuat keduanya tersesat, akankah mereka menemukan jalan cintanya untuk pulang? Atau memilih pergi mengakhiri kenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 22
"Ra, kamu lucu banget sih, sampai pucet gitu," goda Rayyan mengulum senyum. Semenjak ketemu gadis itu, ia seperti menemukan jiwa muda dan semangatnya kembali. Ternyata menggodanya menjadi booster tersendiri untuk jiwanya yang tengah galau merana.
Rayyan membuka pintu kamar mandi sedikit, menemukan asisten rumah tangganya hampir rampung mengemas kamar.
"Mbok, keluar sebentar ya, aku mau ganti, atau beresinnya nanti saja," pinta Rayyan mengusir sopan.
Mbok Ijah lekas mengerti, perempuan yang tak lagi muda itu bergegas keluar kamar dan menyiapkan sarapan yang ia bawa dari rumah Bu Wira. Mbok Ijah itu pembantu orang tuanya Rayyan juga yang akan berkunjung di hari-hari tertentu untuk membersihkan rumah anak majikannya itu.
"Keluar Ra, udah aman, cepetan mandi, kita sarapan di jalan saja atau kalau nggak bawa bekal nanti," ucapnya sembari mengenakan pakaiannya sendiri.
Rania bergegas keluar dari ruang yang memenjara dirinya beberapa menit itu. Gadis itu keluar dengan cepat, dan langsung menuju kamarnya. Mandi kilat, dan segera mengenakan pakaiannya.
"Ra, udah?" tanya Rayyan yang sudah menunggu di depan pintu kamar. "Ayo berangkat!"
Rania bergeming, ia masih malu dan bingung sebenarnya dengan kejadian yang tadi, tetapi sepertinya Dokter Rayyan yang rada-rada itu sudah melupakannya atau bersikap biasa saja. Membuat gadis itu pun, harus tebal muka dan bersikap cuek, layaknya tidak terjadi hal yang tidak enak dikenang.
"Lho, Den Rayyan? Nggak sendirian to ternyata," tegur Mbok Ijah kebetulan melewatinya.
"Iya Mbok, Rayyan berangkat dulu ya," ujar pria itu sembari menyambar bekal yang sengaja dibuatkan untuknya dari mama.
"Makasih ya Mbok, tolong bilangin ke mama," ucap pria itu sembari menarik tangan Rania untuk cepat memasuki mobil, sementara Mbok Ijah senyam-senyum penuh arti melihat majikannya punya pacar baru.
Mereka sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit. Mobil melaju dengan kecepatan sedang.
"Ra, tolong itu bekalnya dibuka, terus dimakan, itu buatan mama yang selalu dibawakan Mbok Ijah setiap kali datang, kamu makan cepat kok malah bengong, kamu nggak bakal sempat sarapan," titah Rayyan melirik bekal yang sengaja ditaruh di foldable car cup holder.
Pria itu tahu betul suka dukanya anak koas jika sudah di rumah sakit, yang kadang tidak sempat makan karena banyaknya pasien, berasa dikejar-kejar deadline kesehariannya.
Rania mengeryit, serasa aneh saja ternyata Dokter Rayyan yang tampan, rupawan, dan mesumnya nggak ketulungan itu anak mami yang masih sangat diperhatikan, wow sekali, bahkan dirinya saja tidak ingat kapan mama Inggit memberinya bekal, mungkin pas taman kanak-kanak. Perempuan itu pun mengulum senyum, berasa lucu dan tidak menyangka. Dengan sedikit meragu, gadis itu mengambilnya dan membukanya. Ingat betul susahnya menyela untuk waktu istirahat, apalagi pas pasien lagi banyak-banyaknya. Gadis itu makan di mobil, Rayyan meliriknya dengan senyuman.
"Habisin dulu, Ra, masih ada waktu," ujar Rayyan setia menunggu. Mereka sudah berada di parkiran rumah sakit.
"Dokter jadi nggak makan dong, padahal ini ibunya Dokter pasti udah niat banget masakin buat Dokter."
Nggak pa-pa Ra, mama pasti seneng yang makan calon mantunya. Hehe, edisi oleng. Com.
"Boleh nyicip nggak Ra, enak kayaknya," ujar pria itu membuka mulutnya.
Rania menatapnya ragu, namun dengan tindakan pasti akhirnya tangan itu terulur untuk menyuapi pria itu. Tentu saja Rayyan mengunyah penuh semangat.
"Kamu juga dong, makannya cepetan dikit, nanti bisa telat." Pria itu mengambil sendok dari tangan Rania lalu menyuapinya tanpa ragu. Jadilah tanpa sadar mereka saling menyuap, membuat batin pria itu berjingkrak senang.
"Aku kenyang Dok," tolaknya saat Rayyan hendak menyuap entah yang ke berapa.
"Ya sudah, biar aku habisin dulu," jawab Rayyan menghabiskan sisa makan mereka.
"Makasih Dok, saya duluan ya." Rania mengangguk sopan. Rayyan membalas dengan senyuman.
Gadis berparas ayu itu langsung menuju ke poly obgyn. Seperti biasa mengisi daftar kehadiran. Tepat pukul tujuh mengikuti apel pagi rutin sebelum memulai kegiatan. Barulah sekitar jam sembilan poly terlihat ramai.
Menjalani koas harus siap tenaga dan mental kuat, karena harus siap presentasi dadakan oleh konsulen. Banyak koas yang pasti menghadapi hal ini tentunya. Seperti Rania harus terpaksa mengerjakan tugas referat yang kadang sampai larut malam hanya karena mempersiapkan kalau-kalau besok paginya disuruh presentasi dadakan.
Gadis itu merasa lelah karena berdiri terlalu lama, satu koas mengikuti satu konsulen karena kebetulan dokternya banyak. Hingga pukul dua siang ia merasa lelah luar biasa. Lelah membantu menangani pasien gawat darurat, sampai lelah dicecar pertanyaan-pertanyaan yang cukup banyak, sampai di mana Rania tidak bisa menjawab dan dijadikan PR untuknya.
"Belajar lagi ya Dek!" pesan dokter masih terngiang-ngiang hingga menjelang istirahat sore ini.
Baru saja gadis itu menghela napas lega, vibrasi handphonenya memekik mengusik atensinya. Nama dokter tampan terpampang di layar ponselnya, dengan sedikit tidak minat, gadis itu menggeser tombol hijau lalu mendekatkan benda kesayangan sejuta umat itu ke telinganya.
"Ke ruangan aku, Ra, aku tunggu nggak pakai lama!" telepon dimatikan sepihak tanpa gadis itu berbicara.