NovelToon NovelToon
Cinta Dibalik Heroin 2

Cinta Dibalik Heroin 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Mafia / Obsesi / Mata-mata/Agen / Agen Wanita
Popularitas:280
Nilai: 5
Nama Author: Sabana01

Feni sangat cemas karena menemukan artikel berita terkait kecelakaan orang tuanya dulu. apakah ia dan kekasihnya akan kembali mendapatkan masalah atau keluarganya, karena Rima sang ipar mencoba menyelidiki kasus yang sudah Andre coba kubur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rahasia Kecil yang Berbahaya

Tas kecil itu terasa lebih berat dari seharusnya.

Feni menyadarinya sejak mobil memasuki gerbang rumah Bunda Erlang. Padahal isinya tidak bertambah apa pun—tidak ada buku, tidak ada pakaian. Hanya sebuah boneka kecil yang kini tersembunyi di antara dompet dan ponselnya. Namun beban itu menekan, seperti sesuatu yang hidup dan menuntut perhatian.

Ia mengatur napas saat mobil berhenti. Erlang turun lebih dulu, memastikan sekitar aman sebelum membukakan pintu untuknya. Kebiasaan itu selalu membuat dada Feni menghangat, tapi hari ini ada jarak yang mengganjal di antara mereka—bukan jarak fisik, melainkan rahasia.

“Masuk, ya,” kata Erlang lembut.

Feni mengangguk, tersenyum sekadarnya.

Rumah itu menyambut dengan keheningan yang tertata. Ada aroma teh hangat, langkah kaki pelan para asisten rumah tangga, dan suara pendingin udara yang stabil. Semuanya terasa aman. Terlalu aman, sampai-sampai rasa bersalah Feni mencuat—seolah ia sedang mengotori ketenangan itu dengan sesuatu yang tidak semestinya ia simpan sendiri.

Di kamar tamu, Feni meletakkan tasnya di sudut lemari. Ia menatapnya beberapa detik, memastikan ritsleting tertutup rapat. Boneka itu tidak terlihat. Tidak mencolok. Seperti tidak ada apa-apa.

Padahal ada.

Erlang berdiri di ambang pintu. “Kamu istirahat dulu. Aku mau ngomong sebentar sama Bunda.”

“Iya,” jawab Feni cepat.

Begitu pintu tertutup, Feni duduk di tepi ranjang. Jarinya saling meremas. Ia menutup mata, mencoba menenangkan detak jantung yang tak mau melambat.

Kenapa aku nggak bilang ke Erlang?

Pertanyaan itu berputar-putar tanpa jawaban yang menenangkan. Ia tahu alasannya—takut. Bukan takut pada Erlang, tapi takut pada akibat. Takut kalau rahasia itu memancing bahaya lebih dekat. Takut kalau ia menjadi alasan orang-orang yang ia cintai kembali terluka.

Ia bangkit, membuka lemari, lalu menarik tas itu. Dengan gerakan cepat, ia menyelipkan boneka ke saku bagian dalam jaket yang jarang ia pakai. Jaket itu kemudian ia gantung paling belakang, tertutup pakaian lain.

Selesai.

Atau setidaknya, itulah yang ia katakan pada dirinya sendiri.

Malam turun perlahan. Di ruang makan, Feni duduk berhadapan dengan Erlang dan Bunda Erlang. Percakapan mengalir ringan—tentang pekerjaan, tentang rencana keamanan, tentang hal-hal kecil yang biasanya membuat Feni merasa menjadi bagian dari sesuatu.

Kali ini, ia tersenyum dan mengangguk, tapi pikirannya melayang.

Setiap suara sendok menyentuh piring membuatnya tersentak. Setiap langkah di luar ruangan membuatnya menoleh. Ia menyadari satu hal dengan jelas: menyimpan rahasia membuatnya lebih waspada dari biasanya. Lebih mudah takut. Lebih mudah curiga.

“Kamu pucat,” kata Bunda Erlang lembut.

“Kurang tidur,” jawab Feni cepat.

Erlang menatapnya, alisnya sedikit berkerut. “Habis makan, kamu istirahat, ya.”

“Iya,” ulang Feni.

Ia tidak berani menatap terlalu lama. Takut Erlang melihat sesuatu yang ia sembunyikan.

Malam semakin larut. Erlang mengetuk pintu kamar tamu sebelum masuk. Ia membawa segelas susu hangat.

“Biar kamu bisa tidur,” katanya sambil meletakkan gelas di meja.

“Makasih,” ucap Feni.

Mereka duduk berdampingan di tepi ranjang. Keheningan di antara mereka biasanya terasa nyaman. Malam ini, keheningan itu seperti ruang kosong yang terisi pertanyaan tak terucap.

“Kamu kepikiran sesuatu?” tanya Erlang akhirnya.

