Di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur, hidup mereka terikat oleh waktu yang tak adil. Pertemuan itu seharusnya hanya sekilas, satu detik yang seharusnya tak berarti. Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Hati mereka saling menemukan, justru di saat dunia menuntut untuk berpisah.
Ia adalah lelaki yang terjebak dalam masa lalu yang menghantuinya, sedangkan ia adalah perempuan yang berusaha meraih masa depan yang terus menjauh. Dua jiwa yang berbeda arah, dipertemukan oleh takdir yang kejam, menuntut cinta di saat yang paling mustahil.
Malam-malam mereka menjadi saksi, setiap tatapan, setiap senyuman, adalah rahasia yang tak boleh terbongkar. Waktu berjalan terlalu cepat, dan setiap detik bersama terasa seperti harta yang dicuri dari dunia. Semakin dekat mereka, semakin besar jarak yang harus dihadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azona W, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ayah Hanya Ingin Kau Aman
Malam itu, hujan turun sampai pagi. Bukan hujan deras, melainkan rintik-rintik panjang yang menempel di kaca jendela seperti sisa air mata langit yang enggan berhenti.
Elena bangun lebih awal. Ia duduk di tepi ranjang kamar tamu yang kini menjadi ruang aman sementaranya.
Bantalnya lembap. Ia sendiri tidak sadar kapan ia menangis semalaman.
Ia memandangi cermin di seberang tempat tidur.
Matanya bengkak. Rambutnya kusut. Dan jantungnya terasa berat, seolah penuh dengan sesuatu yang belum diucapkan.
Ayahku…
Dia sudah diincar Cassian sejak tiga tahun lalu.
Dan aku… tak pernah tahu.
Elena memejamkan mata. Memori ayahnya yang sering termenung akhir-akhir itu kembali mengalir.
“Lena… jangan keluar malam, ya?”
“Ayah hanya ingin kau aman…”
“Kalau ada sesuatu yang aneh, jangan tanya. Lanjutkan hidupmu.”
Semua kalimat kecil itu kini berubah wujud menjadi petunjuk yang ia abaikan.
Ia merasa tubuhnya melemah. Rasa bersalah merayap perlahan, menusuk seperti duri halus yang tidak terlihat.
Pintu diketuk.
“Elena?” Suara Adrian lembut, pelan.
Ia mengusap wajahnya cepat-cepat. “Masuk.”
Adrian masuk, rambutnya masih basah sedikit, mungkin baru selesai mandi setelah begadang semalaman. Ia melihat Elena, dan hatinya langsung merespons dengan rasa khawatir yang hampir menyakitkan.
“Kau tidak tidur?” Adrian duduk di tepi ranjang, menjaga jarak tepat.
“Tidak,” jawab Elena jujur.
Ia menyandarkan punggung pada dinding, menarik lututnya ke dada.
“Banyak sekali hal yang… tak bisa kuhentikan di kepalaku.”
Adrian mengangguk, menunduk.
“Aku tahu. Dan aku… menyesal kau harus tahu semuanya sekaligus.”
Elena menatapnya dengan mata merah. “Adrian, aku tidak marah padamu.”
Adrian mengepalkan tangan.
“Tapi kau terluka,” katanya lirih.
Elena mengalihkan tatapan. “Karena aku ingat ayahku.
Dan ingat betapa aku tak tahu apa pun.”
Ia mengusap air matanya sendiri.
“Aku merasa seperti anak kecil yang dibohongi dunia selama ini.”
Adrian menelan ludah, mendekat sedikit.
“Elena, ayahmu tidak salah. Dia melakukan yang terbaik yang bisa ia lakukan untuk melindungimu.”
Elena menatapnya lagi.
“Seperti ibumu melindungimu?”
Adrian terdiam. Pertanyaan itu menusuk langsung ke luka paling dalam dirinya.
Setelah beberapa detik, ia menjawab pelan, “Ya.”
Mereka sama-sama hening. Tidak ada yang berusaha menyembunyikan air mata. Tidak ada yang mencoba terlihat kuat.
Mereka justru jujur dalam kejatuhan masing-masing.
Sebastian tiba-tiba muncul di pintu, mengetuk dua kali. “Bolehkah aku masuk?”
Elena mengangguk, meski matanya masih merah.
