Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.
Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.
Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.
Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 — Goresan di Bibir Mei Lan
Pagi setelah pengakuan penuh di gudang padi, Mei Lan dan Jian sepakat bahwa mereka membutuhkan tempat yang lebih aman dan terpencil untuk merencanakan langkah selanjutnya. Gudang itu terlalu dekat dengan mata-mata Shan Bo dan Kepala Desa Liang.
Mereka memutuskan untuk bertemu di pinggiran desa, di balik rumpun bambu yang sama yang pernah mereka lewati saat pelarian, yang berbatasan langsung dengan sungai kecil dan hutan lebat. Tempat itu tersembunyi, terlindungi oleh semak-semak lebat, dan memberikan jalur pelarian yang cepat jika terjadi sesuatu.
Mei Lan tiba lebih dulu. Ia duduk di atas batu besar yang ditumbuhi lumut, dekat dengan air yang mengalir. Tak lama kemudian, Jian muncul. Ia bergerak tanpa suara, menyatu dengan bayangan pohon. Ia tidak lagi menyembunyikan dirinya dengan sempurna, karena ia tahu, kini yang terpenting adalah komunikasi terbuka.
Jian duduk di sebelah Mei Lan. Mereka tidak berbicara tentang Kekaisaran, gulungan rahasia, atau ancaman Tuan Yu. Mereka berbicara tentang mereka.
“Aku tidak tahu bagaimana rasanya memiliki masa depan,” bisik Jian, menatap permukaan sungai yang memantulkan cahaya matahari pagi. “Sejak aku berusia dua belas tahun, takdirku adalah melayani. Setelah dikhianati, takdirku adalah mati. Kau… kau memberiku takdir ketiga. Takdir yang harus dianyam, bukan yang harus dijalani.”
Mei Lan menyentuh lengan Jian, membelai ototnya yang tebal. “Kita tidak perlu takdir yang besar, Jian. Kita hanya perlu satu sama lain. Kita akan menenun kehidupan yang sederhana, jauh di gunung. Aku akan menenun kain. Kau bisa… Kau bisa menjadi penjaga hutan. Atau seorang pemahat kayu. Keahlianmu adalah mengukir, bukan hanya membunuh.”
Jian tersenyum tipis. Senyum langka, rapuh, yang hanya diberikan kepada Mei Lan. “Memahat? Aku bisa melakukannya. Aku akan memahat ukiran singa kecil untukmu. Tapi kali ini, singa itu tidak akan menakutkan.”
Mereka tertawa pelan. Tawa yang jarang dan berharga. Tawa yang mengabaikan kematian dan pengkhianatan yang mengintai.
Momen Kecerobohan
Mei Lan berdiri. “Air sungai ini jernih. Aku ingin mengambil air untuk minum. Dan mungkin… membasuh noda di pipiku.”
Jian bangkit berdiri bersamanya. “Aku akan ikut.”
Mereka berjalan menyusuri tepi sungai yang licin, menuju air yang lebih dalam. Rumpun bambu di sana tumbuh sangat lebat, dan cabangnya menjuntai hingga ke air, menciptakan terowongan alam yang gelap.
Saat Mei Lan mencoba berjalan di atas batu yang licin, kakinya tergelincir. Ia terhuyung. Insting Jian segera bekerja. Jian maju dengan cepat, meraih pergelangan tangan Mei Lan.
Jian menarik Mei Lan dengan kuat, tetapi dalam gerakan menyelamatkan itu, wajah Mei Lan terlempar ke samping, dan bibirnya membentur ujung ranting bambu yang patah dan tajam yang menjuntai rendah.
Mei Lan terkesiap, rasa sakit yang tajam menyeruak. Ia terhuyung ke pelukan Jian, merasakan sesuatu yang basah dan hangat menetes di dagunya.
Jian menahannya erat, wajahnya langsung dipenuhi kepanikan yang luar biasa—ketakutan yang lebih besar daripada saat ia menghadapi Tuan Yu atau penjaga Nyonya Liu.
“Mei Lan! Kau tidak apa-apa? Di mana lukanya?” Suara Jian terdengar serak, dipenuhi urgensi prajurit.
Mei Lan menggeleng, mencoba menahan air mata yang tiba-tiba menggenang karena rasa sakit dan keterkejutan. “Saya baik-baik saja… Hanya… hanya bibir saya.”
Jian melepaskannya perlahan, tangannya memegang bahu Mei Lan untuk menjaga keseimbangannya. Jian mencondongkan tubuhnya ke depan, memiringkan kepala Mei Lan ke arah cahaya agar ia bisa melihat.
Ada goresan kecil di bibir bawah Mei Lan, tepat di sudut. Goresan itu telah mengeluarkan sedikit darah, yang kini mulai mengalir turun ke dagunya.
Keintiman yang Dibatasi
Jian tidak mengeluarkan kata-kata makian atau ancaman. Ekspresinya adalah perpaduan antara rasa bersalah yang mendalam dan perhatian yang lembut. Ia tahu, kecerobohan sekecil apa pun di sekitar dirinya selalu berakibat buruk bagi Mei Lan.
