Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Luka yang Menyembuhkan
Satu jam setelah kekacauan itu.
Polisi dan tim pemadam kebakaran sudah pergi setelah memastikan tidak ada api susulan dan membawa Vina pergi dengan tangan terborgol. Lorong apartemen yang basah kuyup sedang dibersihkan oleh tim cleaning service khusus yang dipanggil Kevin.
Di dalam penthouse, suasana akhirnya tenang.
Adit baru saja keluar dari kamar mandi. Ia sudah mandi keramas berkali-kali untuk menghilangkan bau bensin yang menyengat, dan kini mengenakan kaos oblong putih polos serta celana training santai. Rambutnya masih basah, wajahnya terlihat segar namun lelah. Goresan merah panjang di pipi kirinya akibat cakaran Vina terlihat kontras dengan kulitnya yang bersih.
Nayla duduk di sofa ruang tengah, memegang kotak P3K. Nando dan Nenek Ijah sudah kembali tidur di kamar setelah dibujuk dan ditenangkan—mereka aman sekarang.
"Sini, Mas. Diobatin dulu lukanya," panggil Nayla lembut.
Adit menurut seperti anak kecil. Ia duduk di samping Nayla.
Nayla menuangkan cairan antiseptik ke kapas. Tangannya bergerak telaten membersihkan luka di pipi Adit.
"Sshhh..." Adit mendesis pelan saat kapas dingin menyentuh luka perih itu.
"Tahan dikit ya. Ini dalem lho lukanya. Takut infeksi kena kuku kotor dia tadi," ujar Nayla, wajahnya sangat dekat dengan wajah Adit. Konsentrasinya penuh pada luka itu.
Adit menatap wajah Nayla. Ia bisa melihat sisa-sisa air mata yang mengering di pipinya, namun mata wanita itu kini jernih dan tenang. Wangi sabun bayi dari tubuh Nayla terasa menenangkan, jauh lebih mewah dari parfum manapun.
"Maaf ya, Nay," gumam Adit.
"Kenapa minta maaf lagi?"
"Muka saya jadi jelek. Nanti kalau ada bekas lukanya, kamu malu nggak jalan sama cowok baret-baret gini?" goda Adit.
Nayla tertawa kecil, menempelkan plester cokelat di pipi Adit. "Nggak usah drama. Justru ini tanda pahlawan. Nando pasti bakal bilang Mas makin keren kayak tentara pulang perang."
"Kalau Ibunya Nando bilang apa?"
Nayla terdiam sejenak, lalu menatap mata Adit lekat-lekat. Tangannya masih menempel di pipi Adit yang tidak terluka.
"Ibunya Nando bilang... terima kasih karena Mas masih hidup. Aku nggak tau harus gimana kalau tadi Mas..." suaranya tercekat lagi.
Adit menggenggam tangan Nayla di pipinya, lalu mengecup telapak tangan itu. "Saya nggak akan ke mana-mana. Saya kan punya hutang sama kamu."
"Hutang apa?"
"Hutang nepatin janji buat antre beli nasi uduk seumur hidup."
Suasana hening yang nyaman menyelimuti mereka. Di luar, fajar mulai menyingsing. Langit Jakarta berubah warna dari hitam pekat menjadi biru tua keunguan.
Pagi harinya, pukul 08.00 WIB.
Aroma kopi dan roti bakar memenuhi penthouse. Kali ini bukan Adit yang menyiapkannya, tapi Nenek Ijah yang sudah bangun duluan dan "menguasai" dapur canggih Adit.
"Pagi, Nek," sapa Adit yang baru keluar kamar.
"Pagi, Juragan," jawab Nenek Ijah sambil mengoles selai. "Eh, salah. Pagi, Nak Adit. Sini sarapan. Nenek bikin roti bakar angus dikit, maklum kompornya canggih bener nggak ada apinya."
Adit tertawa, duduk di meja makan. "Nggak apa-apa Nek, yang penting buatan Nenek."
Tak lama kemudian, bel pintu berbunyi. Adit melihat interkom. Itu Kevin.
"Masuk, Kev," Adit menekan tombol pembuka.
Kevin masuk membawa map berkas. Wajahnya tampak puas.
"Pagi, Pak Adit. Bu Nayla," sapa Kevin sopan.
"Gimana, Kev?" tanya Adit langsung, sambil menggigit roti bakar.
"Beres, Pak. Vina resmi ditahan di Polda Metro Jaya. Pasal berlapis menanti. Percobaan pembunuhan berencana, pembakaran properti, penculikan anak, dan pengancaman. Bukti CCTV lengkap, saksi banyak. Pengacaranya pun nyerah, nggak ada celah buat bebas," lapor Kevin.
Nayla menghela napas lega yang panjang, seolah beban ribuan ton diangkat dari pundaknya.
