Rantai Kekayaan

"Sebelum Adek menjawab pertanyaan Mas, Adek mau menanyakan sesuatu hal terlebih dahulu kepada Akang."

"Apa?" tanya Dirja penasaran.

"Sekarang Mas mempunyai dua istri, istri yang kedua memiliki paras yang cantik, kekayaan yang melimpah dan juga bodi yang aduhai. Kalau misalkan Adek nggak sembuh, apakah Mas akan tetap memperistri Adek? Atau malah mau menceraikan Adek?"

Dirja melihat sorot kekhawatiran dari mata istrinya, dia juga melihat seorang ketakutan dan juga ketidakpercayadirian dari istrinya itu. Dirja merasa kasihan terhadap Darmi.

"Dek! Jangan sembarangan kalau bicara, cinta Mas sama kamu nggak bakalan luntur walaupun banyak wanita cantik yang mengelilingi Mas. Mas cinta mati sama Adek," jawab Dirja.

"Beneran?" tanya Darmi.

"Bener dong, Sayang."

Darmi diam sesaat, matanya berkaca-kaca. Lalu, wanita itu menggenggam tangan Dirja dengan begitu erat. Tak lama kemudian Dirja mendengar Isak tangis dari bibir Darmi, Dirja dengan cepat memeluk istrinya kembali. 

"Sebenarnya ada apa?"

"Kata dokter aku tak akan bisa berjalan dengan normal lagi, akibat benturan yang terlalu keras mengakibatkan tulang belakang sampai tulang ekor rusak parah. Jadi, aku hanya bisa terlihat sehat dan bisa berbicara. Hanya saja aku harus menghabiskan seumur hidupku dengan menggunakan kursi roda," jelas Darmi.

Dirja langsung merasa bersalah mendengar apa yang dikatakan oleh istrinya, dia berpikir apa yang terjadi terhadap Darmi karena kelalaian dirinya.

"Sayang," panggil Dirja lirih. "Cinta Mas sama kamu itu sangatlah besar, Mas nggak mungkin ninggalin kamu hanya karena kamu tidak bisa berjalan dengan normal kembali. Mas janji, Mas akan membahagiakan kamu."

"Terima kasih, semoga saja kata-kata yang keluar dari mulut Mas itu nyata."

"Tentu saja benar, oiya, Dek. Kalau misalkan kamu udah sehat lagi, kamu mau Mas beliin rumah di kota atau di kampung?"

"Emang Mas punya uang banyak?" tanya Darmi sambil mengurai pelukannya. 

"Punya, kan' kamu tahu sendiri kalau misalkan Mas dibeli oleh lurah Sukarta untuk menikahi putrinya. Jadi, uang Mas banyak."

"Maaf ya, gara-gara Adek, Mas sampai harus jual diri."

Darmi merasa kalau pernikahan suaminya dengan Susi merupakan kesalahannya, pria itu ingin membuat dirinya sembuh kembali tapi tak punya uang. Padahal, Dirja memang membutuhkan banyak wanita yang memiliki kelahiran spesial untuk dia nikahi. 

"Jangan bilang seperti itu, Sayang. Pokoknya yang penting kamu harus sembuh dan juga memiliki rumah untuk tempat kita tinggal nanti, jadi... mau beli rumah di mana?"

"Maunya punya rumah di kampung aja, tapi di tempat yang ramai. Rumah sederhana aja, yang penting bisa buat jualan."

"Loh! Emang Adek mau jualan apa?"

"Apa aja, jualan buah-buahan boleh, jualan kue juga boleh."

Dirja berpikir dengan begitu keras, kalau istrinya berjualan kue, pasti wanita itu akan kecapean. Kalau misalkan jualan buah-buahan, wanita itu bisa duduk santai sambil melayani pembeli. 

Selain itu, dia bisa membeli buah dengan harga murah dari perkebunan milik Susi. Menurutnya itu adalah ide yang sangat luar biasa, Dirja tersenyum lalu berkata.