Jian mengeluarkan kain bersih yang ia bawa di balik pakaiannya—kain yang selalu ia simpan untuk menutupi lukanya sendiri—dan dengan sangat hati-hati, ia membersihkan darah dari bibir Mei Lan.
Tangan Jian yang besar dan kuat, tangan yang terampil menggunakan pisau dan pedang untuk membunuh, kini bergerak dengan kelembutan luar biasa, seolah-olah menyentuh sehelai sutra paling rapuh di Kekaisaran.
Setelah membersihkan darah itu, Jian membuang kainnya. Ia mendekatkan wajahnya. Mei Lan menutup matanya, merasakan napas hangat Jian menyapu wajahnya.
Jian meletakkan satu jari di bawah dagu Mei Lan, menahan wajahnya agar stabil. Ia kemudian mendekatkan bibirnya ke luka Mei Lan dan meniupnya perlahan.
“Tahan,” bisik Jian, suaranya sangat dekat, hampir menyentuh kulit Mei Lan. “Aku akan meniupnya agar dingin dan rasa sakitnya hilang.”
Jian meniup luka itu lagi, lembut dan hangat. Tindakan sederhana itu—sentuhan dari pria yang paling berbahaya dan paling dicari di Kekaisaran—adalah momen keintiman yang luar biasa. Mei Lan merasakan seluruh tubuhnya bergetar.
Keinginan yang membara di malam sebelumnya, yang dipendam atas nama kehormatan, kini kembali dengan kekuatan yang luar biasa.
Titik Puncak Ketegangan
Jian mengangkat kepalanya, napasnya yang berat dan cepat menyentuh bibir Mei Lan. Matanya yang gelap menatap langsung ke mata Mei Lan yang terbuka dan penuh hasrat.
Jian merasakan aroma Mei Lan—aroma alami dari seorang penenun, campuran bedak beras dan minyak bunga, yang kini bercampur dengan aroma darah yang lembut. Itu memabukkan, memanggilnya untuk melupakan semua ancaman.
Bibir mereka hanya berjarak sehelai rambut. Jian bisa merasakan panasnya napas Mei Lan. Ia melihat bibir Mei Lan yang sedikit terpisah, menunggunya. Jian mencondongkan tubuhnya sedikit, hampir tidak bergerak, bersiap untuk menyerah pada keinginan itu, untuk menyelesaikan penyatuan yang telah mereka tunda.
Tepat saat Jian hendak menutup jarak yang tersisa, saat Mei Lan telah memejamkan mata dan mengangkat tangannya untuk merangkul leher Jian…
KRETEK.
Suara itu terdengar. Suara ranting kering yang patah di hutan, tidak terlalu jauh. Suara yang terlalu keras untuk tupai atau burung. Itu adalah suara langkah kaki manusia.
Insting Bayangan Singa Jian langsung mengalahkan hasratnya. Tubuhnya menegang seperti busur yang ditarik. Semua kelembutan dan hasrat itu hilang dalam sepersekian detik, digantikan oleh kewaspadaan prajurit yang dingin.
Jian menarik kepalanya menjauh, menjauh dari bibir Mei Lan, seolah-olah bibir itu adalah api. Ia berbalik, matanya memindai pepohonan.
“Seseorang datang,” desis Jian, suaranya kembali tajam dan serak. “Bukan dari desa. Terlalu cepat, terlalu sunyi. Mungkin Tuan Yu, atau… Nyonya Liu.”
Mei Lan tersentak dari lamunannya. Rasa sakit fisik dari goresan itu kembali, bercampur dengan rasa sakit yang menusuk karena kepuasan yang tertunda. Ia tahu, hasrat mereka akan selalu menjadi prioritas kedua bagi nyawa mereka.
“Kita harus pergi,” kata Mei Lan, suaranya gemetar. Ia dengan cepat berdiri, kembali menjadi benang yang menyatu dengan strategi Jian.
Jian tidak membuang waktu. Ia tidak menoleh lagi ke Mei Lan, takut jika ia melihat wajahnya lagi, ia akan menariknya kembali ke pelukan dan mengabaikan bahaya.
“Kita lari ke barat, menuju ladang,” perintah Jian. “Kau harus menyelinap masuk ke desa tanpa dilihat. Aku akan bersembunyi di perbatasan hutan untuk memastikan siapa yang datang.”
Mereka bergerak. Jian memimpin, bergerak dengan ketangkasan yang luar biasa melalui semak-semak. Mei Lan mengikutinya, tetapi kali ini, ia tahu bahwa ciuman yang tidak terjadi itu telah meninggalkan bekas yang lebih dalam dan lebih menyiksa daripada goresan ranting di bibirnya.
Keintiman yang hampir mereka bagi telah meningkatkan taruhan. Sekarang, hasrat itu tidak bisa lagi diabaikan. Dan hasrat itu, yang belum terpenuhi, akan menjadi pendorong yang kuat untuk langkah Mei Lan berikutnya.