Feni menggeleng. Terlalu cepat.

Erlang tidak memaksa. Ia meraih tangan Feni, menggenggamnya. Hangat. Menenangkan. Feni hampir runtuh di situ—hampir mengatakan semuanya. Tapi bayangan Rima, luka tembak itu, dan darah yang mengalir kembali menyeruak.

Jangan.

“Kalau ada apa-apa,” ujar Erlang pelan, “kamu bilang ke aku.”

Feni mengangguk. “Aku tahu.”

Erlang mencondongkan tubuh, mengecup keningnya singkat. “Tidur.”

Setelah pintu tertutup, Feni memeluk bantal. Tangannya gemetar. Ia menutup mata, tapi pikirannya terus memutar kemungkinan-kemungkinan buruk: seseorang datang, seseorang tahu, seseorang bertanya tentang boneka.

Ia terbangun beberapa kali karena mimpi pendek yang terputus—bayangan tangan meraih tasnya, suara klik kecil, dan langkah kaki di lorong. Setiap kali terbangun, ia memastikan jaket itu masih tergantung di tempatnya.

Masih aman.

Untuk sementara.

Pagi datang dengan cahaya pucat. Feni mandi cepat, lalu turun ke dapur. Erlang sudah di sana, berbicara singkat dengan salah satu petugas keamanan. Wajahnya serius.

“Ada apa?” tanya Feni, berusaha terdengar biasa.

“Mobil asing sempat parkir di luar semalam. Nggak lama,” jawab Erlang. “Tapi kita catat.”

Feni menelan ludah. “Mungkin cuma nyasar?”

“Mungkin,” kata Erlang. “Tapi kita nggak anggap remeh.”

Feni mengangguk. Jantungnya berdetak lebih kencang. Rahasia kecil itu terasa berdenyut di balik jaket—seolah tahu ada yang mendekat.

Setelah sarapan, Erlang harus keluar sebentar. Feni ditinggal di rumah dengan penjagaan. Ia kembali ke kamar, duduk di lantai, punggung bersandar pada ranjang. Ia menarik jaket itu, membuka saku bagian dalam, dan mengeluarkan boneka.

Ia menatapnya lama.

“Kenapa kamu ada di hidupku?” bisiknya.

Ia menimbang-nimbang. Membuka atau tidak. Rasa ingin tahu menggerogoti, tapi ketakutan menahannya. Ia tahu membuka flashdisk itu tanpa persiapan bisa lebih berbahaya. Jejak digital. Waktu. Saksi.

Dengan napas berat, ia menutup kembali saku itu.

Belum.

Siang hari, seorang asisten rumah tangga mengetuk pintu. “Mbak Feni, ada tamu. Teman Mbak Erlang.”

Feni membeku sejenak. “Siapa?”

“Pak Andre,” jawabnya.

Feni menghela napas lega, lalu panik menyusul. Andre. Kakaknya Rima. Polisi. Orang yang paling tepat—dan paling berbahaya—untuk berada dekat rahasia ini.

Ia turun ke ruang tamu dengan langkah hati-hati. Andre berdiri, tersenyum singkat.

“Kamu kelihatan capek,” katanya.

“Sedikit,” jawab Feni.

Mereka berbincang tentang Rima, tentang perkembangan yang buntu, tentang CCTV yang membisu. Setiap kata Andre terasa seperti mengetuk dinding tipis yang memisahkan Feni dari pengakuan.

Ada satu momen ketika Andre menatap sekeliling, lalu bertanya ringan, “Kamu bawa barang-barang penting dari rumah?”

“Udah,” jawab Feni cepat.

Ia tidak berbohong sepenuhnya. Tapi kebenaran itu disembunyikan rapi di balik jawaban singkat.

Malam kembali. Erlang pulang lebih larut dari biasanya. Ia tampak lelah. Feni menyambutnya dengan senyum yang berusaha normal.

“Kamu aman?” tanya Erlang.

“Aman,” jawab Feni.

Mereka duduk di ruang keluarga. Televisi menyala tanpa benar-benar ditonton. Erlang meraih tangan Feni, memijat pelan. Feni membiarkannya, menutup mata, berusaha menikmati momen itu.

Aku cuma simpan sebentar, pikirnya. Sampai waktunya tepat.

Tapi jauh di dalam dirinya, Feni tahu—rahasia yang disimpan sendirian jarang sekali tetap kecil. Ia tumbuh. Ia memanggil bahaya.

Dan malam itu, saat rumah kembali sunyi, Feni menyadari satu hal yang membuat tengkuknya meremang:

Rahasia ini bukan hanya miliknya lagi.

Entah cepat atau lambat, seseorang akan mencarinya.

Dan ketika itu terjadi, ia harus siap—dengan konsekuensi apa pun.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!