"Ya udah, nanti Mas akan beli rumah yang sederhana di dekat pasar. Biar kamu bisa jualan buah-buahan, biar dapat harga yang murah, nanti Mas akan meminta neng Susi untuk memasak buah-buahan ke warung kamu."

"Makasih, Mas. Tapi, apa neng Susi bakal mau kalau Mas meminta dia mau masuk buah-buahan ke warungnya Adek?"

"Mau, dia pasti mau. Dia itu orangnya baik kok, santai saja."

"Oke, Mas. Adek manut," ujar Darmi.

Keesokan harinya Dirja berpamitan untuk pulang, dia berkata ingin membeli rumah untuk Darmi. Nyatanya, bukan hanya ingin membeli rumah saja, tetapi dia ingin menyimpan uangnya yang banyak itu.

Dia meminta tolong kepada pak Kamto untuk membeli rumah sederhana di dekat pasar, beruntung pria paruh baya itu bisa menemukan rumah sesuai dengan keinginan Dirja.

Setelah itu, Dirja kembali ke kota untuk menemani Darmi. Karena dokter berkata kalau wanita itu tidak akan lama lagi akan baik, Dirja ingin terus bersama dengan wanita itu sampai sembuh.

Selama satu minggu Dirja mendampingi Darmi terus-menerus, dia merawat wanita itu dengan sepenuh hati. Setelah satu minggu menemani, ternyata dokter berkata kalau keadaan Darmi sudah sangat bagus. Doker memperbolehkan wanita itu untuk pulang esok hari.

"Alhamdulillah, besok Adek bisa pulang sama Mas."

"Iya, Sayang. Sekarang tidur yang nyenyak, besok kita pulang."

"Ya," jawab Darmi.

Dia mengusap-usap punggung Darmi dengan begitu lembut, setelah beberapa saat kemudian wanita itu tidur dengan pulas. Dirja tersenyum, setelahnya dia langsung pergi ke tempat Nina.

"Loh! Akang?"

Nina yang sedang tidur begitu kaget karena tiba-tiba saja ada yang tidur di sampingnya, awalnya dia ingin memukul orang itu, tetapi setelah mengetahui Dirja yang datang, dia langsung menatap suaminya itu dengan tatapan penuh tanya.

"Iya, Akang kangen. Akang pengen, main yuk?"

"Eh? Katanya dua minggu sekali Akang akan datang, ini baru seminggu loh!"

"Tak apa, soalnya Akang bakal lama gak datang Mungkin satu bulan, jadi mau minta jatah dulu."

"Sekarang Akang bisa berkata seperti itu, nanti kalau misalkan mbak Darmi udah sembuh, pasti Akang bakal lupa sama Nina."

"Nggak dong, besok Darmi sudah boleh pulang ke kampung. Dia nggak bisa berjalan normal lagi, mungkin dia memang akan terus mendampingi Akang dalam seumur hidup. Namun, dia tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri. Jadi---"

Tanpa banyak berkata-kata, Dirja langsung melepaskan seluruh pakaian yang dikenakan oleh istrinya itu. Nina hanya pasrah, karena satu minggu tidak bertemu dengan suaminya, tidak melakukannya dengan suaminya membuat Nina mau juga.

Keduanya bergumul dengan begitu panas, Nina sampai kewalahan melayani pria itu. Karena Dirja melakukannya sampai hari hampir pagi.

"Ya Allah, tenaga Kang Dirja kuat banget. Pinggang aku rasanya mau patah, pantas sih punya istri banyak, kalau punya istri satu nggak bakalan sanggup melayani pria seperti ini."

Nina menatap wajah Dirja yang sudah terlelap di sampingnya, pria itu terlihat begitu tampan sekali. NIna bahkan berkali-kali mengusap puncak kepala pria itu.

"Kalau dipikir-pikir, setiap kali Kang Dirja melakukannya, kenapa aku seperti melihat sosok lain dalam tubuh Kang Dirja ya?" tanah Nina heran.