"Jadi... dia nggak bakal ganggu kita lagi?" tanya Nayla memastikan.
"Minimal 15 tahun ke depan dia bakal 'sekolah' di penjara, Bu. Dan kalaupun dia keluar nanti, dia nggak akan berani macem-macem karena namanya sudah masuk blacklist nasional," tegas Kevin.
"Terima kasih, Mas Kevin," ucap Nayla tulus.
"Sama-sama, Bu. Saya permisi dulu, mau urus perbaikan sprinkler dan karpet lorong yang basah."
Setelah Kevin pergi, suasana sarapan menjadi lebih ringan. Ancaman itu benar-benar sudah hilang.
"Jadi..." Nenek Ijah berdeham, menatap Adit dan Nayla bergantian. "Sekarang gimana?"
"Gimana apanya, Nek?" tanya Nayla pura-pura sibuk menyuapi Nando.
"Ya kalian ini lho. Udah peluk-pelukan di ujan, udah tolong-tolongan nyawa. Masa mau gini terus? Nenek sih terserah Nayla aja. Tapi kalau boleh saran, Nak Adit ini udah lulus ujian Nenek."
Adit tersenyum simpul, melirik Nayla yang wajahnya merah padam.
"Saya sih siap kapan aja, Nek. Tergantung Nayla," jawab Adit santai. "Tapi saya tau Nayla butuh waktu. Dan saya mau Nayla fokus dulu balikin 'Dapur Nando' yang kemarin modalnya abis."
Nayla menatap Adit kaget. Pria ini... bahkan di saat seperti ini, masih memikirkan karir Nayla?
"Mas..."
"Saya serius, Nay. Uang 200 kotak nasi kemarin udah saya transfer balik ke rekening kamu sebagai ganti rugi. Pake itu buat modal lagi. Saya nggak mau kamu kehilangan mimpi kamu cuma gara-gara satu orang jahat."
"Tapi Mas..." Nayla menunduk. "Aku masih punya hutang 48 juta sama Mas buat biaya RS Nenek."
Adit meletakkan rotinya. Ia menatap Nayla serius.
"Soal itu, saya punya penawaran bisnis."
"Penawaran apa?"
"Kantor pusat Rahardian Group punya kantin karyawan di lantai 3. Selama ini kateringnya dipegang vendor luar yang rasanya standar dan mahal. Kontrak mereka habis bulan depan," Adit mengeluarkan sebuah kartu nama divisi General Affair (GA).
"Saya mau 'Dapur Nando' ikut tender resmi buat ngisi slot kantin itu. Bukan karena kamu pacar saya, tapi karena masakan kamu emang enak dan layak. Ikut tes rasa (food test) bareng vendor lain. Kalau kamu menang, kamu dapet kontrak tetap suplai makan siang buat 500 karyawan tiap hari."
Mata Nayla membelalak. 500 porsi sehari? Itu lompatan raksasa dari usaha rumahan.
"Mas serius? Mas nggak akan intervensi penilainya?"
"Saya jamin 100% nggak akan ikut campur. Penilainya perwakilan karyawan, termasuk Rian temen kamu. Kamu harus menang murni pake rasa masakan kamu. Kalau menang, profitnya bisa buat lunasin hutang ke saya lebih cepet. Gimana? Berani?"
Tantangan itu membakar semangat Nayla. Ini bukan sedekah. Ini peluang bisnis. Dan Adit memberikannya jalan untuk berdiri di kaki sendiri, bukan menggendongnya.
Nayla tersenyum lebar, senyum penuh percaya diri yang membuat Adit jatuh cinta berkali-kali.
"Oke, Pak CEO. Saya terima tantangannya. Siap-siap aja karyawan Bapak ketagihan masakan saya."
"Itu yang saya harapkan," Adit tersenyum puas.
Nando yang sedari tadi diam mendengarkan percakapan orang dewasa, tiba-tiba nyeletuk.
"Kalau Ibu menang, Om Adit jadi Ayah Nando ya?"
Uhuk! Nenek Ijah tersedak kopi. Adit dan Nayla saling pandang, wajah keduanya merah padam.
"Nando... makan dulu sosisnya," Nayla menyumpal mulut anaknya dengan sosis, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Tapi Adit tertawa lepas. Ia mengacak rambut Nando.
"Doain Ibu menang ya, Jagoan. Biar Om bisa sering makan masakan Ibu."
Pagi itu di penthouse lantai 50, matahari bersinar lebih cerah dari biasanya. Tidak ada lagi rahasia, tidak ada lagi teror. Hanya ada harapan masa depan yang dibangun di atas kejujuran dan kerja keras.
Dan mungkin... sebentar lagi, sebuah undangan pernikahan.
...****************...
Bersambung....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️