Sebastian masuk, menatap mereka berdua dengan ekspresi yang tak mudah dibaca.
“Tuan Adrian,” katanya sambil menatap pria itu dengan tatapan yang berbeda. Bukan dingin, bukan tajam, tetapi paham, “kau harus berhenti menyalahkan dirimu jika ingin melindunginya.”
Adrian merengut. “Aku tidak menyalahkan dir—”
“Adrian.”
Sebastian menatapnya lurus-lurus. “Kau sudah hidup tiga tahun dalam rasa bersalah. Kau tahu itu.”
Adrian membuang wajah, rahangnya menegang.
Sebastian mendekat setapak.
“Jika kau terus melihat Elena sebagai titik lemah, kau tidak akan pernah bisa melihatnya sebagai kekuatan.”
Elena menatap Sebastian refleks. “Kekuatan?”
Sebastian berbalik padanya. “Tentu saja.”
Ia melipat tangan.
“Cassian memilihku untuk satu hal bertahun-tahun lalu: membaca orang. Menentukan mana yang bisa dipakai, mana yang berbahaya.”
Elena tegang. “Dan menurutmu aku yang mana?”
Sebastian menatapnya lama. Wajahnya tenang. Suaranya tak terduga lembut.
“Menurutku… kau adalah seseorang yang bisa membuat Adrian mengalahkan Cassian.”
Elena membeku. Adrian mengangkat tatapan.
Sebastian melanjutkan, “Kau membuatnya menjadi manusia lagi. Kau membuatnya menolak bayang-bayang. Dan Cassian benci itu.”
Adrian tampak ingin membantah, tapi Elena memotongnya lebih dulu.
“Sebastian,” katanya perlahan, “apa langkah pertama yang harus kulakukan? Aku tidak ingin menjadi seseorang yang hanya menunggu diselamatkan.”
Sebastian tersenyum tipis. “Aku sudah menunggu kau menanyakan hal itu.”
Ia melangkah ke arah jendela, memandangi halaman luas yang masih basah oleh hujan.
“Langkah pertamamu,” katanya, “adalah menghadapi luka yang kau bawa, sebelum Cassian menggunakannya melawanmu.”
Elena mengerutkan kening. “Luka?”
Adrian menoleh padanya, tampak cemas.
“Elena tidak perlu—”
“Dia perlu,” potong Sebastian tegas namun tidak kasar. “Cassian tidak menyerang dengan pisau. Dia menyerang dengan rahasia, rasa sakit, dan ketakutan.”
Elena menatap tangan gemetar di pangkuannya.
“Ayahku…”
“Ya,” kata Sebastian. “Apa pun hubungan ayahmu dengan Cassian, itu adalah pintu masuk yang bisa Cassian manfaatkan.”
Elena menggigit bibir. “Jadi aku harus…?”
“Siapkan dirimu,” jawab Sebastian. “Temukan jawaban sebelum Cassian memberikannya dalam bentuk serangan.”
Adrian berdiri mendadak.
“Aku tidak ingin Elena menderita lagi!”
Elena menatapnya lembut, memegang tangannya.
“Adrian… aku harus kuat jika kita ingin melawan dia.
Bukan hanya disembunyikan.”
Adrian menghela napas, memejamkan mata.
“Baik.”
Elena meraih kedua tangannya.
“Kita akan hadapi bersama.”
Adrian menatapnya dalam-dalam. “Aku bersama kau. Ke mana pun.”
Sebastian menepuk pintu.
“Kalau begitu,” katanya sambil keluar, “bersiaplah.
Karena luka terbesar kalian… akan menjadi rute pertama Cassian.”
Dan Elena merasakan sebuah kenyataan tajam.
Perang ini bukan hanya tentang Adrian. Tapi tentang dirinya juga. Tentang keluarganya. Tentang masa lalu yang kembali menghantam.
Namun ia tidak lagi merasa sendiri.
Adrian duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat.
“Elena…” Suaranya rendah, rapuh namun kuat.
“Saling menguatkan. Itu satu-satunya cara.”
Elena mengangguk pelan, air matanya jatuh lagi. Namun kini bukan karena hancur.
Karena menghadapi kebenaran bersama orang yang ia pilih
adalah awal dari kekuatan yang tak pernah ia sadari ia miliki.